Identitas Sebagai Konsekuensi Kultural-Politik (Bagian 1)

Identitas Sebagai Konsekuensi Kultural-Politik (Bagian 1)

- in Kebangsaan
3830
0

Sebagai makhluk budaya (Soerjono Soekanto, 1982, 46), manusia mencoba membangun identitas mereka dalam relasi sosial dan kultural mereka, untuk menegaskan posisi individual dan sosial suatu komunitas di hadapan orang atau komunitas lain. Identitas adalah representasi diri dimana seseorang atau masyarakat berupaya melihat dirinya sendiri, serta bagaimana orang lain melihat mereka sebagai sebuah entitas sosial-budaya. Dengan demikian, identitas adalah produk budaya yang dalam praktik sosialnya berlangsung demikian kompleks, namun terkadang atau bahkan seringkali direduksi sebagai sesuatu yang pasti, utuh, stabil, dan tunggal.

Identitas budaya dibangun dengan asumsi-asumsi persamaan dan perbedaan (Jamal D. Rahman, 2007, 22). Persamaan-persamaan suatu komunitas akan mengikat mereka dalam identitas tertentu sebagai satu kesatuan sosial dan kultural yang meng-ada secara unik (sebagaikami) atas dasar berbagai perbedaan dengan komunitas lain (sebagai mereka). Dengan kata lain, suatu masyarkat membangun identitas mereka atas dasar persamaan di antara anggota masyarakat itu sendiri, sekaligus atas dasar perbedaannya dengan masyarakat lain. Dalam kaitan itulah, sampai batas tertentu identitas budaya turut membangun kohesi dan solidaritas sosial dalam struktur internal suatu masyarkat sesama pemilik suatu identitas budaya.

Sampai di sini pembentukan identitas budaya tampak sederhana, tetapi pada kenyataannya jauh lebih kompleks dari apa yang bisa dibayangkan. Masalahnya, kebudayaan suatu masyarakat selalu bersifat heterogen bahkan pada tingkatnya yang paling sederhana sekalipun. Apa yang diasumsikan sebagai persamaan ternyata tak lain dari pecahan-pecahan keberbagaian yang coba disatukan dalam sebuah produk atau konstruk budaya yang dibayangkan sebagai ”inti” sebuah kebudayaan (masyarakat). Artikulasi sebuah identitas dengan demikian sesungguhnya mereduksi kompleksitas dan heterogenitas kebudayaan.

Kita menyadari bahwa ciri pluralistik telah menandai kebudayaan Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan suku bangsa bersama-sama dengan pedoman berbangsa dan bernegara, mewarnai perilaku dan kegiatan kita. Berbagai kebudayaan itu beriringan, saling melengkapi dan saling mengisi, tidak berdiri sendiri-sendiri, bahkan mampu untuk saling menyesuaikan (fleksibel) dalam percaturan hidup sehari-hari. Dalam konteks itu pula ratusan suku-suku bangsa yang terdapat di Indonesia itu perlu dilihat sebagai aset negara berkat pemahaman akan lingkungan alamnya, tradisinya, serta potensi-potensi budaya yang dimilikinya, yang keseluruhannya perlu dapat didayagunakan bagi munculnya potensi-potensi budaya baru sebagai kekuatan bangsa.

Pembentukan Identitas Nasional

Benedich Anderson dalam Imagined Community menyatakan bahwa sejarah panjang negara-bangsa membangun dirinya, yang —terutama berkat unifikasi bahasa (lewat aksara Latin) dan kapitalisme-cetak— telah mencapai bentuknya yang ada sekarang: sebagai proyek modern,nation (bangsa) adalah komunitas politis yang dibayangkan, bersifat terbatas, dan berdaulat. Dengan ini, Anderson menyadarkan kita bahwa tendensi esensialis telah batal di hadapan negara-bangsa. Sebuah bangsa ternyata tidak ada persis ketika kita membayangkannya ada: tak ada yang ”sejati” dan esensial pada bangsa; ia semata-mata dibayangkan dan diciptakan. Sebuah bangsa ternyata tak lain adalah sebuah penanda (signifier), dengan sejumlah penanda (signified) yang selalu bergeser atau bahkan meleset setiap kali kita coba tangkap.

Untuk memberikan penafsiran lebih jauh terhadap Anderson dalam konteks tulisan ini, identitas nasional adalah tanda, teks, atau wacana (bahasa, tradisi, pakaian, dll.) yang memberikan pembayangan tertentu tentang kesamaan dan kebersamaan sebuah komunitas, dan atas dasar itu secara bersama-sama mereka membayangkan diri sebagai sebuah bangsa—dengan menunda atau mengabaikan untuk sementara perbedaan-perbedaan antar mereka sendiri. Oleh karena itu, kalau sebuah bangsa bersifat terbatas—kata Anderson, tak ada satu bangsa pun yang membayangkan bahwa akan lahir hanya satu bangsa, sehinga batas-batas kebangsaan akan berakhir—maka identitas kebangsaan memiliki garis batasnya sendiri. Tak ada identitas yang bisa merepresentasikan sebuah bangsa secara utuh dan penuh seluruh: jika tidak mereduksi apa yang dibayangkan sebagai kebangsaan, identitas kebangsaan malah menerobos batas-batas kebangsaan itu sendiri. Dalam arti itulah identitas kebangsaan seringkali, bahkan selalu, bersifat ambigu, malah ambivalen.

Ditarik ke dalam lingkup Indonesia, identitas nasional adalah sesuatu yang retak, tidak utuh, dan mereduksi atau menerobos batas-batas kebangsaan. Melani Budianta (2000) menunjukkan ambiguitas, ambivalensi, sekaligus ironi penegasan identitas kebangsaan Indonesia di hadapan gempuran dunia global. Dalam salah satu iklan, misalnya, wayang kulit ditampilkan sebagai simbol atau representasi identitas nasional, berhadapan dengan Michel Jackson sebagai representasi dunia global. Karena wayang kulit adalah kebudayaan Jawa, maka iklan itu sesungguhnya mereduksi kebangsaan (Indonesia) sebagai kejawaan belaka, dan pada saat yang sama simbol identitas kebangsaan itu sendiri menerobos batas-batas kebangsaan (Indonesia), sebab (kisah) wayang kulit berasal dari dunia global (India). Bahwa posisi tangan wayang kulit itu meniru posisi tangan Michel Jackson (tangan kanan memegang kepala dan tangan kiri memegang kemaluan), betapa ironis bahwa identitas nasional yang ditampilkan untuk menampik dunia global justru diartikulaskan dengan meniru dunia global itu sendiri.

Dengan perspektif Derridian ini, alangkah rentan dan cairnya batas-batas identitas kebangsaan. Jika sebuah bangsa terbatas, dan identitas kebangsaan memiliki garis batasnya yang lain, maka kedaulatan sebuah bangsa pun memiliki garis batasnya sendiri pula. Konsep bangsa, kata Anderson lagi, telah merebut kedaulatan Tuhan dari wakil-wakil-Nya (dalam struktur dinasti), sehingga bangsa bertindak atas pertimbangan dan keputusannya sendiri. Tetapi tepat di titik itulah kedaulatan sebuah bangsa dipertaruhkan untuk diserahkan justru pada keterbatasan-keterbatasannya sendiri, yaitu ketika sebuah bangsa berada dalam relasi kuasa dengan bangsa-bangsa lain. Dalam konteks itu, kedaulatan sebuah bangsa tak kalah rentan dan cair: ia mengalami pencanggihan dan penghancuran ironis lewat kolonialisme dan imperialisme, atau otoritarianisme.

Facebook Comments