Pada dasarnya dalam setiap agama ataupun sistem budaya klasik senantiasa ada yang namanya sisi eksoteris dan esoteris. Dalam agama Islam sisi esoteris tersebut dikenal sebagai tasawuf atau sufisme. Islam sendiri, dalam logika tasawuf, adalah sebuah “dasar” di mana ia berkaitan dengan sisi jasmani atau sisi luar kemanusiaan (hardware). Maka di sini ilmu yang paling berkaitan dengannya adalah fiqh. Pada ilmu fiqh orang akan belajar tentang berbagai hal yang berkaitan dengan sisi eksterior manusia maupun relasi manusia dengan manusia lainnya. Keyakinan, yang merupakan motor utama agama, pada tahap ini disebut sebagai ‘ain al-yaqin.
Tapi rupanya manusia tak semata makhluk yang memiliki sisi eksterior belaka. Ia juga punya sisi interior: pikiran dan jiwa (software). Tingkat lebih lanjut dari Islam dalam pengertian di atas adalah apa yang disebut sebagai “iman.” Pada titik ini manusia belajar tentang berbagai hal yang membuat keyakinannya semakin tebal. Maka di sini ilmu yang paling relevan adalah teologi (kalam). Teologi, sebenarnya, berkaitan dengan nalar dan pemahaman, tak lagi semata tubuh. Sebab teologi sendiri berasal dari teo (Tuhan) dan logos (ilmu maupun kalam). Maka keyakinan yang ditimbulkan pada tahap ini disebut sebagai ilmu yaqin.
Tak sekedar itu, perjalanan seorang anak manusia perlu untuk beranjak lebih jauh dan lebih dalam lagi, hingga menyentuh sisi terdalam kemanusiaan—atau apa yang saya sebut sebagai, untuk meminjam istilah Bourdieu di luar konteks, habitus. Para ulama mengatakan bahwa tahap ini adalah tahap ihsan di mana tahap ini menjadi lahan garapan ilmu tasawuf (sufisme). Tapi sayangnya, tak ada definisi yang pasti perihal ihsan tersebut. Yang jelas, ihsan merupakan sesuatu yang beyond of the texts (post-software) di mana bentuk keyakinan yang ditumbuhkannya adalah haqq al-yaqin.
Terkait dengan radikalisme, sebenarnya—dengan menyimak berbagai aksi-aksi radikal dan teroristik belakangan ini—sudah tak lagi berkaitan dengan aspek ketubuhan dan pikiran. Radikalisme dan terorisme kontemporer sudah beringsut menghunjam sampai pada habitus. Maka dapat dipahami kenapa pola-pola radikalitas senantiasa berulang. Berbicara habitus tak lagi berbicara tentang tubuh ataupun nalar, tapi berbicara tentang sebuah daya yang “gila” yang sudah melampaui tubuh dan nalar itu sendiri.
Baca Juga :Teleology Akhlaki sebagai “Cyber Security” dari Paham Radikal
Dengan demikian, saya kira, orang mesti melihat radikalisme dan terorisme di hari ini dengan kacamata ilmu tasawuf yang langsung berkaitan dengan habitus (post-software). Secara sederhana tasawuf dapat dipahami sebagai sebuah ngelmu laku (eksperientalisme). Dalam Serat Wedhatama terdapat bait yang melukiskan hal itu.
Ngelmu iku
Kelakone kanthi laku
Lekase lawan khas
Tegese khas nyantosani
Setya budya pangekesing durangkara
Bagaimana orang dapat tahu bahwa buah jeruk nipis itu kecut (ilmu) tanpa ia mencicipi jeruk nipis itu sendiri (laku)? Maka di sinilah letak penting ilmu tasawuf yang memang berkaitan dengan bagaimana cara mendidik diri. Ketika memahami agama dalam kacamata tasawuf sebenarnya orang tengah tahu bahwa agama pun adalah sebentuk metode pendidikan diri. Para sufi mengutip berbagai ayat yang mencandra transformasi kedirian manusia, di mana al-Ghazali memilahnya menjadi 7. Tapi secara umum para sufi memilahnya menjadi 3: ammarah (Yusuf: 53), lawwamah (al-Qiyamah: 2), dan muthmainah (al-fajr: 27-28).
Radikalitas dapat dimengerti sebagai buah dari sistem kedirian yang penuh dengan amarah. Adapun terorisme yang sudah pada tahap melakukan tindakan bunuh diri merupakan konsekuensi logis dari dominannya diri lawwamah. Adapun buah dari laku yang dilukiskan oleh Wedhatama di atas adalah setya budya (diri yang sudah menjelma telaga yang tak beriak, bening dan hening). Diri yang tenang inilah yang konon mampu mengalahkan diri ammarah dan lawwamah (pangekese durangkara) hingga al-Qur’an sendiri menujumnya sebagai satu-satunya bentuk kedirian yang kelak diperkenankanNya pulang dengan riang.