Belajar dari Kasus Teror New Zealand, Sri Lanka untuk Perdamaian Global

Belajar dari Kasus Teror New Zealand, Sri Lanka untuk Perdamaian Global

- in Narasi
880
0
Belajar dari Kasus Teror New Zealand, Sri Lanka untuk Perdamaian Global

Pada bulan lalu, tepatnya pada 15 Maret 2019, kita berduka karena sejumlah saudara kita umat muslim yang usai melaksanakan shalawat Jum’at di Masjid Al-Noor dan Linwood, Kota Chistchurch Selandia Baru mendapatkan serangan teroris. Kita sangat menyayangkan terjadinya tragedi kemanusiaan itu. Sebulan berlalu, tepatnya pada tanggap 21 April 2019, kita pun dihadapkan tragedi kemanusiaan kembali. Telah terjadi serangan bom di sejumlah hotel dan gereja hingga menewaskan sekitar 359 orang di Sri Lanka.

Dunia kita mulai dihadapkan dengan tragedi-tragedi kemanusiaan, yang mempunyai potensi di negara lain apabila keamanannya kurang begitu kuat. Ideologi yang tampak tersebar adalah ideologi kebencian. Terlepas dari motif dibalik teror yang terjadi di berbagai negara, orang luar memandangnya adalah meningkatnya sentiment kebencian antar satu identitas dengan identitas lain.

Sentiment paling mudah dibangun atas peristiwa teror semacam itu adalah sentiment agama. Narasi kebencian yang muncul setelah ada peristiwa teror antara kelompok agama tertentu dengan agama lain, apabila tidak melihat lebih dalam peristiwa terorisme. Sentiment kebencian atas nama agama memang mudah sekali tersulut daripada isu lainnya. Agama menjadi sebagai pedoman hidup, sebagai harga diri, bagi pemeluknya akan dijaga betul.

Respon Generasi Millenneal

Pada tanggal 22 April diundang salah satu organisasi intra kampus untuk menjadi salah satu panelis untuk berbicara tentang isu intoleransi yang terbilang marak, yang menjadikan benih-benih terorisme di Indonesia. Wacana yang muncul dalam diskusi tersebut adalah narasi kebencian. Kebencian antara kelompok yang menerima Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai negara yang final dengan landasan dan ideologinya, dengan kelompok yang mengupayakan formalisasi agama.

Baca juga :Dari Milenial Rentan menuju Milenial Cerdas untuk Perdamaian Global

Penulis kemudian keluar satu pertanyaan, bagaimana proses dialogis antara dua kelompok tersebut untuk mencapai perdamaian di tingkat nasional. Wacana yang muncul dari diskusi tersebut ada dua hal. Pertama, antar dua kelompok tersebut mempunyai kepentingan politik kebangsaan yang berbeda. Kelompok pertama meyakini bahwa Pancasila yang sudah puluhan tahun dijadikan ideologi negara adalah hal yang final. Sehingga tidak heran, apabila ada kelompok baru yang mengupayakan berdirinya negara khilafah, maka dengan tegas kelompok tersebut menolaknya.

Begitu juga dengan kelompok yang mengupayakan formalisasi agama tersebut untuk diwujudkan dalam sistem negara. Mereka meyakini bahwa misi yang dibawanya adalah ajaran agama yang harus dilakukan, agar negara ini tetap diberkahi oleh Tuhan. Dengan segala cara kelompok ini melancarkan misinya. Awalnya yang menolak demokrasi, kemudian memanfaatkan sistem demokrasi untuk mendukung terwujudnya misi negara Islam.

Antara dua kelompok tersebut kemudian muncul narasi yaitu kebencian. Kelompok yang menganggap dirinya paling NKRI maka akan mudah membenci kelompok yang baru yang ingin menggantikan ideologi negara. Begitu juga dengan kelompok tertuduh, mereka juga menuduh bahwa kelompok yang katanya mencintai NKRI tidak menjalankan perintah agama. Kedua kepentingan tidak bertemu.

Memang ini bukan persoalan mana yang lebih baik untuk Indonesia. Kalau ditanya mana yang lebih baik, penulis cenderung untuk memperbaiki sistem demokrasi yang sudah dijalankan dengan ideologi Pancasila. Daripada memilih sistem khilafah yang diprediksi mempunyai potensi diskriminasi terhadap kelompok minoritas di Indonesia. Persoalan dua kelompok tersebut adalah persoalan kebencian, karena berbeda pandangan.

Kita seringkali terjebak pada orang atau kelompoknya, bukan pada gagasannya. Tidak setuju dengan sistem demokrasi bukan berarti memerangi orang yang setuju dengan demokrasi, apalagi dengan melakukan bom bunuh diri. Begitu juga sebaliknya.

Dalam konteks terorisme yang terjadi di New Zealand dan Sri Lanka kita patut belajar atas peristiwa terorisme di dua negara tersebut. Walaupun yang menjadi korban terorisme itu adalah orang Islam, kita tidak patut untuk membenci kelompok agama yang dianut oleh terorisme tersebut. Pun sebaliknya, apabila yang menjadi korban terorisme itu orang Nasrani, jangan lantas kita membenci kelompok agama mereka yang melakukan bom bunuh diri. Patut kita tegaskan, bahwa setiap agama tidak ada yang mengajarkan kekerasan apalagi terorisme. Kita perlu mengutuk tindakan terorisme, bukan agama atau kelompok yang kebetulan melakukan teror tersebut.

Facebook Comments