Viralnya kasus Ustaz Yazir Hasan yang membid’ahkan dan menyesatkan perayaan Maulid Nabi tengah menuai beragam penolakan. Unjuk rasa pun juga dilakukan masyarakat sekitar kepada masjid tempat ustaz tersebut berceramah, Masjid Utsman bin Affan di Desa Nyalabuh Laok, Kabupaten Pamekasan. Dalam narasi khutbahnya, ustaz tersebut juga dinilai ahkan ia memfitnah Hadratussyeikh KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Dalam konteks dakwah Islam, narasi-narasi Yazir tersebut merupakan narasi-narasi ajaran Salafi-Wahabi yang sesungguhnya sangat bertentangan dengan narasi persatuan dalam realitas kebangsaan yang dibangun oleh Founding Fathers Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bagi masyarakat Indonesia yang sangat relijius, yang bahkan meletakkan kebenaran berdasarkan ajaran keagamaan, doktrin keagamaan yang keras akan memunculkan perilaku yang mudah melakukan tindak kekerasan. Celakanya, saat ini marak mimbar agama yang memberikan doktrin keagamaan yang keras, menyukai provokasi kebencian dan fitnah, serta menyesatkan atau mengkafirkan sesama umat beragama. Jika hal tersebut terus terjadi, konflik umat beragama akan semakin meruncing yang selanjutnya mengakibatkan konflik sosial.
Abdurrahman Wahid, tulis Lubis (2017), pernah mengemukakan bahwa konflik antarumat beragama dapat disebabkan oleh faktor keagamaan dan nonkeagamaan. Agama pada dasarnya dapat menjadi faktor keagamaan dan nonkeagamaan. Agama pada dasarnya dapat menjadi faktor integrasi dan juga disintegrasi. Faktor integrasi antara lain, bahwa agama mengajarkan persaudaraan atas dasar iman, kebangsaan, dan kemanusiaan. Agama mengajarkan kedamaian dan kerukunan di antara manusia dan sesama makhluk. Agama mengajarkan budi pekerti yang luhur, hidup tertib, dan kepatuhan terhadap aturan yang berlaku dalam masyarakat. Ajaran yang disebutkan itu bersifat universal.
Begitu besarnya peran agama sebagai perekat persaudaraan atau pemecah persatuan, maka memastikan bahwa dakwah keagamaan dijauhkan dari doktrin-doktrin yang memicu pertengkaran. Lihat saja, konsep dakwah dan ajaran wahabi, yang selalu mudah mengkafirkan dan menyesatkan ajaran orang-orang yang tidak berpandangan yang sama dengan mereka.
Dalam kultur bangsa Indonesia, yang menghendaki Bhinneka Tunggal Ika,dakwah wahabi yang menginginkan setiap hal kembali kepada al-Qur’an dan Hadits secara tekstual, tanpa pemaknaan secara kontekstual, akan menemukan beragam ketidakcocokan dengan kultur kebangsaan. Perlu diingat, ajaran agama itu satu hal, sementara pemaknaan dan pengamalan keagamaan itu satu hal lainnya. Ajaran agama akan selalu benar dan sama, apapun masanya, bagaimana pun zamannya, namun, pengamalan dan pemaknaan ajaran keagamaan akan selalu berhubungan dengan realitas kemanusiaan.
Maka itu, ajaran wahabi yang menghendaki konsep puritanisme, dimana menolak semua konsep tradisi dan budaya, akan bertentangan dengan semangat ke-Indonesia-an kita yang menghendaki adanya penjunjungtinggian nilai tradisi dan budaya. Menghargai setiap warisan leluhur yang bisa saja dalam konsep dakwah keagamaan, memodifikasi konsep animisme dan dinamisme yang berkembang sebelumnya. Yang mana, bagi pemeluk Yahudi akan digolongkan sebagai kesesatan.
Hal tersebut tentu akan bermuara pada konflik sosial keagamaan apabila terus dibiarkan. Bermula dari sinilah, setiap umat mesti selektif dalam memilih khotib keagamaan. Lebih-lebih para pengurus rumah ibadah, jangan sampai memberikan kesempatan kepada orang-orang yang menyesatkan umat dengan dalih firman Tuhan yang ditafsirkan keliru. Jangan sampai mereka diberikan kesempatan naik ke mimbar dalam rangka menyampaikan khutbah-khutbah kelirunya. Karena, jika orang-orang ini diberi kesempatan untuk menyampaikan khutbahnya, maka umat akan terombang-ambing, bahkan seketika bisa berkonflik.
Terhadap para khatib, jangan sampai anda mengotori mimbar suci yang ada disetiap rumah ibadah dengan dakwah khutbah-khutbah kebencian. Jadikanlah mimbar yang suci sebagai media beribadah dengan cara menyampaikan firman-firman Tuhan sebagaimana yang dimaksudkan. Tuhan selalu mengajarkan akan keshalihan kepada-Nya serta sesama makhluk.
Maka itu, usaha untuk saling mengingatkan dan tak pernah menghujat adalah upaya yang perlu kita wujudkan. Agar dakwah yang dilaksanakan dengan tidak selaras ibarat orang yang membangun kota namun merobohkan istananya (KH. Hasyim Asy’ari: 1929). Upaya untuk mengembalikan mimbar-mimbar yang beradab demi menjunjung tinggi tabiat ke-Indonesiaan juga harus segera diselaraskan. Sebab peruncingan upaya untuk saling menghancurkan karena perbedaan ideologi, agama, ras, suku, dan bangsa adalah kedangkalan pemikiran yang mengecewakan. Sebab itu, bentuk-bentuk narasi buram lewat mimbar-mimbar yang tak beradab harus segera dikembalikan. Karena hal demikian tentu akan membelakangi naluri kemanusiaan yang dimiliki setiap insan. Wallahu a’lam.