Kenyataan dan Keterbatasan Pemikiran

Kenyataan dan Keterbatasan Pemikiran

- in Narasi
625
0
Kenyataan dan Keterbatasan Pemikiran

Seperti ibu + nenekku juga
tambah ketujuh turunan yang lalu
aku minta pula supaya sampai di sorga
yang kata Masyumi + Muhammadiyah bersungai
susu
dan bertabur bidadari beribu

—Sorga, Chairil Anwar

Adakah Chairil Anwar akan terkaget ketika seumpamanya tahu bahwa kini di Arab lembah-lembah dan gunung-gunung telah menghijau dan tempat-tempat yang konon keramat kini dijadikan tempat wisata untuk sekedar memanjakan mata dan raga? Atau lebih tepatnya, masih menggigitkah imaji tentang sorga sebagaimana yang selama ini, di kala lembah-lembah dan gunung-gunung di Arab belum menghijau, diangankan?

Dalam beberapa narasi kalangan Islam radikal, yang memang terus-menerus mendengungkan suasana akhir zaman, perubahan geografis di Arab Saudi sekan-akan adalah sebuah momentum untuk lebih getol lagi meradikalisasi seseorang. Narasi-narasi tentang Dajjal, Ya’juj dan Ma’juj, dan juga hijaunya tanah Arab yang dahulu gersang sehingga secara geografis membuahkan lukisan tentang sorga yang kita warisi hingga hari ini, dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk lebih berislam lagi seperti mereka atau dalam ukuran mereka.

Perubahan geografis di tanah Arab, bagi saya, adalah sebuah titik-balik bagi pemikiran keislaman baik yang bercorak liberal maupun radikal. Sebab, kedua-keduanya, akan goyah ketika berhadapan dengan fakta geografis Arab Saudi di masa kini yang barangkali tak pernah dialami dan bahkan dibayangkan oleh seorang Muhammad Natsir, Buya Hamka, Nurcholish Madjid, Gus Dur, Kartosuwiryo, Abdullah Sungkar, dst.

Bagi saya, baik pemikiran keislaman yang bercorak radikal, seperti paham Wahabi, maupun yang liberal sekali pun mau tak mau mesti menyandarkan pemikiran mereka pada tanah Arab (Arab-oriented). Islam liberal jelas-jelas merupakan respon atas Islam radikal yang merupakan sebentuk, dalam istilah akademik masa lalu, “Arabisasi.” Seorang Abdurahman Wahid pernah memakai istilah “Arabisasi,” yang ia lawankan dengan “pribumisasi,” meskipun kini ditengarai sebagai sebentuk rasisme. Namun, yang pasti, bahwa perubahan kebudayaan yang berbarengan dengan perubahan geografis di Arab Saudi adalah sebuah penegasan sejarah bahwa sedahsyat apapun sebuah pemikiran sudah pasti akan dan selalu terbingkai oleh konteks.

Sebagai sebentuk pemikiran keislaman yang bercorak radikal, paham Wahabi di hari ini dengan sendirinya akan mengalami sebuah disorientasi ruang. Disorientasi ruang adalah seperti halnya sorang kudet yang ketika bangun tidur meyakini bahwa semua orang adalah seperti yang dianggapnya semalam. Ketika Arab Saudi, yang merupakan tanah kelahiran maupun pusat penyebaran paham Wahabi, sudah tak melazimkan tafsir-tafsir keislaman yang radikal (dengan pernah ditangkapnya beberapa ulama yang mereka anggap radikal), pembatasan hak-hak perempuan, asketisme dengan mempersempit ruang-ruang untuk menikmati gebyarnya dunia, dst., maka ketika para penganut paham Wahabi itu masih saja seperti sedia kala akan segera mengundang gelak-tawa. Sebab secara ideologis, ketika ideologi dimaknai sebagai sebuah perangkat untuk melanggengkan status quo, siapa lagi yang mereka perjuangkan dan bela mati-matian?

Dengan demikian, tanpa adanya pembatasan pun pada dasarnya sebuah pemikiran akan dengan sendirinya goyah dan tak lagi mengundang gairah ketika orang jujur pada kenyataan-kenyataan yang melingkupinya. Tak usah saya paparkan data-data tentang tingkat pergaulan bebas dikalangan muslim yang bahkan ditengarai puritan dan radikal sekali pun untuk sekedar menyitir Ibn ‘Athaillah al-Sakandari bahwa sudah menjadi tabiat dunia dimana kefanaan, atau negativitas dalam istilah Theodore Adorno, adalah sebuah cap yang melekat tanpa dapat dihindari.

Facebook Comments