Tidak ada kaitan radikalisme dengan agama. Pernyataan ini bisa jadi benar dan tidak sepenuhnya benar. Memang benar untuk menegaskan tidak ada satu pun ajaran agama yang menganjurkan radikalisme, ekstremisme dan apalagi terorisme. Radikalisme adalah term yang digunakan dalam gerakan sosial-politik yang menginginkan perubahan secara mendasar. Tidak ada kaitannya dengan agama.
Namun, pernyataan itu bukan berarti tidak persinggungan antara radikalisme dan agama. Radikalisme muncul sebagai gerakan politik yang kerap mempolitisasi identitas untuk kepentingan politik. Di sinilah, agama menjadi sarana yang diperalat dan dieksploitasi untuk kepentingan gerakan politik.
Dalam sejarah Islam, misalnya, gerakan radikalisme pertama yang diprakarsai oleh kelompok khawarij yang menjadi cikal bakal ideologi terorisme muncul sebagai gerakan politik yang memperalat agama sebagai pemebenaran. Ayat Tuhan diambil secara tekstual dan serampangan untuk menghakimi lawan politik. Dalil agama ditafsiri secara lahiriyah sebagai pembenaran untuk mengkafirkan dan menghukumi halal darah sesama muslim.
Sampai di sini sulit sekali memisahkan antara radikalisme, agama dan politik. Politisasi agama yang dilakukan individu atau kelompok melahirkan gerakan radikalisme dalam pengertian gerakan politik untuk mencapai tujuan politik kekuasaan baik dalam bentuk otoritas maupun legitimasi. Namun, patut dipertegas bahwa radikalisme adalah murni gerakan politik bukan sebagai gerakan keagamaan.
Di sinilah kita akan sampai pada perbincangan tentang politik identitas. Politik identitas merupakan salah satu strategi dari kelompok radikal dengan cara mempolitisasi agama untuk kepentingan politik. Radikalisme sebagai gerakan sosial dan politik merupakan respon terhadap perubahan sosial politik yang ada dengan cara menjadikan agama sebagai pembenaran.
Saya sepakat dengan pernyataan Oliver Roy : terrorism does not arise from radicalization of Islam, but from the Islamization of radicalism. Artinya, terorisme yang disulut dari radikalisme sejatinya bukan muncul dari pemikiran yang meradikalisasi ajaran Islam, tetapi Tindakan radikal yang diislamisasi. Islam diperalat untuk membenarkan berbagai tindakan dan tujuan radikal.
Tiga Kelompok Pengusung Politisasi Agama
Dengan melihat corak dari kelompok yang mempolitisasi agama atau melakukan agamaisasi politik, ada beberapa kelompok yang bisa diidentifikasi :
Pertama, kelompok revivalis yang memang memiliki ciri cita-cita mengembalikan masa kejayaan agama untuk dikembalikan dalam konteks kekinian. Dalam Islam, corak gerakan ini tampil mengusung khilafah sebagai ideologi politik. Mereka menjalankan politisasi agama untuk mencapai kekuasaan di tengah negara bangsa.
Kedua, kelompok militan dengan corak pandangan yang doktriner kaku dan tindakan yang destruktif mengatasnamakan agama. Kelompok ini mempolitisasi agama untuk kepentingan politik dengan meracuni anak-anak muda sebagai korban martir kekerasan.
Ketiga, kelompok kepentingan yang hanya mempolitisasi agama untuk politik elektoral. Mereka sengaja memainkan politik identitas untuk mengkapitalisasi sentimen keagamaan menjadi suara.
Ketiga kelompok ini dapat berkelindan dalam kontestasi politik dalam ruang saling menguntungkan. Politisi yang mengusung politik identitas berharap limpahan suara dari kelompok revivalis dan militan sebagai representasi gerbong politik yang ada.
Pemilu Pintu Masuk Radikalisme melalui Politik Identitas ?
Pertanyaannya apakah radikalisme akan tumbuh dan masuk dalam perhelatan Pemilu 2024 ini? Sangat mungkin terjadi jika politisi memberikan ruang bagi tumbuh suburnya politik identitas sebagai ciri kelompok radikal.
Memperalat agama dalam isu dagangan politik akan disambut baik oleh kelompok radikal dalam satu spektrum cara yang sama, tetapi tujuan yang berbeda. Kelompok radikal militan dan ekstrem tentu tidak sama dengan partai politik pengusung politik identitas untuk mencapai politik elektoral. Mereka lebih berharap rapuhnya sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara yang terkoyak dengan permainan politik identitas.
Jika politik identitas sudah menjadi tren yang dimainkan secara masif, masyarakat akan dikotakkan dalam bingkai primordialisme yang beragam dalam kontestasi politik. Pembelahan masyarakat yang semakin mengkristal akibat kontestasi politik akan mudah didorong menjadi ledakan konflik horizontal.
Masyarakat dalam kubangan politik identitas memiliki corak yang menurut Buya Syafii sebagai masyarakat sumbu pendek. Masyarakat mudah marah dan terbakar amarah karena identitasnya disentil dan selalu merasa didzalimi. Emosi seperti itu mudah dikapitalisasi dan diradikalisasi untuk tindakan kekerasan.
Residu Politik identitas Pasca Pemilu
Praktek inilah yang kita temukan dalam kontestasi politik 2019. Kentalnya politik identitas menghilangkan subtansi demokrasi yang bermartabat. Perdebatan politik bukan tentang visi dari kontestan politik tetapi pada permainan narasi yang saling menghakimi berdasarkan perbedaan identitas.
Iklim demokrasi tidak tumbuh dengan sehat dan kondusif karena maraknya politik identitas. Sebaran hoaks, fitnah, adu domba dan provokasi lebih banyak mewarnai kondisi politik dari pada pertarungan ide dan gagasan.
Hal yang paling ditakutkan dari politik identitas adalah residu politik identitas di pertarungan politik yang membekas pasca Pemilu. Masyarakat tidak melihat sebagai perlombaan politik yang memiliki akhir, tetapi permusuhan abadi dan tidak mengakui kekalahan dan kemenangan. Pembelahan masyarakat pasca Pemilu menjadi langgeng karena politik identitas membawa pertarungan politik bukan sebagai ruang kontestasi politik, tetapi sakralisasi partarungan politik.
Barangkali kita sudah merasakan betapa efek negatif politik identitas dalam pertarungan politik menjadi sangat berbahaya. Masyarakat menjadi terbelah hingga saat ini dalam pembelahan yang tidak produktif. Berbagai isu sosial politik selalu dilihat dalam kacamata pembelahan pada saat Pemilu.
Sudah semestinya diakhiri. Momen 2024 adalah momentum bangs aini belajar dari politik Pemilu sebelumnya. Jangan lagi memainkan isu politisasi agama atau politik identitas secara umum hanya demi kepentingan politik elektoral.