Michael Hart dalam magnum opusnya; The 100 a Ranking of the Influential Persons a History, menempatkan Nabi Muhammad SAW sebagai orang kelas wahid dalam konteks jajaran orang-orang yang berpengaruh di dunia. Pilihan Michael tersebut sungguh jauh dari kepentingan pribadi maupun kelompok tertentu. Penelitian yang memakan waktu 28 tahun ini, meski banyak pihak yang ‘sakit hati’, tetapi mempunyai nilai objektivitas tinggi.
Michael Hart menempat Nabi Muhammad sebagai orang nomor satu dunia, bukan tanpa alasan atau asal-asalan. Saat Michael Hart memberikan kuliah dan seminar di London, ia menjelaskan mengapa Nabi Muhammad menempati peringkat satu orang berpengaruh dalam sejarah dunia. Bahwa, kata guru besar Astronomi AS, pada tahun 611, Baginda Rasulullah SAW berdiri tegak sendirian di Mekkah dan menyatakan ke semua orang di sana saat itu : ” Aku adalah Nabi dan utusan Allah”.
Hanya 4 orang yang percaya kepada beliau saat itu; sahabatnya, istrinya dan dua orang anak kecil. Ketika lembaran-lembaran kalender dibalik-balik ke belakang, maka terasalah waktu telah berjalan begitu saja. Saat ini, setelah lebih dari 1400 tahun, pengikut beliau, umat muslim sudah mencapai lebih dari 1 Milyar orang, dan masih terus bertambah.
Dalam kondisi seperti itu, sungguh sangat jelas bahwa Nabi Muhammad SAW bukan pembohong. Bagaimana mungkin kebohongan itu bertahan setelah lebih dari 1400 tahun!! Jadi, Anda sekalipun, orang paling kondang di dunia, tidak akan pernah mampu membohongi 1 Milyar manusia. Dan Beliau Nabi Muhammad adalah sosok yang mengubah tatanan masyarakat, bahkan beliau juga turut melihat dan terlibat secara langsung dalam perubahan itu sendiri. Satu lagi, pengaruh Nabi Muhammad masih tetap kuat dan mendalam serta berakar sampai detik ini.
Baca Juga :Perbaikan Akhlak: Solusi Reflektif atas Problem Bangsa
Berangkat dari uraian di atas, tentu menimbulkan sebuah pertanyaan mendasar dalam benak kita semua, bahwa apa sebenarnya yang dilakukan Nabi Muhammad dalam konteks membangun suatu negara—dalam hal ini Makkah, Madinah dan sekitarnya—yang mempunyai peradaban tinggi dan maju?
Banyak hal yang dilakukan Nabi Muhammad untuk membangun bangsa yang beradab dan maju, salah satunya atau hal dasar yang dilakukan adalah membangun atau memperbaiki akhlak penduduk suatu negara. Pendekatan akhlak inilah yang menjadi strategi awal nabi Muhammad menyebarkan agama Islam dan mewujudkan negara yang beradab dan maju kala itu.
Akhlak, Pilar Tegaknya Tatanan Masyarakat
Dalam konsep struktur ajaran Islam, akhlakul karimah menempati urutan kedua setelah ajaran paling inti, yakni Tauhid. Hal ini menunjukkan bahwa, akhlakul karimah menjadi tombak atau pilar tegaknya norma-norma dan tatanan masyarakat.
Diutusnya Rasulullah SAW ke muka bumi ini adalah, membawa risalah paling utama, yakni innama bu’its-tu li utamima makarimal akhlaq (untuk perbaikan akhlak manusia). Fuad Mahbub Siraj (2019) menegaskan bahwa akhlak merupakan bidang yang mutlak diperlukan, bahkan bidang ini harus mewadahi bidang-bidang lain. Artinya, tanpa adanya akhlak, maka bidang-bidang kehidupan akan memunculkan kekacauan. Misalnya, Anda seorang Ustadz atau Kyai, tapi tidak menjunjung tinggi akhlak, maka akan menyesatkan dan membodohi umat. Mudah mengkafirkan dan menuduh bid’ah terhadap kelompok selain kelompoknya sendiri adalah contohnya.
Maka, sebagaimana dituturkan oleh Quraish Shihab dalam bukunya berjudul “Yang Hilang dari Kita, Akhlak (2016), bahwa akhlakul karimah (akhlak yang luhur) dibutuhkan karena eksistensi masyarakat ditentukan oleh tegaknya moral (akhlak). Jadi, prestasi dan kacapaian tertinggi sebuah negara sejatinya bukan membangun infrastruktur yang megah di mana-mana, melainkan sejauh mana akhlak mulia itu diterapkan oleh masyarakat.
Apabila moral sudah tidak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, maka negara dalam kondisi bahaya. Kita mengerti betul bahwa budaya kekerasan, kezaliman, korupsi, radikalisme, terorisme, dan masih banyak lainnya itu, karena akhlak telah hilang.
Pilar utama tegaknya tatanan masyarakat dan fondasi atau modal utama untuk mewujudkan dan merawat perdamaian, kerukunan, dan persatuan adalah akhlakul karimah.
Namun kita patut prihatin dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini, dimana krisis akhlak terjadi dan melanda generasi muda kita. Bahkan orang yang seharusnya menyampaikan nilai-nilai luhur akhlak dan menjadi panutan dalam masyarakat, seperti da’i, seringkali mencerminkan tidak menjunjung tinggi akhlak yang mulia. Mudah menstempel orang kafir, adalah contohnya.
Krisis moral harus segera diakhiri. Namun menawarkan khilafah sebagai solusi atas kegentingan ini, bukanlah termasuk langkah yang bijak. Khilafah itu baik, namun ketika hendak memaksa menegakkan di negara yang sudah ‘bersistem khilafah’ secara subtansial, adalah langkah yang kurang tepat, jika tidak ingin dikatakan ‘konyol’.
Membangun bangsa bukan semata-mata memenuhi perut masyarakatnya saja. Lebih dari itu adalah, bagaimana akhlak mulia menjadi gaya hidup setiap masyarakat secara keseluruhan. Mengkampanyekan akhlak sebagai fondasi dalam menjalani kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara jauh lebih penting dan mendesak ketimbang berkoar-koar menegakkan khilafah.