Al-Ghazali, barangkali, adalah salah satu sufi yang paling saya gemari—meskipun saya bukanlah seorang yang ahli mengenai karya-karyanya. Sebermulanya ia saya anggap sufi yang biasa-biasa saja. Tak ada sesuatu yang fenomenal dari kehidupannya. Dengan kata lain, ia memang tipikal seorang “pencari” yang prosesnya berlangsung setahap demi setahap.
Namun, justru karena “kelaziman” itulah ia, dalam terang Ibn ‘Athaillah, seakan dapat dianggap orang yang sangat paham akan kondisi rohani manusia. Tak ada catatan memang, bahwa al-Ghazali—berbeda dengan adiknya, Ahmad—menjadi seorang mursyid dan secara ketat memiliki ordo tersendiri. Meskipun demikian, dari karya-karya tasawufnya, ia seolah adalah seorang “mursyid tekstual” dimana karya-karyanya menjadi pegangan pokok para pandhemen tasawuf. Bayangkan, bagaimana al-Ghazali dapat sampai menerangkan secara jernih perilah kilasan-kilasan cahaya laksana kilat yang mungkin timbul ketika seseorang melakukan retreat sebagaimana yang terpampang dalam ‘Ajaibul Qulub—kilasan-kilasan cahaya yang barangkali menjadi salah satu bahan dalam kupasannya soal cahaya dalam Misykatul Anwar?
Tentu, bukan karena hal itu saya begitu menggemari al-Ghazali. Saat kuliah saya sadar betapa pengaruhnya sedemikian kuatnya dalam kesusastraan Jawa yang secara tematik membahas masalah kebatinan (Wedhatama dan “Kuluban” di Bulan Ramadhan, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).
Dari al-Ghazali inilah, sedikit banyak, orang paham akan perbedaan derajat spiritual yang dimiliki oleh masing-masing orang. Al-Ghazali, ketika mengupas ibadah-ibadah dalam agama Islam selalu saja memilah tentang adanya tiga macam kalangan yang memiliki derajat berbeda: awam, khusus (khas), dan khusus dari yang khusus (khawasul khawas).
Taruhlah tentang ibadah shalat dan puasa. Dalam terang Serat Wedhatama karya Mangkunegara IV dan Wirid Hidayat Jati karya Ronggawarsita, shalat dan puasanya kalangan awam dikategorikan sebagai “sembah raga” dan “tapa jasad.” Kedua bentuk ibadah dibatasi oleh konteks, baik konteks waktu maupun ruang. Di samping itu juga memerlukan keterlibatan tubuh yang merupakan konteks yang paling mendasar. Hasilnya pun adalah tetap dalam koridor tubuh. Sementara, manusia tak sekedar terdiri dari tubuh belaka. Ia juga terdiri dari anasir lain yang berbeda penangannya dari tubuh.
Zaman rupanya beringsut mendekati pemetaan al-Ghazali dan para sufi Nusantara tersebut. Ia semakin menggeser peran dan ukuran ketubuhan yang dahulu menjadi syarat utama ibadah-ibadah kalangan awam. Dengan kata lain, di zaman pasca kebenaran semacam ini seolah-olah banyak orang dituntut oleh perangkat undang-undang yang ada untuk beranjak menjadi kalangan khas atau bahkan khawasul khawas. Orang tak lagi dituntut untuk sekedar berdzikir jasadnya—bukankah substansi dari shalat adalah dzikir?—dan menahan lapar, haus serta syahwat? Namun, ia pun dituntut untuk tak membuat ataupun termakan hoaks, melakukan agitasi, adu domba, pembunuhan karakter, dst.
Singkatnya, kejahatan-kejahatan yang lazim terjadi di era disrupsi informasi seperti ini. Sehingga, logika shalat dan puasanya adalah semestinya sudah menginjak pada tahap “sembah rasa” dan “tapa napsu” yang dahulu dilakukan oleh kalangan khas dimana hasilnya pun juga akan sampai pada koridor rasa dan jiwa. Zaman pun akan tetap melenggang tak seperti yang sebelumnya dapat dibayangkan. Barangkali, di masa depan, akan tumbuh kondisi yang menuntut orang untuk menjadi kalangan khawasul khawas dimana sembahnya adalah “sembah cahya” dan puasanya adalah “tapa dzat.”