Yang Kafir, Yang Menafikan Nilai Kemanusiaan

Yang Kafir, Yang Menafikan Nilai Kemanusiaan

- in Keagamaan
3365
0

Selama ini sebagian masyarakat—muslim—masih memahami term kafir sebagai sifat yang dilabelkan kepada orang-orang non-muslim, bahkan terhadap muslim yang dinilai sesat dan bertentangan dengan mainstream. Pemahaman tersebut tentu tak lepas dari cara atau metode dalam memahami suatu doktrin, dalam hal ini adalah doktrin Islam yang terkandung dalam al-Quran dan al-Hadis/al-Sunnah. Ketika cara memahaminya saja keliru, maka secara otomatis hasil pemahamannya pun keliru. Kondisi seperti inilah yang terjadi di negara kita.

Diakui atau tidak, sebagian masyarakat muslim kita ada yang masih beranggapan bahwa orang-orang di luar Islam seperti umat Keristen, Budha, Hindu, Konghucu dan Penganut kepercayaan lokal adalah kafir yang halal darahnya. Selain itu, orang-orang/kelompok yang menamakan dirinya muslim namun di luar arus mainstream, dalam konteks Indonesia adalah NU dan Muhamadiyah sebagai ahlu al-sunnah wa al-jama’ah, maka mereka dianggap sesat dan kafir, sehingga halal untuk diperangi. Tidak heran apabila konfik atas nama agama begitu sering terjadi di negeri ini. Saudara sebangsa sendiri dijadikan musuh yang halal untuk diperangi dan dibunuh. Sangat memprihatinkan, bukan?

Apabila dicermati, maka akibat dari konflik tersebut sangatlah merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara di segala dimensinya. Persatuan intern bangsa dan stabilitas negara amatlah terganggu, sehingga pantas negara ini tidak pernah berkembang dan maju ke arah yang lebih baik di kancah dunia.

Sayangnya, orang-orang yang berkecimpung dalam permasalahan doktrin ajaran Islam, seperti MUI, ustadz, dan da’i bukan malah membangun pola pemahaman masyarakat tentang doktrin ajaran Islam yang mengarah pada terciptanya suatu kondisi aman dan damai sebagai partispasi mereka dalam membangun bangsa, tapi malah memupuk benih-benih pertikaian yang berakibat buruk pada kehidupan berbangsa dan bernegara.

Khususnya pada kasus penggunaan term kafir. Dalam memahami term kafir, mereka masih menggunakan pemaknaan klasik secara mentah-mentah yang kiranya sudah tidak relevan lagi digunakan untuk konteks saat ini, terlebih konteks Indonesia.

Perlu Pemaknaan Ulang

Istilah kafir yang populer kini pada dasarnya merupakan serapan dari bahasa Arab dengan komposisi huruf kaf, fa dan ra. Berdasarkan beberapa kamus bahasa Arab, kata ka-fa-ra (كفر) memiliki arti sebagai berikut. Menurut Abu al-Qasim Mahmud bin ‘Amr bin Ahmad dalam Asas al-Balaghah, makna kata kafara adalah gatha yang berarti menutup.

Pun demikian dalam Ikmal al-A’lam bi Tatslits al-Kalam dikatakan makna kafara adalah menutup. Dalam al-Alfadz al-Mu’talifah disebutkan bahwa arti kafara adalah ghamadha yang berarti tersembunyi atau tidak terang. Sedangkan al-Ashfahani mengartikan al-kufru dari kata kafara dengan kata satara al-syai’ yang berarti menutupi sesuatu. Beliau menyertakan pula gambaran terkait makna kafir sebagai kondisi tertutupnya hati dan akal pikiran para penyembah berhala, sebagian kaum Yahudi dan Nasrani pada konteks dahulu, sehingga perbuatan mereka sangat bertentangan dengan nilai ketuhanan yang dibawa oleh Muhammad.

Disebutkan pula bahwa lafadz al-kufru adalah antonim dari al-syukru, yang berarti jahada atau kadzaba (mendustakan), kanada atau qatha’a (memotong) dan ankara (mengingkari). Sehingga kufru al-ni’mat diartikan sebagai mendustakan, memotong dan mengingkari kenikmatan yang diberikan oleh Tuhan.

Maka makna term kafir itu digunakan untuk konteks tertutupnya mata hati dan akal pikiran seseorang, sehingga sikap dan tindakannya bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan. Sementara nilai-nilai ketuhanan mencakup nilai-nilai kemanusiaan (Gus Dur, 2009). Hal ini berarti bahwa sikap dan tindakan seseorang yang bertentangan, bahkan menafikan nilai kemanusiaan, secara otomatis bertentangan dengan nilai ketuhanan. Dan, orang yang demikian itu patut untuk mendapatkan predikat kafir.

Pemaknaan tersebut sangatlah perlu untuk konteks muslim Indonesia, mengingat hal itu merupakan salah satu proses penyadaran bahwa selama ini masyarakat kita telah salah kaprah dalam penggunaan term kafir. Orang-orang yang memeluk ajaran selain Islam, belum tentu cocok dicap kafir dan halal darahnya untuk dibunuh, bilamana sikap dan tindakan mereka tidak bertentangan dengan nilai kemanusiaan. Sebaliknya, orang/kelompok yang mengaku dirinya muslim, namun sikap dan tindakannya bertentangan bahkan menafikan nilai kemanusiaan, mereka itulah yang layak dicap kafir. Sehingga untuk konteks Indonesia yang dimaksud dengan ‘yang kafir’, merekalah yang merusak, mengobrak-abrik dan bahkan menafikan nilai-nilai kemanusiaan yang hanya bisa merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara. Merekalah sejatinya musuh kita bersama! Wallahu A’lam.

Facebook Comments