Jelang Pemilu Presiden, masyarakat Indonesia merasa khawatir terhadap serangan hoaks yang akan mewarnai jagad digital, yang cukup berpengaruh pada sikap masyarakat dalam merespon hajat demokrasi. Apalagi setelah terungkapnya mega hoaks Ratna Sarumpaet, kekhawatiran masyarakat semakin menjadi-jadi. Lembaga Survei Indonesia (LSI) pimpinan Deni JA mengatakan, ada sekitar 75 persen masyarakat khawatir tersebarnya hoaks.
Tentu warga negara yang waras tidak ingin melihat tanah airnya gaduh lantaran seliweran hoaks yang tidak terkontrol. Apalagi jika kita telah membaca sejarah, betapa para bapak bangsa kita berpeluh dan berdarah-darah untuk membangun negara ini menjadi republik anti diskriminasi. Setelah para pahlawan masa lalu berhasil mengusir penjajah, kemudian menuangkan gagasan cemerlangnya dan mengucurkan keringatnya untuk merumuskan konsep negara-bangsa seperti sekarang ini. Apakah kita akan menghianati perjuangan para bapak bangsa dengan memanfaatkan hoaks hanya untuk kepentingan temporal dan sempit? Atau, apakah kita akan diam saja ketika ada oknum yang seenak perutnya melakukan provokasi sektarian untuk memecah belah kesatuan bangsa?
Saling kutuk adalah fenomena yang biasa terjadi dalam jagad digital kita. Melalui kutuk-mengutuk inilah, oknum tertentu menaruh asa pragmatis untuk meraup dukungan dari masyarakat, khususnya masyarakat mengambang yang tidak memiliki afiliasi dengan komunitas manapun. Efeknya, fanatisme golongan semakin kuat. Masyarakat pun terpolarisasi dan secara imajinatif membentuk kubu haters dan lovers. Penulis pernah melakukan survei di suatu daerah dan mewawancarai seorang ibu yang bekerja di instansi pemerintahan. Alih-alih mencintai partai tertentu, ibu-ibu tersebut justru memiliki kebencian yang fanatik kepada sebuah partai. Sehingga siapapun politikus yang diusung partai yang dibenci, tidak akan ia pilih.
Baca juga :Gerakan Dakwah Cinta di Media Sosial
Tahun politik seakan-akan menghendaki adanya tumbal demi kemenangan salah satu kubu. Ironisnya, selalu, yang ditumbalkan adalah kerukunan masyatakat. Benih-benih hoaks ditebar di atas lahan basah media sosial, lalu tak selang lama serapah pun bermunculan. Tak jarang orang yang dalam kesehariannya dikenal pendiam, begitu berselancar di dunia maya, ia mendadak berubah menjadi garang dan dari jempolnya muncul narasi-narasi kebencian yang menyakitkan. Apalagi bagi pemeluk agama, ketika ada narasi (kebencian) yang mencatut dalil-dalil agama secara meyakinkan, maka tak ada keraguan dalam hatinya untuk membagikan, dengan didorong semangat dakwah dan amal ma’ruf nahi munkar. Ia lupa, bahwa dalam Islam, ada prinsip klarifikasi untuk menghindari keburukan informasi bohong, hasut, dan provokatif.
Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) menganggap persebaran hoaks sangat meresahkan kehidupan berbangsa dan bernegara, juga menghambat pembangunan nasional. Dalam survei berbasis digital yang dilakukan 7 Februari 2017 selama 48 jam, Mastel menemukan bahwa hoaks yang paling sering terjadi adalah berkaitan dengan politik, sebesar 91,80 persen. Setelah itu barulah SARA sebesar 88,60 persen. Mengingat besarnya prosentase hoaks politik tersebut, maka kita perlu waspada agar tidak menelan mentah-mentah informasi yang didapat berkaitan dengan politik dan pemerintahan. Apalagi bagi pegiat media sosial, mesti hati-hati dalam beraktivitas di jagad digital, karena lahan inilah yang paling banyak digunakan untuk menyebarkan hoaks, yakni sebesar aplikasi chating (WhatsApp, Line, Telegram) sebesar 62,80 persen dan media sosial (Facebook, Twitter, Instagram, Path) sebesar 92,40 persen (mastel.id).
