Menyoal Peran Agama(wan) dalam Krisis Lingkungan

Menyoal Peran Agama(wan) dalam Krisis Lingkungan

- in Narasi
621
1
Menyoal Peran Agama(wan) dalam Krisis Lingkungan

Musibah alam seperti banjir, misalnya, yang terjadi beberapa hari lalu se-Jabotabek—dan termasuk di sejumlah daerah lain, serta pada tahun-tahun sebelumnya—tidak bisa dilepaskan dari peran yang dilakukan oleh umat manusia. Banjir itu, tidaklah terjadi secara alami, tapi juga melibatkan intervensi manusia berupa pengrusakan terhadap alam seperti illegal logging, buang sampah sembarangan, reklamasi, dan lain sebagainya.

Totyo Sugiarto (2006) mencatat, terjadinya illegal logging di mana-mana dengan kecepatan perusakan hutan yang amat dahsyat, lebih dari 7 hektar per menit dan terus mengalami percepatan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pernah mengemukakan data yang sungguh mencengangkan, bahwa hutan di pulau berpenduduk, seperti di Jawa, cuma 18 persen dari luas pulau, jauh di bawah ketentuan minimal 30 persen.

Larangan menebang hutan dan kewajiban reboisasi selama bertahun-tahun ternyata tak mampu menahan susutnya luas hutan, terutama karena dicuri oleh para pejabat yang ditugasi menegakkan larangan itu. Lantas, ketika bencana demi bencana kembali berulang, bagaimana kita dapat melakukan injeksi kesadaran terhadap masyarakat atau oknum tertentu agar tidak lagi merusak lingkungan?

Peran agama(wan)

Dalam hal ini, tak ada salahnya bila kita menaruh harapan pada peran agama(wan). Tahun 1986 pernah terjadi pertemuan pemimpin agama-agama di Assisi, Italia. Pertemuan yang diadakan oleh World Wildlife Fund (WWF) itu bergiat mengumpulkan seluruh pemuka agama guna menghadapi krisis lingkungan dan konservasi alam yang terjadi di bumi, dan menghasilkan “Deklarasi Assisi” di mana masing masing agama memberikan pernyataan tentang peran mereka dalam melestarikan alam.

Berikut saya kutipkan pernyataan-penyataan tersebut: “Kerusakan lingkungan hidup merupakan akibat dari ketidak taatan, keserakahan dan ketidak perduliaan (manusia) terhadap karunia besar kehidupan” (Buddha); “Kita harus, mendeklarasikan sikap kita untuk menghentikan kerusakan, menghidupkan kembali menghormati tradisi lama kita” (Hindu); “Kami melawan segala terhadap segala bentuk eksploitasi yang menyebabkan kerusakan alam yang kemudian mengancam kerusakannya” (Kristiani); “Manusia adalah pengemban amanah, berkewajiban untuk memelihara keutuhan ciptaan-Nya, integritas bumi, serta flora dan faunanya, baik hidupan liar maupun keadaan alam asli” (Islam).

Baca Juga :Membaca Hikayat Khalifah dan Relevansinya

Lynn White Jr (1999), pernah melontarkan kritik tajam dengan mengecam agama-agama monoteistik tidak bersahabat dengan alam. Menurutnya, ada kesalahan teologis dalam menafsirkan agama dalam kaitannya dengan alam. Masalah utamanya karena manusia dalam tafsir agama ditempatkan dalam posisi superior dan alam inferior. Akibatnya, eksploitasi alam menjadi sah dan itu menjadi persoalan ketika saat ini agama akan dikedepankan dalam upaya menjaga ekologi. Artinya, ketika agama menempatkan alam lebih rendah dari manusia, eksploitasi sekehendak manusia menjadi sah.

Pendapat tersebut memang bisa menimbulkan reaksi dari penganut agama dan sudah pasti mereka mengatakan bahwa agama tidak bermusuhan dengan alam. Hanya saja untuk melakukan itu memang harus dilakukan rekonstruksi terhadap sejumlah pandangan keagamaan terhadap alam.

Oleh sebab itu, doktrin agama harus dipahami esensinya (maqasid al-syariah) agar justru tidak menimbulkan efek yang berlawanan dengan doktrin dasar agama (Islam), yaitu rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam semesta).

Barangkali kita perlu mengkaji ulang, agar al-usul al-khamsah (lima dasar) hukum Islam yang meliputi, memelihara agama (hifz al-din) memelihara akal (hifz al-`aql), memelihara jiwa (hifz al-nafs), memelihara kehormatan (hifz al-`ardl), dan memelihara harta benda (hifz al-mal) ditambah dengan satu asl (dasar) lagi, yaitu memelihara lingkungan (hifz al-bi’ah).

Alasannya, karena lima dasar itu sudah dianggap tidak memadai untuk menyadarkan masyarakat agar menghentikan melakukan perusakan lingkungan. Gagasan ini meski “tidak absah” secara hukum Islam, sangat penting untuk senantiasa disuarakan dalam konteks sekarang.

Mengingat, kerusakan alam lingkungan sudah semakin parah dan mengancam kelangsungan manusia di masa yang akan datang, sudah sepatutnya tokoh-tokoh agama melakukan rekonstruksi terhadap doktrin-doktrin keagamaan di mana pada masa lalu memang relevan dengan situasi yang ada guna menjadikan nilai-nilai agama sebagai penggerak utama dalam menciptakan kesadaran terhadap alam dan lingkungan.

Facebook Comments