Corona, Religi-egoisme, dan Kemaslahatan Bersama

Corona, Religi-egoisme, dan Kemaslahatan Bersama

- in Narasi
1712
0
Corona, Religi-egoisme, dan Kemaslahatan Bersama

Indonesia mempunyai tantangan tersendiri dalam menanggulangi virus Corona. Ini ditunjukkan dari sikap egoisme masyarakat yang tidak mengindahkan kebijakan dari pemerintah. Pemerintah sudah menyatakan bahwa pertemuan dalam jumlah banyak, keramaian, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang mengundang orang banyak, tidak perlu dilakukan lagi.

Peningkatan status virus Corona dari epidemi menjadi pandemi membuat semua orang cemas. Social distancing, himbauan belajar, bekerja, dan beribadah dari rumah sudah dikeluarkan oleh presiden. Pemerintah daerah pun demikian, mengalihkan proses belajar mengajar menjadi daring, kampus melakukan kuliah-online. Dan, terakhir fatwa MUI tidak perlunya salat Jumat untuk daerah yang masuk kategori merah.

Meski semua pihak sudah mengeluarkan kebijakan. Masih ada sebagian kita yang ngeyel dan merasa kebal virus. Bahkan tak sedikit yang menganggap enteng virus Corona ini. Sikap ini bukan hanya ditunjukkan oleh kaum awam, tetapi oleh mereka yang dianggap berpendidikan dan pemuka agama.

Inilah yang terjadi dua-tiga hari belakangan ini. Ribuan Jamaah Tablig masih ngotot untuk melakukan pertemuan akbar did Gowa, Sulawesi Selatan. Mereka mengklaim bahwa hidup dan mati itu urusan Tuhan. Berkumpul untuk membahas permasalahan keummatan lebih utama ketimbang berdiam diri di rumah.

Meskipun pada akhirnya acara ini sudah dibatalkan berkat tekanan masyarakat. Mengingat jumlah mereka yang banyak, dampak yang ditimbulkannya sangat berbahaya. Data terakhir menunjukkan mereka ada sekitar 8664 orang.

Baca Juga : Agama(wan) Merespons Corona

Hal yang sama juga dilakukan oleh umat Kristen did Nusa Tenggara Timur. Dengan dalih melakukan acara Keuskupan, sekitar 7000 umat Kristen berkumpul. Alasannya hampir sama, urusan agama harus diletakkan pada peringkat pertama. Dari kalangan umat Hindu pun tak ketinggalan. Masih ada rencana untuk berkumpul dengan jumlah ribuan orang dalam puncak perayaan Nyepi nanti.

Penyakit Religi-egoisme

Inilah yang disebut religi-egoisme, yaitu menggunakan tafsir dalil agama untuk membenarkan perilaku egois tanpa peduli kepentingan umum. Sikap egoisme kaum beragama dengan dalih bahwa kepentingan agama tak boleh ditinggalkan hanya karena urusan virus semata.

Bukankah hidup dan mati itu di tangan Tuhan. Kalau Tuhan menyatakan mati, tak ada yang bisa menghalanginya. Begitu juga sebaliknya. Demikian kira-kira argumen yang dibangun. Bahkan ada dengan terang-terangan ngeyel terhadap fatwa MUI tentang larangan salat Jumat dalam kondisi seperti ini. Tidak sedikit masyarakat yang berburuk sangka, seolah-oloh ada oknum-oknum tertentu yang ingin menjauhkan umat dari masjid.

Sejatinya silakan berprinsip bahwa urusan agama harus nomor satu, tak boleh digugat. Masalahnya kemudian adalah tindakanmu itu justru membahayakan orang lain dan kemaslahatan umum. Silakan berkumpul, salat Jumat, melakukan peribadatan lainnya, tetapi dengan syarat kaum harus bisa memastikan virus tidak akan menyebar dalam kerumunan itu.

Tentu tidak bisa. Virus tidak mengenal agama, negara, umur, dan jenis kelamin. Semua ia masuki. Inilah yang seharusnya harus disadari oleh kaum beragama, terutama pemuka agamanya. Kepentingan umum harus diletakkan pada posisi pertama dan utama.

Bukankah agama selalu menekankankemaslahatan, baik itu di dunia maupun di akhirat nantinya. Kenapa umatnya masih tetap egois, tidak mau mengindahkan kehidupan orang lain. Jangan sampai gara-gara keegoisan kita, membuat orang lain berada dalam bahaya.

Kemaslahatan Umum di atas Segalanya

Dalam kondisi seperti ini, kita perlu membuang sifat keegoisan dalam beragama. Kita campakkan kepentingan-kepentingan sempit kita. Kita perlu meletakkan kemaslahatan umumdi atas segalanya. Kemaslahatan itu adalah rasa aman, sehat, damai, dan jauh dari ketakutan.

Di tengah keadaan genting, ketika semua lapisan masyarakat takut dan cemas, arogansi dalam beragama itu –maunya menang sendiri, tidak mengindahkan efek lebih panjang –perlu kita tinggalkan. Sejak dini, agama sudah menggariskan, bahwa ia diturunkan sebagai bentuk kemaslahatan bagi umat manusia.

Kalimat “umat manusia” perlu kita garis bawahi, bahwa agama harus memberikan rasa bahagia, damai, dan rasa tenang. Agama harus menjadi solusi, penawar, dan memberikan kesejukan. Bukan malah menjadi sumber masalah, membuat orang takut, dan sibuk dengan keegoisannya masing-masing.

Kemaslahatan bangsa dan negara harus lebih diprioritaskan ketimbang ibadah-ritual yang sifatnya bisa dilakukan sendiri di rumah. Mencegah kemudaratan harus lebih diutamakan dari pada menarik kemaslahatan kecil (dar al-mafasid muqaddamun ala jalb al-masalih).

Artinya tidak melakukan kumpul-kumpul dalam jumlah banyak yang mengakibatkan mudahnya penularan virus harus diutamakan ketimbang melaksanakan ibadah-ritual yang kemaslahatannya mungkin hanya bagi segelintir orang. Mari sama-sama menjunjung kemaslahatan bersama, keamanan negara, dan ketenangan masyarakat, sembari membuang jauh-jauh sikap egoisme kita dalam beragama.

Facebook Comments