Barangkali Indonesia merupakan area potensial bagi arus importasi konflik Timur Tengah. Penduduk Indonesia dengan mayoritas muslim sangat mudah disentuh dengan isu-isu sekterian yang diimpor dari kawasan tersebut. Konflik Timur Tengah sering dijadikan komoditas bagi para importir konflik untuk mereplikasi konflik serupa di dalam negeri. Hal ini apabila tidak bisa diatasi akan mengancam pada tatanan sosial atau bahkan mengarah pada perpecahan di tingkat masyarakat.
Narasi yang dikembangkan oleh para importir konflik memang sangat canggih dari “Islam sedang dimusuhi”, “Islam didzalimi” “solidaritas kaum muslimin”“ dan berbagai narasi ketertidasan lainnya yang mampu menggoda emosi keagamaan. Narasi-narasi tersebut dibungkus menjadi propaganda liar di berbagai media online dan media sosial untuk mengajak dukungan dan keperihatinan seagama. Ajakan dan kampanye aksi kemanusiaan menjadi propaganda yang menggambarkan bahwa umat Islam Indonesia harus turun tangan dalam konflik tersebut.
Sebenarnya bukan tidak sepakat dengan ekspresi solidaritas kemanusiaan untuk konflik Timur Tengah. Namun, penting dan sangat krusial harus kita miliki adalah informasi yang utuh tentang konflik Timur Tengah. Acapkali kita terperosok pada jurang informasi yang menyesatkan. Seolah konflik yang terjadi di Timur Tengah adalah perang Islam dan Non-Muslim, perang Islam dan Barat dan narasi kebencian lainnya. Ajakan kemanusiaan berhenti pada propaganda, bukan pada transfer informasi dan fakta sebenarnya yang terjadi di tengah kemelut konflik yang sangat kompleks. Di situlah kita melihat ada proses simplifikasi konflik-untuk tidak mengatakan pengkaburan-dengan pandangan selalu dikotomik antara Islam vs musuh yang tidak jelas.
Lebih tragisnya, persoalan konflik politik domestic bernuansa perebutan kekuasaan di Timur Tengah tersebut diimprotasi ke berbagai negara sebagai konflik bersama. Pdi situlah kita melihat proses globalisasi konflik lokal. Hal ini menjadi wajar mengingat konflik Timur Tengah selalu menjadi isu seksi terutama di tengah masyarakat mayoritas muslim seperti Indonesia. Karenanya tidak jarang seruan dan ajakan berjuang menyeruak untuk melibatkan WNI di tengah konflik Timur Tengah yang sangat kompleks dan tidak hanya mempunyai judul tunggal.
Lalu aksi kemanusiaan apa yang layak kita lakukan? Bantuan sosial apa yang mesti kita sumbangkan? Ke lembaga mana dan pihak mana kita menaruh simpati? Apakah bantuan kita sudah tepat sasaran atau justru memperkuat logistik salah satu kelompok tertentu untuk meruncingkan konflik?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, penting untuk ditegaskan di sini bahwa ikut berempati pada konflik Timur Tengah bukan dengan cara mengimpor konflik dan bingkai sentimentasi keagamaannya ke dalam negeri. Konflik Timur Tengah adalah murni pertarungan politik yang diwarnai dengan sentimentaso kubu Sunni-Syiah. Tetapi konflik sekterian itu bukan universalisasi konflik antara Sunni-Syiah di seluruh dunia. Tidak relevan memotret perebutan politik Timur Tengah dengan kacamata emosi keagamaan. Tidak ada hubungannya sama sekali antara solidaritas persaudaraan sesama muslim dengan perebutan politik di Timur Tengah.
Indonesia dengan aneka ragam perbedaan sejatinya menjadi sangat potensial dirusak dengan isu-isu sekterian yang dimpor dari luar. Karena itulah, menunjukkan aksi kemanusiaan di dalam negeri harus tidak melupakan solidaritas di dalam negeri. Bersolidaritas ke luar negeri, tetapi memunculkan sentimentasi negatif terhadap dalam negeri merupakan harapan para importir konflik. Maka waspadalah!