Khalifah dan Dakwah Teror

Khalifah dan Dakwah Teror

- in Narasi
557
0
Khalifah dan Dakwah Teror

Beberapa hari lalu, surat kabar lokal menayangkan berita berjudul “Rohis SMA Negeri di Sragen Kirim Teror WA ke Siswi Tak Berjilbab”. Sontak, berita tersebut mengundang reaksi dari masyarakat, utamanya netizen.

Konon, siswi yang belum berjilbab tersebut awalnya mendapatkan broadcast dari seseorang, ia pun menanggapi hal tersebut merupakan sesuatu yang biasa. Seiring berjalannya waktu, namun si siswi urung memakai jilbab, sehingga pesan pun datang beruntun, bahkan sampai ke level teror atau pemaksaan. Singkat cerita, merasa anaknya mendapatkan tekanan, maka wali murid siswi tersebut melakukan mediasi ke pihak sekolah. Akhirnya terbongkar sudah bahwa yang mengirim pesan-pesan selama ini adalah dari Rohis. Puncaknya, pihak sekolah, dalam hal ini kepala sekolah mengaku bahwa pihaknya “kecolongan”. Ambyar!

Memang ada yang “membenarkan langkah Rohis tersebut dengan alasan, diantaranya bahwa, yang dilakukan oleh Rohis tersebut sebagai salah satu langkah untuk mengamalkan/menjalankan perintah atau tuntutanan agama (syariat), meningkatkan kualitas iman dan taqwa siswi. Apalagi siswi yang mendapatkan ajakan mengenakan jilbab tersebut adalah beragama Islam. Jadi, kelompok ini berpandangan bahwa langkah Rohis tersebut sudah sesuai dengan tuntutan atau syariat Islam.

Namun, tak sedikit yang menyayangkan sikap dan langkah Rohis SMA Negeri sebagaimana dijelaskan di awal. Tentu kelompok ini juga memiliki pendapat. Diantaranya adalah, bahwa teror atau pemaksaan tersebut jika terjadi dalam lembaga pendidikan swasta yang memang sejak awal di desain untuk memperkuat agama, maka peristiwa tersebut bisa dimaklumi. Akan tetapi, kasus ini justru terjadi di lembaga pendidikan negeri. Tentu hal tersebut bermasalah. Secara gitu ya, lembaga pendidikan negeri adalah lembaga-lembaga yang berdiri dari uang-uang rakyat, hasil pajak dan lainnya yang tentu saja berasal dari masyarakat yang beragamam, baik agama maupun suku dan lainnya.

Berangkat dari peristiwa itulah, tulisan ini hendak menjernihkan segenap sikap dan pikiran masyarakat Indonesia; terutama dalam kaitannya tentang cara dakwah/berdakwah. Ranah-ranah semacam ini juga berkaitan erat dengan tugas dan fungsi manusia sebagai Khâlifah fî al-Ardi.

Sekali Lagi tentang Fungsi Khalifah

Tuhan menciptakan manusia di muka bumi ini tidak hanya sekedar hidup; cari maka, tidur dan “berkembangbiak” atau menikah. Kalau sekedar demikian, kata Buya Hamka, monyet di hutan pun juga melakukan hal yang sama.

Baca Juga :Dari Ideologi Khilafah ke Manusia Khalifah

Manusia merupakan makhluk yang dianugerahi akan dan pikiran serta hati nurani. Inilah keunggulan manusia dibanding makluk lain yang diciptakan oleh Allah SWt di muka bumi ini. Dengan kelebihan tersebut, maka dalam Islam, setidak-tidaknya terdapat tiga tujuan penciptaan manusia.

Pertama, untuk beribadah kepada Allah. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Alquran Surat Adz-Dzariyat atay 56, yang terjemahan singkatnya; Allah menciptakan manusia dan jin di muka bumi ini untuk menyembah Allah. Ini berarti bahwa fitrah manusia adalah menjadi hamba Allah, bukan hamba yang lain; pimpinan, bos, dan lain-lain.

Kedua, sebagai khalifah Allah di muka bumi. Surat Albaqarah ayat 30 menjelaskan tentang hal ini. Terkait ayat ini, telah banyak karya atau ulasan dalam bentuk buku yang berjilid-jilid. Ayat ini juga dapat dipahami sebagai bukti bahwa eksistensi manusia di muka bumi ini sangat menentukan, sehingga hanya manusia yang menyandang sebagai khalifah (pemimpin). Tentu juga agar manusia dapat memanfaatkan segala yang tumbuh di atas muka bumi ini untuk kelangsungan dan kemakmuran hidupnya.

Ketiga, berdakwah. Abdul Pirol dalam Komunikasi dan Dakwah Islam (2018) memberikan informasi yang penting bahwa Islam merupakan agama dakwah yang memuat berbagai petunjuk agar manusia secara individual menjadi manusia yang baik, beradab, berkualitas, dan memiliki intregitas tinggi.

Dakwah Teror; Mana Dalilnya?

Sejatinya, dakwah merupakan bagian dari tugas manusia sebagai khalifah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa diantara kerja dan misi profetik manusia adalah berdakwah.

Sebagai khalifah yang diantara tugasnya adalah merawat dan menciptakan kondisi bumi aman untuk semua manusia, maka dakwah sudah seharusnya dilakukan dengan cara yang bermartabat, bukan dengan cara teror sebagaimana terjadi selama ini. Islam disebut sebagai agama dakwah karena penyebaran Islam dilakukan dengan terukur, santun, bijak, dan penuh sasaran.

Berkaitan dengan kasus sebagaimana disinggung di atas, timbul-lah sebuah pertanyaan mendasar; bahwa Rohis (Rohani Islam) merupakan organisasi, lazimya bergerak di lembaga pendidikan Islam—yang diantara fungsi dan tujuannya adalah memperdalam dan memperkuat ajaran Islam.

Secara sederhananya, Rohis ini adalah mereka yang sedang menjalankan tugas manusia sebagai khalifah dan pendakwah. Maka sudah seharusnya segala kegiatan dan gerakan mereka didasakan pada dalil-dalil Alquran, Hadis dan perkataan para sahabat dan mujtahid. Namun, mengapa justru yang dilakukan seolah-olah “melawan” ketentuan dalam Alquran? Adakah di dalam Islam ajaran yang menyebutkan bahwa dakwah dilakukan dengan cara-cara keji, teror misalkan?

Surat An-Nahl ayat 125 adalah jawaban atas semua ini. Bahwa dalam surat ini, memberikan panduang berdakwah dengan cara al-hikmah, al-mau’idhah a-hasanah dan al-jidal al-ahsan. Al-Hikmah lazimnya diartikan sebagai kebijakan dan kearifan. Sementara al-mau’idhah a-hasanah dan al-jidal al-ahsan adalah bertutur kata atau nasehat yang baik, bahkan ketika berdebat pun harus dengan perdebatan yang baik pula. Tidak ada perintah teror sama sekali di sini, apalagi memaksa.

Pada akhirnya, tugas manusia di era saat sebagai khalifah sangatlah berat dalam artian akan menghadapi banyak tantangan. Namun harus tetap dilakukan karena semua itu tugas mulia dan yang menjadikan manusia itu mulia, baik di sisi makhluk maupun Allah SWt.

Facebook Comments