Ide tentang kebersamaan dalam berbangsa dan bernegara, sejatinya dapat ditemukan dalam bahasa simbolik. Karena bahasa simbolik membentuk satu ekspresi kesadaran dalam masyarakat symbolism of society. Bahwa kita satu keluarga dalam komunitas berbangsa dan bernegara. Direfleksikan dalam bentuk semangat tatanan nilai persatuan di tengah perbedaan identitas personal.
Sehingga kesadaran berbangsa dan bernegara bisa kita bentuk dalam ungkapan salam kebangsaan atau salam Pancasila. Karena semata-mata bukan membentuk satu konstruksi masyarakat yang menghapus identitas personal atau tiap-tiap kelompok diseragamkan. Akan tetapi lebih kepada bentuk penerangan kekeluargaan kita bagaimana “Salam Pancasila” lahir sebagai bahasa simbolik yang membentuk kesadaran bahwa kita harus bersatu dan membangun kebersamaan di tengah perbedaan ini. Di sinilah peran bahasa simbolisme bisa mempersatukan kita. Karena bahasa simbolik dalam “Salam” identitas personal keagamaan, sejatinya membentuk konstruksi nilai metafisika yang mengacu kepada kepercayaan tiap-tiap personal sebagai kebenaran keselamatan identitas. Sedangkan ijtihad para pemuka bangsa yang membuat “Salam Kebangsaan” demi membentuk ide-ide refleksi kebangsaan yang harus diekspresikan dalam bentuk pengenalan akan kebersamaan itulah yang saat ini kita harus tampakkan.
Kita harus banyak-banyak belajar kepada Soekarno. Bahwa dia begitu membedakan bahasa simbolik dalam ruang-ruang publik. Antara salam keselamatan bagi sesama umat muslim salah satu bentuk pengungkapan identitas beliau sebagai umat Islam. Dengan salam keselamatan secara nasional “Salam Merdeka” yang beliau memosisikan dirinya sebagai kepala negara. Dengan bahasa simbolik kenegaraan tersebut kita mampu membentuk kesadaran masyarakat yang beragama dan kompleks untuk bersama-sama membangun persatuan di tengah kemajemukan ini demi kemerdekaan yang lebih baik dari masa ke masa.
Tidak perlu kita menganggap bahwa salam kita lebih baik dari pada orang lain atau bahkan salam yang tidak sesuai dengan kita justru kita memisahkan diri. Pun juga Salam kebersamaan atau Salam Pancasila ini bukan semata-mata untuk membuang identitas tiap-tiap personal akan tetapi bagaimana kita membentuk kesadaran nasional untuk bersama-sama menjaga negeri ini dari pertikaian, kehancuran dan keamanan masyarakat dalam stabilitas kenegaraan secara geopolitik agar tidak pecah.
Merawat perbedaan ini sejatinya adalah menjaga kemanusiaan kita agar tidak dilupakan. Karena sejatinya tiap agama menjunjung tinggi derajat kemanusiaan kita. Karena para pemuka bangsa ini membentuk konsensus nasional sejatinya berdasarkan ijtihad membentuk dan melindungi kemanusiaan tersebut melalui keharmonisan, kebersamaan dan persatuan di dalam merawat bumi nusantara ini.
Kita semua memiliki kesadaran bagaimana ISIS yang selalu menjanjikan kehidupan yang layak, keadilan dan kesejahteraan dengan syarat bergabung dalam bendera “khilafah” yang membentuk kelompok penegak keadilan. Namun semenjak kasus para anggota ISIS yang merasa dikecewakan sejatinya hanyalah kedustaan. Bahkan yang dijanjikan sebagai kehidupan yang layak hanyalah ilusi dan harapan semu. Karena terjadi hanya bom meledak di mana-mana serta pertumpahan darah menjadi santapan setiap hari.
Mengapa tidak kita membentuk kesadaran dengan membangun simbolisme persatuan kita melalui “Salam Pancasila” ini? Jika kebersamaan membuat kehidupan kita aman dan nyaman tanpa ada konflik berdarah. Bagaimana kita menggunakan nalar logis kita di dalam membangun kesadaran kebersamaan, persatuan dan memiliki sikap saling menerima satu sama lainnya. Serta jangan saling menghakimi atau saling membentuk gerakan untuk saling membunuh dan menyebarkan kebencian di sosial media. Jadikan salam Pancasila sebagai simbol keselamatan kita bersama. Serta kita bentuk ekspresi persatuan dan membentuk konstruksi masyarakat kita yang saling berlomba-lomba mengumandangkan salam kebersamaan di tengah kemajemukan kita ini.