Tantangan Pers dalam Kepungan Hoax di Media Sosial

Tantangan Pers dalam Kepungan Hoax di Media Sosial

- in Narasi
1336
2
Tantangan Pers dalam Kepungan Hoax di Media Sosial

Sejak zaman dulu, pers memiliki peran penting dalam kehidupan umat manusia. Di masa Romawi kuno, Proses jurnalistik itu telah ada, namun belum secanggih saat ini. Cara yang dipergunakan di masa itu masih sangat sederhana, Julius Caesar misalnya, mengumpulkan orang-orang yang bersuara keras untuk bertieriak ditebing tinggi memberitahukan putusan-putusan istana terkait kebijakan yang telah disahkan oleh raja. Di masa kenabian juga terjadi demikian, Nabi Sulaiman yang dikenal mengerti bahasa hewan, memiliki burung Hud-hud yang berjasa mengumpul berita tentang ratu Balqis.

Dalam sejarah bangsa kita, pers memiliki peran penting dalam kemerdakaan. Pers di masa-masa perang kemerdekaan, menyalakan semangat perjuangan untuk merebut kemerdekaan. Gerakan kebangsaan pada waktu itu telah memanfaatkan media koran dan majalah untuk mengungkapkan gagasan mereka , pers nasional mencerminkan kehidupan gerakan kebangsaan dan sekaligus menyebarkan gagasan idealisme para founding father kita. Pers Indonesia mengambil sikap oposisi pada pemerintah Belanda dan berjuang untuk kebebasan masyarakat Indonesia dari belenggu penjajah (dikutip dari Monumen Pers Nasional).

Jelas, uraian di atas, memperlihatkan sikap pers dari dulu hingga sekarang hadir untuk kemajuan dan persatuan bangsa. Akan tetapi, perjuangan pers belum berakhir malah bertambah berat. Sekarang para jurnalistik berhadapan dengan berita yang muncul begitu saja tanpa kita tau siapa dan dari mana asal pemberitaan itu. Bahkan ironisnya, isu-isu yang menyebar itu tidak diberitakan oleh pers akan tetapi diberitakan dan disebarkan sekelompok orang yang memiliki kepentingan untuk melawan pemberitaan pers.

Baca juga :Citizen Journalism: Membantu Pers Melawan Hoax dan Ujaran Kebencian

Tantangan Pers Saat Ini

Banjirnya berita di sosial media, tidak serta merta mewakili suara pers. Hal ini bisa dilihat dari berita-berita yang diliput tidak berdasarkan fakta, bahkan narasi yang dituang dalam media sosial cendrung mengarah kepada perpecahan. Bedanya dengan berita yang dikeluarkan oleh pers atau media-media resmi adalah seluruh berita yang dimuat tidak mengandung unsur-unsur kebencian, akan tetapi selalu berada dalam posisi netral. Hal ini bisa dilihat dari penggunaan narasi dan diksi yang dimuat.

Banyaknya informasi yang bergentayangan di sosial media yang bersumber dari beberapa pihak (bukan pers) acap kali membuat simpang siur berita. Bahkan membunuh kebenaran yang diberitakan oleh pers. Anehnya, tidak sedikit masyarakat yang suka dengan pemberitaan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab itu, sehingga berdampak buruk bagi dunia pers. Itulah sebabnya, berita hoaks di sosial media mudah untuk diidentifikasi, karena seluruh berita hoax tidak mengindahkan kode etik jurnalistik dan pemberitaan.

Bukan hanya itu, kekerasan demi kekerasan yang dialami oleh insan pers mulai dari kekerasan bahasa, simbolik dan fisik belum juga berakhir. Kebebasan pers meliput fakta dan melacak kebenaran berita mengalami penghalang-penghalangan dari pihak tertentu. Hal ini bukan hanya berdampak pada insan pers itu sendiri, namun juga memberi keran dan peluang bagi isu hoax menyebar. Logikanya mudah saja, jika pers dihalang-halangi meliput fakta bahkan mengalami kekerasan sudah barang tentu berita yang valid dan akurat tidak akan termuat, dengan sendirinya hoax akan merajalela karena masyarakat tidak punya acuan berita yang akurat.

Mendukung Pers, Berarti Melemahkan Hoax

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, sebagai insan pers sudah pasti memliki kode etik jurnalistik. Di atas kode etik itu, jurnalistik diawasi agar memberitakan sesuai dengan fakta yang ada (netralitas). Bagi masyarakat yang berpikir, sejatinya, membaca berita dari sumber-sumber yang otoritatif. Artinya, media yang memiliki komunitas pers tertentu yang terakui.

Mendukung pers (artinya mengkonsumsi berita yang memang-memang benar memiliki proses jurnalistik) adalah upaya melemahkan hoax yang sudah barang tentu tidak menggunakan aturan-atura dan peoses vrefikasi fakta (hanya menduga-duga). Beralih dari membaca berita sembarangn ke berita yang dimuat secara resmi dengan menggunakan aturan-aturan dalam pemberitaan (berita yang diliput pers) secara otomatis melemahkan jaringan hoax yang selama ini hidup dari ketidaktelitian para pembaca.

Akhirnya, sebagai masyarakat yang cinta akan perdamaian dan persatuan bangsa, sudah semestinya mendukung pemberitaan pers dengan menjadikan berita resmi sebagai refrensi utama memahami perkembangan yang ada. Sudah pasti insan pers memberitakan sebuah berita dengan kode etik dan memuat pemberitaan dengan senetral mungkin, tanpa menggunakan narasi dan diksi yang bisa memecah persatuan bangsa. Beralih ke pemberitaan pers di media sosial secara otomatis melemahkan seluruh jaringan hoax yang selama ini bergentayangan dan mengepung kesadaran kita.

Facebook Comments