3 Langkah Cerdas Menangkal Hoax

3 Langkah Cerdas Menangkal Hoax

- in Narasi
1987
0

Ibarat membeli nasi bungkus, eh ternyata di dalamnya berisi tikus. Begitulah kira-kira orang yang tertimpa berita hoax. Sedih, kecewa, geregetan, dan semacamnya merupakan sebuah ekspresi yang lazim terjadi.

Cara kerja kelompok yang memproduksi hoax pun sama dengan ‘industri’ gelap; dikendalikan oleh tim yang terdiri dari para ahli, dikerjakan secara sistematis dan terukur. Laik penyedia jasa atau perusahaan dagang. Ya. Dagang kebohongan!

Menko Polhukam Wiranto, sebagaimana dikutip dari laman resmi Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, seraya menukil hasil survei dari Masyarakat Telekomunikasi mengemukakan bahwa penyebaran berita palsu (hoax) yang dilakukan oleh masyarakat setiap hari sebanyak 44,30%, lebih dari sekali sehari 17,20%, seminggu sekali 29,80%, dan satu bulan sekali 8,70.

Masih dalam kesempatan yang sama, Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi, Rosarita Niken Widyastuti, menyampaikan bahwa pada tahun 1997 ada lebih 500 situs radikalisme di Indonesia. Sementara jumlah situs yang telah ditapis sampai tahun 2016 sebanyak 773.037 situs. Rinciannya, pornografi sekitar 768.235, radikalisme 88, SARA 87, penipuan 946, perjudian 3.796, narkoba 5, anak 3, keamanan internet 4, dan HKI 175 situs (setkab.go.id, 23/2/2017).

Cerdas Bermedia

Tentu masyarakat Indonesia tidak menginginkan industri kebohongan semacam ini berumur panjang. Untuk itu, ada beberapa langkah yang harus ditempuh oeh segnap rakyat inonesia agar, minimal tertindar, bebas dari hoax.

Pertama, tabayyun. Langkah ini juga efektif dalam menangkal propaganda dalam dunia maya. Tabayyun ini juga selaras dengan ajaran agama (QS. Al-Hujarat, 6). Quraish Shihab (2016) menjelaskan bahwa ayat tersebut menyiratkan dua hal; pertama pembawa berita dan kedua isi berita. Jadi, pembawa berita yang perlu di-tabayyun dalam pemberitaannya adalah orang fasiq, yakni orang yang melakukan dosa kecil secara terus-menerus dan melakukan pelanggaran budaya positif masyarakat.

Dalam bahasa jurnalistik, yang dimaksud fasiq adalah orang yang sengaja menyebar berita propaganda dan sejenisnya. Maka, dalam Islam ayat ini sesungguhnya menekankan bahwa hendaknya seorang jurnalis berpedoman secara utuh terhadap hukum dan etika jurnalistik. Kemudian menyangkut isi berita, maksudnya adalah berita penting (naba’). Artinya, poin ini menekankan perlunya menyeleksi informasi, penyeleksian yang harus dilakukan oleh penyebar maupun penerimanya. Singkatnya, teliti sebelum mempercayai.

Kedua, kenali dan kritisi informasi sebelum mengkonsumsinya. Pragmatisme masyarakat ternyata berambah pada ranah dunia internet, utamanya dalam menerima dan menyebarkan informasi. Sebagaimana diketahui bahwa, selain ada desain atau pesanan kelompok tertentu untuk memproduksi dan memviralkan berita bohong, ada juga blogger-blogger yang hendak memanfaatkan kondisi masyarakat yang gemar meng-share suatu berita. Maka, mereka biasanya memproduksi berita yang fenomenal, boombastis, dan dengan judul provokatif serta persuasif. Dengan cara seperti itu, blog-blog atau website mereka akan semakin memikat seseorang dan dalam waktu tertentu, orang tersebut “kepincut” untuk bergabung dalam kelompok radikal.

Ketiga, laporkan pada yang berwenang. Merespon penyebaran berita palsu yang semakin meresahkan masyarakat, pemerintah membuat sebuah tim, yakni Badan Siber dan Sandi Nasional (BSSN), yang dinakhkodai oleh Djoko Setiadi.

Setidak-tidaknya, tiga langkah sebagaimana tersebut di atas dapat membuat industri kebohongan “kebakaran jenggot”. Selain cara-cara ini, hoax juga bisa dibunuh melalui merubah kebiasaan masyarakat Indonesia yang suka gosip. Gosip yang berlebihan dan tingkat pendidikan yang rendah menjadikan pembuat fake news semakin betah. Sebab, daya kritis dan literasi mayarakat Indonesia rendah. Kondisi kondisi inilah, sekali lagi, yang memacu perkembangan hoax marak.

Facebook Comments