Pada tanggal 07 April, penulis bersama dengan para penggerak komunitas Gusdurian se-Jawa timur melakukan penanaman pohon perintis di Gunung Lemongan Lumajang Jawa Timur. Gunung Lemongan setelah masa reformasi banyak dirusak oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Ditebang atau dibakar kerap dilakukan oleh segelintir orang untuk memperkaya diri.
Tindakan perusakan hutan Lemongan tersebut mengakitbatkan sumber air di ranu mulai hilang. Gunung lemongan adalah gunung yang unik daripada gunung pada umumnya. Gunung berapi yang meletus dipinggir gunungnya. Hasil letusannya tersebut membentuk ranu. Ranu berbeda dengan danau.
Kami berkegiatan di Ranu Klakah. Salah satu ranu di antara 13 ranu di gunung lemongan. Akibat perusakan hutan tersebut dengan menebangi pepohonan, yang semula Ranu Klakah terdapat 31 sumber mata air, kemudian menjadi 6 sumber mata air. Bahkan ada salah satu ranu yang mengalami kekeringan akibat hutan di gunung lemongan rusak.
Kondisi alam seperti itu, membuat masyarakat geram dan melakukan aksi untuk mengatasi kerusakan hutan di Gunung Lemongan. Salah satu penggerak masyarakat yang gelisah terhadap kasus tersebut adalah Gus A’ak Abdullah. “Kalau kita ingin menjaga sumber mata air, dan menjaga pelestarian alam maka kita benahi hutan di gunungnya,” ucap Gus A’ak ketika melihat mata air di gunung lemongan yang mulai menghilang.
Baca juga :Khalifah Millennial: Menjaga Keutuhan Indonesia dengan Empat Konsensus Kebangsaan
Spirit untuk merawat hutan di gunung didukung oleh Gus Dur. “Setelah banyak hutan-hutan di Indonesia dikuasai oleh segelintir orang, oleh Gus Dur kemudian diambil-alihkan ke negara. Pernyataan Gus Dur yang sangat populer adalah hutan untuk rakyat,” kenang Gus A’ak saat memperkenalkan laskar Hijau kepada para penggerak Gusdurian se Jawa Timur.
Gus A’ak bersama masyarakat melakukan gerakan penghijauan kembali gunung Lemongan dengan mengadakan maulid hijau. Gerakan ini sempat ditentang oleh beberapa kalangan, salah satunya adalah Majelis Ulama Indonesoa (MUI). Tidak gentar untuk terus menanam, bahkan Gus Dur mendukung gerakan ini. “Apabila kalau kamu mau melaporkan MUI, catat nama saya,” ujar Gus A’ak saat menceritakan gerakan awal mulanya laskar hijau.
Terbentuklah laskar hijau, yang berisi masyarakat sekitar Gunung Lemongan dan sebagian anggotanya adalah generasi millennial. Aktivitas mereka adalah menanam di gunung Lemongan, dengan harapan menjaga sumber mata air dan melestarikan alam. Tantangan demi tantangan kerap kali menghampiri mereka, namun mereka tidak gentar untuk menanam dan kembali menanam.
Mengamalkan Nilai Pancasila
Ada pelajaran yang sangat menarik dari perjalanan di gunung lemongan terutama dari para penggerak Gusdurian di luar Lumajang. Kita tahu, bahwa menjaga alam menjadi kewajiban kita sebagai khalifah di bumi ini. Namun, seringkali kita lalai bagaimana cara menjaga alam sekitar. Kesadaran untuk menjaga alam seringkali luput. Kegiatan menanam dan penjelasan tentang ranu Klakah oleh Gus A’ak menyadarkan penulis dan para penggerak Gusdurian di daerah-daerah, pentingnya menjaga alam dengan menanam pohon dalam konteks gunung lemongan.
Bagi penulis, gerakan yang dilakukan oleh laskar hijau tidak sebatas menjaga alam, melainkan mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Salah satu nilai yang diamalkan oleh laskar hijau adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai dibuktikan dengan menolak penguasaan terhadap hutan di gunung lemongan oleh segelintir orang, yang banyak menimbulkan kerusakan. Hutan adalah milik rakyat secara luas penting untuk disadari agar masyarakat secara luas, ikut bertanggung jawab untuk melestarikan alam.
Gerakan laskar hijau juga mengupayakan kesejahteraan masyarakat dengan melestarikan alam untuk menjaga sumber mata air. Menjaga sumber mata air, membantu untuk menghidupi tanaman, masyarakat dan lain sebagainya. Melestarikan alam dan mengamalkan Pancasila bukan hanya sebatas ucapan, tetapi harus disertai dengan perbuatan.