Fakta bahwa jagad digital digunakan untuk menebar hoaks mestinya menyentak kesadaran kita, bahwa melalui lahan ini pula kita bisa memberangus kabar bohong nan provokatif tersebut. Diperlukan upaya-upaya edukasi kepada warga net supaya tidak terjerat hoaks yang dapat merenggangkan interaksi sosial di lingkungan masyarakat.
Adalah Enda Nasution, pegiat media sosial, yang dirangkul oleh Polri untuk bersama-sama memberantas hoaks. Dalam unggahan facebooknya, Nasution menekankan empat poin penting dalam pemberantasan hoaks, yakni mewaspadai opini yang memecahbelah bangsa lewat media sosial, ajakan memilah disinformasi dalam bentuk berita bohong, membantu Polri, dan aktif melaporkan indikasi ajakan kekerasan dan semacamnya. Poin-poin ini menjadi ruh lahirnya Piagam Masyarakat Anti Hoaks (cnnindonesia.com/2017)
Inisiatif gerakan komunitas-komunitas tersebut menandakan kepedulian mereka kepada negara-bangsa Indonesia. Mereka menyadari bahwa musuh negara hari ini bukanlah penjajah secara fisik, melainkan narasi-narasi kebencian dan fitnah yang justru efek ledaknya lebih besar –karena akan memengaruhi opini publik. Contoh konkritnya adalah narasi kebencian yang ditebarkan di jagad digital dalam pertarungan perebutan posisi gubernur DKI, dimana satu pihak dinarasikan sebagai penista agama, sekalipun tidak terbukti, terpaksa mendekam di penjara lantaran pertimbangan politik waktu itu, untuk meredam kemarahan publik yang telanjur termakan ujaran kebencian yang ditebarkan secara massif di jagad digital, mimbar-mimbar masjid, dan bahkan institusi pendidikan. Lebih dari itu, ada penolakan menshalati jenazah muslim lantaran diketahui sebagai pendukung si ‘penista agama’.
Kasus tersebut sebenarnya sudah cukup untuk dijadikan pelajaran, bahwa hoaks tidak ada yang membangun, melainkan merusak tenun kebangsaan. Teliti dan kritis dalam merespon informasi yang tersebar di jagad digital menjadi kunci untuk kita melindungi diri dari narasi hoaks. Kan berbahaya jika pola pikir kita dibangun oleh narasi-narasi hoaks dan kebencian.
Forum Anti Fitnah, Hasut, dan Hoax juga telah menyediakan wadah diskusi di media sosial Facebook. Warganet bisa bergabung di grup Facebooknya, yakni FAFHH untuk menanyakan keabsahan berita atau gambar yang belum diketahui validitasnya. Arsip-arsip hasil diskusi dalam grup tersebut bisa didapatkan dengan mengakses laman turnbackhoax.id. Situs web tersebut menampilkan mana narasi yang tidak sesuai dengan fakta dan berdasarkan fakta. Mari biasakan mengonsumsi informasi sehat, yakni yang valid, supaya tidak mudah menebar kebencian hanya karena informasi provokatif.
Adapun untuk mengedukasi masyarakat (digital), upaya memviralkan konten-konten damai diperlukan adanya. Bahwa untuk melawan hoaks yang memecah belah masyarakat, diperlukan narasi cinta yang bisa diambil dari nilai keagamaan dan kenegaraan. Keagamaan, misalnya, memuat ajaran cinta yang meniscayakan bangunan masyarakat yang damai; dalam khazanah keilmuan Islam, model negara Madinah menjadi bukti sejarah tatanan masyarakat ideal, di mana lintas SARA bisa hidup rukun dan saling menyokong. Begitu juga dalam pilar-pilar negara-bangsa Indonesia, memuat manifesto perdamaian di atas keberagaman. Ejawantah nilai cinta dan damai tersebut, bisa ditaburkan ke jagad virtual, baik secara personal maupun kolektif. Sehingga, bisa mewarnai media sosial dengan narasi edukatif.