Isra Miraj Dan Teladan Nabi Menghadapi Pandemi

Isra Miraj Dan Teladan Nabi Menghadapi Pandemi

- in Narasi
1788
1
Isra Miraj Dan Teladan Nabi Menghadapi Pandemi

Umat Islam sedunia baru saja memperingati Isra Miraj 1441 H. Berbeda dengan biasanya, tahun ini minim acara peringatan. Hal ini disebabkan merebaknya virus Corona di seantero dunia. WHO bahkan menyatakan wabah viruscoronaatau penyakit Covid-19 sebagai sebuah Pandemi pada Rabu (11/3) lalu.

Pandemi lebih terkait pada geografis penyebarannya. Secara sederhana, makna Pandemi adalah wabah suatu penyakit baru yang menyebar di berbagai negara dalam waktu yang sama. Saat ini tercatat ada lebih dari 118.000 kasus Covid-19 di sedikitnya 114 negara, dan menewaskan lebih dari 4.000 orang. Di Indonesia sendiri hingga Minggu (22/3) telah tercatat 514 kasus positif dengan 48 diantaranya meninggal dunia.

Virus Corona merupakan salah satu bentuk bencana. Bencana memang takdir illahi. Namun daya dan upaya manusia mesti ditunjukkan guna membuktikan kemampuan kepemimpinannya sebagai khalifah di muka bumi. Upaya memitigasi bencana tidak hanya hadir baru-baru saja.

Nabi Muhammad SAW telah memberikan banyak keteladanan baik dalam laku keseharian maupun melalui wejangan. Momentum Isra Miraj dapat menjadi pembelajaran bagaimana perhatian Nabi dalam menghadapi pandemic.

Teladan Nabi

Lockdown atau isolasi terkait pencegahan suatu wabah ternyata pernah terjadi di zaman Rasulullah SAW. Isolasi terhadap orang yang sedang menderita penyakit menular pernah dianjurkan Rasulullah.

Baca Juga : Agama(wan) Merespons Corona

Di zaman Rasululullah SAW pernah terjadi wabah kusta yang menular dan mematikan sebelum diketahui obatnya. Kala itu, Rasulullah SAW memerintahkan untuk tidak dekat-dekat atau melihat orang yang mengalami kusta atau lepra. Rasullah SAW bersabda, “Jangan kamu terus menerus melihat orang yang menghidap penyakit kusta.” (HR Bukhari).

Nabi Muhammad SAW juga pernah memperingatkan umatnya untuk tidak dekat dengan wilayah yang sedang terkena wabah. Dan sebaliknya jika berada di dalam tempat yang terkena wabah dilarang untuk keluar.

Seperti diriwayatkan dalam hadits ini, “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR Bukhari)

Di zaman Rasulullah SAW jikalau ada sebuah daerah atau komunitas terjangkit penyakit Tha’un, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan untuk mengisolasi atau mengkarantina para penderitanya di tempat isolasi khusus, jauh dari pemukiman penduduk.

Tha’un sebagaimana disabdakan Rasulullah saw adalah wabah penyakit menular yang mematikan, penyebabnya berasal dari bakteri Pasterella Pestis yang menyerang tubuh manusia.

Jika umat muslim menghadapi hal ini, dalam sebuah hadits disebutkan janji surga dan pahala yang besar bagi siapa saja yang bersabar ketika menghadapi wabah penyakit. “Kematian karena wabah adalah surga bagi tiap muslim (yang meninggal karenanya). (HR Bukhari)

Selain Rasulullah, di zaman khalifah Umar bin Khattab juga ada wabah penyakit. Dalam sebuah hadist diceritakan, Umar sedang dalam perjalanan ke Syam lalu ia mendapatkan kabar tentang wabah penyakit.

Hadist yang dinarasikan Abdullah bin ‘Amir mengatakan, Umar kemudian tidak melanjutkan perjalanan. “Umar sedang dalam perjalanan menuju Syam, saat sampai di wilah bernama Sargh. Saat itu Umar mendapat kabar adanya wabah di wilayah Syam. Abdurrahman bin Auf kemudian mengatakan pada Umar jika Nabi Muhammad SAW pernah berkata, “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR Bukhori).

Dalam hadits yang sama juga diceritakan Abdullah bin Abbas dan diriwayatkan Imam Malik bin Anas, keputusan Umar sempat disangsikan Abu Ubaidah bin Jarrah. Dia adalah pemimpin rombongan yang dibawa Khalifah Umar. Menurut Abu Ubaidah, Umar tak seharusnya kembali karena bertentangan dengan perintah Allah SWT. Umar menjawab dia tidak melarikan diri dari ketentuan Allah SWT, namun menuju ketentuanNya yang lain. Jawaban Abdurrahman bin Auf ikut menguatkan keputusan khalifah tidak melanjutkan perjalanan karena wabah penyakit.

Literasi Ekospiritual

Al-Qardhawi (2002) menegaskan bahwa permasalahan kesehatan dan lingkungan pada dasarnya merupakan persoalan moralitas sehingga solusi efektifnya adalah dengan revitalisasi nilai-nilai moral, keadilan, keramahan, dan sebagainya. Parameter yang layak dimasukkan untuk menilainya adalah kepahaman dan kesadaran manusia. Kesadaran merupakan aksi maupun reaksi proaktif dari moral manusia yang menjadi pijakan dalam bertindak selanjutnya.

Manusia dituntut mampu belajar mengambil hikmah sekaligus membaca dinamika lingkungan (reading the words, reading the world). Hal itu dapat dilakoni jika manusia mampu menjadi ulil albab(manusia pemikir) yang senantiasa membaca (iqra’) atas segala kejadian. Disinilah titik penting perlunya ummat muslim literasi atau memiliki kecerdasan ekospiritual (Ecospiritual Quotient). Yaitu kemampuan berselaras dan menjaga alam lingkungannya dengan motivasi dan aksi berbasiskan nilai spiritual Islam. Aspek lingkungan mestilah ditempatkan sejajar dengan ekonomi, sosial, budaya, politik, dan lainnya dalam ibadah kontekstual. Literasi Ekospiritual tidaklah cukup hadir pada level individual. Ia mesti terkoneksi dan saling menguatkan secara komunal. Antar-stakeholder, antarwilayah, antarbangsa perlu duduk bersama dalam menghadapi penyebaran virus corona. Komunikasi intensif antar-stakeholder perlu melibatkan para ulama/rohaniwan yang selama ini masih terlupakan.

Facebook Comments