Banjir Harus Berlalu, Kekhalifahan Harus Tumbuh

Banjir Harus Berlalu, Kekhalifahan Harus Tumbuh

- in Narasi
621
0
Banjir Harus Berlalu, Kekhalifahan Harus Tumbuh

Tuhan membocorkan sebuah dialog dengan para malaikat sebelum Nabi Adam diturunkan ke bumi. “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Malaikat sempat mempertanyakan iradah itu. Tuhan menjawabnya; “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Ketika itu, Tuhan menyuruh Adam memperlihatkan kemampuannya menyebut nama-nama benda di depan malaikat. Malaikat pun tunduk, menerima iradah Tuhan. (QS: 2:30).

Dari dialog Tuhan dan malaikat kita paham, di antara tujuan penciptaan manusia dimaksudkan sebagai khalifah. Menurut Prof Quraish Shihab (2019) kata khalifah berasal dari kata khalf (menggantikan, mengganti), atau kata khalaf (orang yang datang kemudian). Di dalam al-Quran kata khalifah memiliki dua makna. Kata khalifah yang berlaku untuk setiap anak cucu Adam. Kata khalifah yang berlaku untuk penguasa atau pemimpin pemerintahan, seperti yang difirmankan Tuhan kepada Nabi Daud.

Dalam pemaknaan yang lebih luas, kata khalifah bisa dipahami sebagai tugas dan peran kepemimpinan. Artinya, secara eksistensial manusia diciptakan dengan peran sebagaimana telah diberikan kepada Adam dan Hawa. Kesadaran eksistensial itu semestinya terus dipupuk. Menumbuhkan kesadaran eksistensial memungkinkan setiap orang merasa bertanggung jawab atas kehidupan tata kosmos. Sehingga makna kepemimpinan tidak tereduksi secara sempit sebatas penguasa politik atau wilayah.

Cermin Krisis Eksistensial

Diakui atau tidak, kita tengah mengalami krisis kesadaran eksistensial itu. Misalnya, banyak peristiwa yang kita maknai secara parsial. Ketika banjir melanda Jabodetabek dan sekitarnya, orang-orang ribut menuduh sepenuhnya pemerintah gagal mencegah banjir. Cara pandang atau argumen itu memang mengandung kebenaran, tetapi juga mengandung kenaifan. Tugas mencegah banjir bukan semata-mata berada di pundak kekhalifahan penguasa. Tiap individu semestinya memiliki tanggungjawab.

Menurut peneliti Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia (LIPI), M. Fakhrudin, penyebab banjir Jabodetabek dan sekitarnya karena dua faktor utama. Pertama, terjadinya curah hujan ekstrem di wilayah Jakarta (>150 mm/hari). Serta sebaran curah hujan di daerah penyangga ibukota seperti Bogor dan Depok berstatus lebat. Kedua, terjadinya ahli fungsi lahan yang berlangsung cepat. Sehingga daya resap sistem Daerah Aliran Sungai di Jabodetabek terhadap air hujan menjadi menurun. (cnnindonesia.com, 08-01-2020 : 08.03).

Baca Juga :Nabi Muhammad SAW Teladan Khalifah yang Paripurna

Narasi yang mengemuka, adalah perbincangan pendekatan peran struktural. Dominasi cara pandang itu menenggelamkan evaluasi atas peran pendekatan individual. Saat banjir melanda, media sosial sesak dengan hujatan berbau politik partisapan. Masyarakat terbelah dalam banjir yang dikomodifikasi sebagai isu politik. Sulit dipungkiri, keriuhan itu mengkeruhkan pokok soal. Ruang publik minim percakapan solusi. Evaluasi atas kekhalifaan tiap individu tenggelam dan seakan tidak penting.

Pemerintah boleh kita salahkan yang memberi izin alih fungsi lahan. Namun penting ada otokritik atas peranan kita sebagai warga. Individu yang sekaligus didaulat Tuhan sebagai khalifah. Ketika seseorang bernegara menyandang hak sebagai warga, hal yang eksistensial tidak otomatis luruh. Kewajibannya menjaga tata sosial dan keseimbangan ekologis tetap melekat. Misalnya, sudahkah kita membuat sumur resapan di tiap rumah kita, ketika tanah-tanah kita beton menjadi hunian? Sudahkan kita membuang sampah secara bijak?

Pencegahan banjir tidak cukup dilihat dari sudut pandang struktural (kekhalifahan penguasa). Butuh pendekatan holistik yang melibatkan peran warga (kekhalifahan individual). Pemilu bukan penyerahan total mandat kekhalifahan yang melekat pada diri tiap anak Adam. Dalam konteks bernegara, kewajiban kita menjadi demos bukan sebatas voters. Sialnya, kita terjebak menjadi voters. Pasca Pemilu keriuhan politik masih diwarnai sentimen perbedaan pilihan elektoral. Masyarakat terbelah membela idola. Pengawasan yang subtantif terhadap kerja dan kinerja pemerintah tidak jalan.

Pendekatan Kultural

Melihat persoalan banjir ibukota tidak cukup hanya menggunakan pendekatan struktural. Masalahnya terlalu serius. Selain menurunnya struktur tanah, populasi penduduk masih sulit dikendalikan, tiap tahun urbanisasi pun sulit dibendung. Penanganan banjir butuh pendekatan kultural, selain struktural. Pendekatan kultural adalah pembangunan berfikir dan berkesadaran bahwa air adalah bagian dari kehidupan yang butuh habit. Air bisa menjadi bencana ketika habitatnya kita persempit atau kita rampas.

Kesadaran semacam itu butuh dihidupkan dan diterjemahkan dalam bentuk perilaku yang berkesinambungan. Pendekatan kultural memungkinkan tiap orang selalu mawas, Jakarta butuh ruang air yang besar. Jika hanya mengandalkan pendekatan struktural, setelah air surut, musim hujan lewat, orang akan mudah melupakan fakta kosmos Jakarta. Pemerintah penting mendorong pendekatan kultural. Melihat modal sosial sebagai kekuatan untuk menopang pendekatan struktural dalam penanganan banjir.

Paradigma penanganan banjir harus didorong melibatkan warga melalui knowledge management. Artinya, pendekatan kultural itu harus mewariskan pengatahuan sistematis dan ilmiah kepada anak cucu kita dalam menghadapi ancaman bencana. Pengatahuan yang cukup tentang ancaman bencana adalah modal untuk merangsang sifat kekhalifaan tiap individu dalam masyarakat. Dalam tahap yang lebih lanjut, memungkinkan kemandirian warga dalam menghadapi ancaman bencana.

Setelah banjir melanda Jabodetabek dan sekitarnya, barang berharga yang harus kita temukan adalah kesadaran eksistensial. Kesadaran yang memungkinkan setiap individu merasa bertanggung jawab. Karena eksistensi setiap orang adalah khalifah. Kekhalifahan tidak tunggal berada dipundak para pemimpin pemerintahan. Setiap individu memiliki tanggungjawab untuk mencegah bencana.

Facebook Comments