Menuju perhelatan Pilpres 2024, hal yang tak kalah penting dari menolak politisasi SARA yang diprediksi bakal kembali terulang, adalah mewaspadai propaganda radikalisme. Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Boni Hargens mengatakan bahwa gerakan radikalisme adalah musuh nyata (meski tidak terlihat) yang perlu diantisipasi sejak dini dalam perhelatan Pilpres 2024.
Menurut Boni, kehadiran kelompok radikal dalam Perhelatan Pilpres 2024 itu sangat mungkin terjadi karena radikalisme adalah fenomena sosial yang terus bertumbuh. Meski sejauh ini penegakan hukum sudah dijalankan, namun hal itu bukanlah alasan bagi mereka untuk mengakhiri gerakan. Sebab, jangankan perangkat hukum, maut pun mereka lawan. Mereka adalah gerakan militan yang tak mengenal akhir sampai kematian menjemput.
Selain itu, menurut Boni, alasan lain yang memungkinkan kelompok radikal ini hadir menunggangi perhelatan Pilpres 2024 karena sampai kini keberadaan kelompok radikal itu dipelihara oleh sejumlah oligarki politik. Dalam kondisi tertentu, ia dijadikan alat untuk menciptakan ketegangan politik yang menguntungkan bagi oligarki.
Karena itu, keberadaan kelompok radikal itu senantiasa harus terus diwaspadai. Sebab, dalam waktu yang tidak ditentukan, kelompok radikal itu bisa muncul kapan saja menciptakan kegaduhan dan polarisasi politik. Perhelatan Pilpres 2014 dan Pilpres 2019, dan serta Pilkada DKI Jakarta 2017 adalah bukti penting mengapa kita harus selalu waspada akan ancaman kelompok radikal itu. Selain itu, momentum politik 2024 boleh jadi juga akan dimanfaatkan oleh mereka sebagai kesempatan politik untuk mengambil alih kekuasaan negara berhubung mereka berkepentingan mendirikan negara Islam Indonesia.
Meningkatkan Kewaspadaan: Radikalisme Adalah Bom Waktu
Berbagai studi yang dilakukan sejumlah peneliti dan ilmuan menunjukkan bahwa fenomena radikalisme tidak pernah mati dan padam. Meski situasi dan kondisi politik menampakkan ketenangan, namun sesungguhnya kelompok radikal itu terus bergerak dalam sunyi: seperti buaya di air sungai yang tenang, mereka terus membangun gerakan, memperkuat basis, dan mematangkan strategi. Pada waktu yang senantiasa adalah misteri, saat kita lengah, nantinya ia akan muncul. Menimbulkan kekisruhan dan kekacauan dalam momentum politik yang coba kita bangun secara aman.
Karena itu, tak salah bila kita menyebut fenomena radikalisme itu sebagai “bom waktu”. Sebab, dalam kondisinya yang tidak terlihat, ia senantiasa mengintai membaca dan peluang untuk melancarkan sejumlah aksi kekerasan yang akan memantik kekacauan atau bahkan tragedi berdarah. Karena itu, kita tak boleh lengah. Menjelang dan/atau mendekati tahun politik, kewaspadaan kita akan adanya ancaman kelompok radikal harus selalu ditingkatkan. Sebab, kelompok radikal adalah “hantu politik” yang bisa muncul kapan saja.
Pada tahun 2024 nanti kita tidak hanya akan melangsungkan Pemilu Nasional, namun juga Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan dilakukan serentak. Pemilu Nasional dan Pilkada tidak dihelat secara bersamaan. Jika Pemilu Nasional akan diselenggarakan pada 14 Februari, bertepatan dengan Hari Valentine, Pilkada Serentak masih akan dilaksanakan pada November 2024. Berjarak sepuluh bulan dari perhelatan Pemilu Nasional. Keadaan ini tentu akan sangat menguras energi masyarakat dan memecah fokus kita.
Karena itu, berbagai pihak harus bahu-membahu menghadapi situasi politik-ekonomi yang serba tidak berkepastian ini. Caranya, adalah fokus pada persoalan-persoalan yang kita hadapi. Di tengah ketidakpastian ekonomi dan politik, jangan sampai kelompok radikal memanfaatkan kondisi ini untuk menimbulkan kekacauan.
Sekali lagi, radikalisme adalah fenomena sosial (bom waktu) yang terus bertumbuh. Karena itu, di samping politisasi SARA yang mesti kita tolak, propaganda radikalisme yang berpotensi mengacukan hajatan lima tahunan mesti juga kita waspadai sejak dini.