”Merdeka!!”: salam pancasilais lintas agama dan budaya

”Merdeka!!”: salam pancasilais lintas agama dan budaya

- in Narasi
1127
0
”Merdeka!!”: salam pancasilais lintas agama dan budaya

“Merdeka!!”. Itulah salam kebangsaan yang diajarkan Bung Karno. Eksistensi salam tersebut tidak mengeliminasi salam keagamaan. Buktinya beliau selaku muslim selalu mengawali dengan “Assalamu’alaikum Warohmatullohi wabarakatuh”.

Hampir semua agama dan estnis memiliki salam sendiri. Tingkatannya mungkin berbeda, ada yang sacral karena termasuk ibadah dan ada yang bebas. Apapun itu salam keagamaan tidak perlu digoyah dan mesti dihormati siapapun. Sebagaimana konstitusi telah mengakui eksistensi agama itu sendiri.

Riak-riak yang membenturkan antara agama, budaya dan Pancasila selalu ada dan hal itu adalah klise. Sejatinya dalam tataran tekstual, kontekstual dan faktal tidak ada pertentangan diantara ketiganya. Untuk itu ke depan, bangsa ini tidak perlu disibukkan lagi oleh wacana yang saling membenturkan. Agama, budaya dan Pancasila mesti akui, dihormati, dan diaktualisasi dalam harmoni kebangsaa. Siapa yang tidak mengakui salah satunya tentu akan berhadapan dengan hukum yang sudah mengaturnya. Kewaspadaan justru harus ada kepada paham-paham yang bermisi memisahkannya, seperti komunisme. Satu jembatan untuk harmonisasi ketiganya yang perlu dilestarikan berupa salam kebangsaaan, salam Pancasilais yaitu “Merdeka”.

Relasi dan Harmoni

Indonesia bukanlah negara agama, namun mengakui dan menempatkan agama dalam posisi mulia. Hal ini dikuatkan dalam konstitusi. Agama-agama yang ada dan diakui juga dijamin serta dibuka kran kontribusinya bagi pembangunan bangsa.

Baca Juga : Salam Pancasila dan Paradigma Bahasa Simbolis untuk Persatuan Kita

Sedangkan peradaban nusantara sendiri terbangun dalam keberagaman budaya hingga kini. Perjalanan bangsa memberikan teladan bahwa peradaban nusantara terbangun melalui salah satunya akulturasi budaya dan agama. Adalah Wali Songo yang fenomenal mampu meletakkan pondasi akulturasi tersebut. Akulturasi ini tentu mesti dilestarikan dengan tetap berapa pada koridor toleransi.

Budaya nusantara dengan segala kebhinnekaan dan kompleksitasnya membutuhkan peran keagamaan. Keduanya yang akan menjadi ruh peradaban atau pembangunan bangsa. Inilah modal kuat yang jarang dimiliki peradaban lain di dunia ini.

Selanjutnya eksistensi Pancasila adalah final bagi NKRI. Pancasila menempatkan nilai spiritual menjadi paling sentral. Konsekuensi logisnya adalah keharusan untuk menciptakan iklim politik pemerintahan yang berketuhanan, menghadirkan pemimpin yang spiritualis, serta hukum/aturan yang menghormati norma keagamaan.

Imam Al-Gazali menyatakan: “Dunia adalah ladang akhirat. Agama tidak akan sempurna kecuali dengan adanya dunia. Kekuasaan dan agama tidak mungkin dipisahkan. Agama adalah tiang, penguasa adalah penjaga. Bangunan tanpa tiang akan roboh dan apa yang tidak dijaga akan hilang. Keteraturan dan keseimbangan akan terwujud kecuali dengan penguasa.”

Fungsi pokok Pancasila sebagai dasar negara didasarkan pada Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang Republik Indonesia (jo Ketetapan MPR No.V/MPR/1973, jo Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978) yang menjelaskan bahwa Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber tertib hukum Indonesia yang pada hakikatnya adalah merupakan suatu pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang meliputi suasana kebatinan serta watak dari bangsa Indonesia.

Aktualisasi

Relasi di atas menunjukkan tidak adanya sekat dan benturan antara agama, budaya, dan Pancasila. Ketiganya bahkan perlu diaktualisasikan bersama dalam harmoni berbangsa. Banyak hal perlu dilakukan dalam upaya aktualisasi tersebut.

Pancasila bukan sekadar slogan atau filsafat, tetapi merupakan pondasi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Mendiskusikan Pancasila dibutuhkan dalam rangka edukasi, doktrinasi, transformasi dan penyamaan persepsi nilai. Namun hal yang utama adalah konsekuensi atau tindak lanjutnya berupa aktualisasi dan implementasi di semua lini dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Budaya terus berkembang, sedang ajaran dasar agama tentu konstan dan final. Perkembangan budaya justru menjadi tantangan aktualisasi ajaran agama. Menjadi relijius tidak berarti menanggalkan budaya, dan menjadi berbudaya tidak berarti bertentangan (menistakan) agama.

Peradaban global dewasa ini dihadapkan pada permasalahan kompleks dalam berbagai lini. Salah satunya adalah ancaman terorisme dan radikalisme. Terorisme dan radikalisme tidak mengenal agama, budaya, dan identitas lainnya. Semua berpotensi menjadi korban sekaligus pelakunya. Demikian pula kaitannya dengan Islam. Nilai Pancasila dan ajaran Islam sama-sama mengutuk terorisme dan radikalisme.

Islam adalah agamarahmatan lil ‘alamin. Pertumbuhan demografis umat Islam tergolong pesat di dunia. Muslim juga masih mayoritas di negeri ini. Menjadi konsekuensi dan kewajiban untuk mengaktualisasikan prinsiprahmatan lil ‘alaminsekaligus menggerakkan upaya-upaya menciptakan perdamaian dunia. Islam mesti dan diyakini mampu memberikan keteladanan di garda terdepan. Kebhinekaan Indonesia membutuhkan energi untuk menyatukan. Pancasila menjadi medianya. Jika Pancasila mengakar kuat sebagai pondasi dan aktualisasi kebangsaan, maka Indonesia akan tumbuh menjadi negara besar yang agamis dan berbudaya. Hal ini yang ditakutkan negara lain dan tidak dimiliki negara manapun. Merdeka!!

Facebook Comments