Abdul Wahab Hasbullah lahir dari pasangan Kiai Hasbullah dan Nyai Latifah pada Maret 1888 di Tambakberas, Jombang, Jawa Timur. Ia merupakan silsilah dari keturunan Raja Brawijaya IV dan bertemu dengan silsilah K.H. Hasyim Asy’ari pada datuk yang bernama Kiai Soichah.
Beliau adalah bapak Pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi terbesar di Indonesia. Perjuangan beliau dalam bela negara di mulai ketika menjadi Panglima Laskar Mujahidin (Hizbullah) saat melawan penjajah Jepang, serta pendirian “Tashwirul Afkar” (Pergolakan Pemikiran) yang merupakan perintisan gerakan kebebasan berpikir dan pentingnya kebebasan dalam keberagamaan dan berpendapat, di Surabaya pada 1914.
Tashwirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Ia juga menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antar tokoh nasional sekaligus jembatan komunikasi antara generasi muda dan generasi tua. Karena sifat rekrutmennya yang lebih mementingkan progresivitas berpikir dan bertindak, maka jelas pula kelompok diskusi ini juga menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang gandrung pada pemikiran keilmuan dan dunia politik.
Bersamaan dengan itu, dari rumahnya di Kertopaten, Surabaya Kyai Abdul Wahab Hasbullah bersama KH. Mas Mansur menghimpun sejumlah ulama dalam organisasi Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang mendapatkan kedudukan badan hukumnya pada 1916. Dari organisasi inilah Kyai Abdul Wahab Hasbullah mendapat kepercayaan dan dukungan penuh dari ulama pesantren yang kurang-lebih sealiran dengannya. Di antara ulama yang berhimpun itu adalah Kyai Bisri Syansuri (Denanyar Jombang), Kyai Abdul Halim, (Leimunding Cirebon), Kyai Alwi Abdul Aziz, Kyai Ma’shum (Lasem) dan Kyai Cholil (Kasingan Rembang).
Kebebasan berpikir dan berpendapat yang dipelopori Kyai Wahab Hasbullah dengan membentuk Tashwirul Afkar merupakan warisan terpentingnya kepada kaum muslimin Indonesia. Kyai Wahab telah mencontohkan kepada generasi penerusnya bahwa prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat dapat dijalankan dalam nuansa keberagamaan yang kental. Prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat tidak akan mengurangi ruh spiritualisme umat beragama dan kadar keimanan seorang muslim. Dengan prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat, kaum muslim justru akan mampu memecahkan problem sosial kemasyarakatan dengan pisau analisis keislaman keindonesiaan.
Membangun Jiwa Nasionalisme
Selain motif Agama, Nahdlatul Ulama lahir karena dorongan untuk kemerdekaan negara Indonesia. Para ulama berusaha membangunkan semangat nasionalisme melalui berbagai kegiatan keagamaan dan pendidikan, yang maksud dan tujuannya adalah untuk melepaskan belenggu penjajah yang telah berhasil mencengkeram tanah air Indonesia selama hamper tiga setengah abad.
Nahdlatul Wathon tempat / wadah para pemuda NU dijadikan markas penggemblengan pemuda-pe muda. Mereka dididik untuk menjadi pemuda yang berilmu dan cinta tanah air, setiap akan dimulai kegiatan belajar , para murid diharuskan terlebih dulu menyanyikan lagu perjuangan dalam bahasa Arab, yang telah digubah oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah dalam bentuk sya’ir seperti berikut ini :
Ya Lal Wathon Ya Lal Wathon Ya Lal Wathon
Hubbul Wathon minal Iman
Wala Takun minal Hirman
Inhadlu Alal Wathon
Ya Lal Wathon Ya Lal Wathon Ya Lal Wathon
Hubbul Wathon minal Iman
Wala Takun minal Hirman
Inhadlu Alal Wathon
Indonesia Biladi
Anta ‘Unwanul Fakhoma
Kullu May Ya’tika Yauma
Thomihay Yalqo Himama
wahai bangsaku
Cinta tanah air bagian dari iman
Cintailah tanah air ini wahai bangsaku
Jangan kalian menjadi orang terjajah
Sungguh kesempurnaan itu harus
Dibuktikan dengan perbuatan
Dan bukanlah kesempurnaan itu hanya
Berupa ucapan
………………..
Wahai bangsaku yang berpikir jernih
Dan halus perasaan
Kobarkan semangat
Jangan jadi pembosan.
Jika dikatakan ulama adalah warisan atau penganti nabi, maka sudah seharusnya suri tauladan kecintaan ulama seperti KH. Wahab Hasbuallah kepada agama dan negara menjadi hal yang pantas kita lanjutkan. Karena pada dasarnya mencinta tanah air bagian dari iman.