Zakat; Strategi Fundamental Islam Mewujudkan Keadilan Sosial

Zakat; Strategi Fundamental Islam Mewujudkan Keadilan Sosial

- in Narasi
1450
0

Islam adalah agama yang utuh dan menyeluruh (syamil wa mutakamil). Salah satunya menyentuh aspek keadilan sosial yang bersendi ekonomi. Islam memang telah mewajibkan bekerja untuk mencukupi kehidupan keluarga. Namun apabila ada yang tidak mampu akan mendapat jaminan dari kerabatnya. Kenyataannya tidak sedikit dijumpai satu keluarga besar tergolong miskin atau tidak semua orang miskin dapat tersentuh secara merata dan tercukupi semua dari kerabat. Untuk itulah Islam menghadirkan strategi berupa kewajiban zakat. Ia adalah satu dari lima bangunan pilar Islam (rukun Islam).

Dalam beberapa ayat, Allah memasukkan penuaian zakat setara setelah penegakan sholat. “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusu’ dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari Iperbuatan dan perkataan) yang tiada berguan, dan orang-orang yang menunaikan zakat.” (QS. Al-Mu’minun: 1-4).

Pengelolaan zakat yang optimal diiringi produktivitas kerja tinggi, terbukti di zaman khalifah Umar Bin Abdul Aziz, ekonomi menjadi makmur. Bahkan digambarkan sulit mencari orang yang berhak menerima zakat (fakir miskin). Obsesi ini penting dibangun dan dijalankan secara optimal, meskipun Indonesia bukan negara agama. Kemiskinan mesti dientaskan dengan berlandaskan keadilan sosial sebagaimana amanat Pancasila.

Ajaran Zakat

Zakat bukan saja etika moralitas atau mengandalkan kesadaran pribadi. Namun sebagai tanggung jawab pemimpin atau pemerintah serta hadir dalam ketegasan hukum. Ia adalah strategi fundamental pembangunan sosial ekonomi. Tidak bisa disepelekan dan bukan pula tanpa keadilan.

Setiap yang kita dapat ada bagian yang mesti dikeluarkan zakatnya. Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an, Surat Al-Baqarah ayat 267 mengatur, “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (dijalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-bauk dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu menafkahkan daripadanya., padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah maha kaya lagi Maha terpuji”. Rasulullah SAW juga bersabda, Dan apa yang disiram langit adalah 10% dan yang disiram dengan alat 5%”

Seiring dengan perkembangan jaman, bentuk zakat berkembang. Dengan analogi, maka setiap yang memberi penghasilan wajib dizakati. Seperti hasil pertanian, industri, penghasil uang dan lainnya (2,5%) dan sebagainya. Bahkan harta karun (20%), hadiah dan harta temuan juga.

Sedangkan harta rampasan perang atau sitaaan koruptor dapat dipakai untuk kepentingan umum. Semuanya dengan batasan kepemilikan (nishab) minimal satu tahum. Ini adalah zakat untuk harta (maal). Selain itu ada juga bentuk lain yaitu, zakat untuk tiap kepala (manusia) bahkan bayi yang baru lahir, disebut zakat fitrah. Zakat fitrah adalah untuk mensucikan manusia dari kekurangan selama bulan Ramadhan dan kepedulian kepada fakir miskin agar bahagia merayakan Idul Fitri. Setiap kepala adalah 1 sha’ atau empat teguk (setara 2,176 kg) berwujud kurma atau gandum atau makanan pokok lainnya atau setara 2,5 kg (3,5 liter) beras.

Strategi Aplikasi

Pengabaian penunaian zakat tidak sekadar mendapat ancaman moral, tetapi hukuman. Paling keras adalah disamakan dengan golongan musyrikin. Tidak hanya material, sanksi bisa diberikan pemerintah berupa penjara, fisik atau lainnya.

Khalifah Abu Bakar berkata lantang ketika menghadapi situasi banyaknya pembangkangan pembayaran zakat, “Demi Allah, sungguh aku akan memerangi orang ynag memisahkan antara sholat dan zakat. Karena sesungguhnya zakat adalah hak harta. Jika kalian tidak mengeluarkan zakat terhadapku seperti yang mereka laksananakan kepada Rasulullah Saw, aku akan memerangi mereka atasnya.”

Zakat adalah strategi Islam menegakkan keadilan sosial dalam konteks ekonomi. Karena pada harta atau kepemilikan seseorang ada hak manusia lain. Allah berfirman,“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan untuk orang miskin yang tidak mendapat bagian” (QS. Adz-Dzariat: 19)

Kemudian jika sebelumnya tidak membayar zakat, maka tetap ditetapkan akumulasi total dari semua menurut perhitungannya, sehingga ia sama dengan hutang dan hutang zakat menurut Ibnu Hazm harus dipriorotaskan sebelum hutang kepada manusia.

Di samping hak-hak yang sifatnya kewajiban seperti diuraikan di atas, Islam masih memiliki strategi dengan pesan moral. Setipa individu masih dianjurkan untuk melakukan derma sukarela setelah kewajibannya ditunaikan. Dalam hal ini ada konsep infak, shodaqoh, waqaf atau lainnya.

Jika semuanya bisa ditunaikan secara sadar sebagai bentuk tangung jawab moral dan formal, maka sangat tipis peluang merebaknya kemiskinan dan ekonomipun akan tererdayakan denagn optimal. Dengan demikian keseluruhan strategi pembangunan ekonomi tersebut membutuhkan kesalehan individu, jaminan sosial, komitmen politis pemimpin, dan ketegasan hukum.

Strategi pembangunan ekonomi dalam Islam secara umum dapat dikelompokkan dalam dua bentuk yaitu peningkatan produktivitas dan pengentasan kemiskinan, masing-masing dengan variasi strateginya. Ada kewajiban personal dan tanggung jawab sosial. Konsep pengentasan kemiskinan dengan subsidi atau bantuan sosial yang sifatnya memberdayakan (empowering). Artinya, Islam tidak menghendaki hanya bertopang mengharapkan bantuan. Kalaupun terpaksa butuh, ia adalah haknya setelah bekerja atau tidak mampu bekerja. Setelah itu pemerintah mesti membuka strategi peningkatan produktivitas dan pembukaan lapangan kerja. Sehingga, si penerima bantuan ini segera dapat berbalik menjadi penyumbang zakat (muzakki). Demikian seterusnya hingga pembangunan ekonomi dapat menggapai cita-cita keadilan dan kemakmuran.

Facebook Comments