Syariat Berbagi dalam Bingkai Persamaan Manusia

Syariat Berbagi dalam Bingkai Persamaan Manusia

- in Narasi
1975
0
Syariat Berbagi dalam Bingkai Persamaan Manusia

Puasa menjadi ajang lomba dalam berbagi pada sesama-sama. Kita yang ditakdirkan dalam kelongaran rezeki harus ingat sesama yang kekurangan. Semangat berbagi ini sebagai bentuk meneladani Rasulullah SAW. Banyak riwayat yang menjelaskan semangat berbagi Rasulullah SAW saat puasa semakin bertambah. Teladan berbagi dari Rasulullah SAW saat puasa dan suasana pandemi Covid-19 penting sebagai kebaikan demi keberlangsungan hidup bersama. Berbagi sebagai salah satu budaya baik yang menjunjung persamaan manusia.

Berbagi juga butuh ilmu. Sebab dalam berbagi kalau tidak dibarengi ilmu maka terkadang kurang beretika lalu melukai prinsip-prinsip persamaan manusia. Suatu kasus baru-baru ini ada sebuah yayasan bernama Qahal membagikan nasi dengan lebel ‘Nasi Anjing’ di Warakas, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Niat Yayasan Qahal berbagi itu baik dan layak diapresiasi tetapi cara mereka kurang beretika. Diksi ‘Nasi Anjing’ bagi mayoritas rakyat Indonesia itu negatif. Dampaknya yang diberi ‘Nasi Anjing’ akan curiga nasi ini apa dari daging anjing atau nasi buat anjing?.

Klarifikasi Yayasan Qahal bahwa label ‘Nasi Anjing’ memiliki maksud kalau anjing sebagai hewan yang setia. Tapi apapun alasannya mayoritas orang Indonesia banyak berperspektif negatif dengan anjing. Inilah menunjukkan bahwa kebaikan pun butuh ilmu supaya kebaikan ini tidak menjadi polemik yang melukai rasa kemanusiaan. Jika ingin beramal dengan lebel apa salahnya jika lebelnya dengan diksi-diksi baik. Misalnya, beramal ‘Nasi Sehat’, ‘Nasi Pelipur Lapar’, ‘Nasi Berkah’ dan masih banyak nama lain yang baik. Kejadian yang dialami Yayasan Qahal ini menjadi pelajaran bahwa bersedekah butuh ilmu supaya tidak menyingung atau menyakiti yang disedekahi.

Apabila hendak bersedekah namun bingung mana yang semestinya didahulukan antara memberikannya kepada keluarga terlebih dahulu atau orang lain, bagaimana sebaiknya?. Menurut penyataan Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, ulama telah sepakat bahwa bersedekah kepada sanak famili lebih utama dibandingkan yang lain berdasarkan referensi salah satu hadist yang artinya: “Ulama sepakat bahwa sedekah kepada sanak kerabat lebih utama daripada sedekah kepada orang lain. Hadits-hadits yang menyebutkan hal tersebut sangat banyak dan terkenal.” (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, [Darul Fikr], juz 6, halaman 238).

Baca Juga : Puasa, Covid-19 Dan Keshalihan Sosial

Syekh Zainuddin Al-Malyabari dalam kitabnya Fathul Mu’in justru mengatakan; “Memberikah sedekah sunnah kepada kerabat yang tidak menjadi tanggung jawab nafkahnya itu lebih utama. Baru kemudian kerabat paling dekat berikutnya, berikutnya yang bersumber dari keluarga yang haram dinikah (mahram), suami atau istri, kemudian kelurga non-mahram, keluarga dari ayah ibu, mahram sebab sepersusuan, berikutnya adalah mertua.” (Zainudin Al-Malyabari, Fathul Muin, [Dar Ibnu Hazm, cetakan I], halaman 257).

Anjuran-anjuran diatas tidak membatasi sedekah diluar kerabat. Perlu digaris bawahi bahwa aturan-aturan ini sebagai panduan dalam melakukan kebaikan. Jika kerabat kita sudah kecukupan lebih baik sedekah kita kasihkan kepada tetangga yang lebih berhak menerima sedekah. Tetapi jika masih ada kerabat kita yang kekurangan lalu sedekah kita kasihkan kepada orang lain tentu ini kurang pas dan kurang beretika. Sebab pemberian untuk fakir miskin bernilai shodaqah, sedang untuk keluarga bermakna shodaqahdan menyambung silaturrahim. Inilah pentingnya ilmu dalam beramal.

Setelah bersedekah pun ada etikanya dimana di dalam surah Al-Baqarah ayat 246 Allah SWT berfirman yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”.

Sudah jelas dalam surat ini menjelaskan bahwa dalam bersedekah jangan menyebut-nyebutnya dalam hadapan orang lain atau orang yang disedekahi. Sebab bisa saja yang kita sedekahi merasa tersingung lalu melukai perasaannya. Jangan sampai dengan sedekah kita lalu riya atau pamer. Sebagai orang yang ditakdirkan mampu bersedekah jangan berlaku sombong semua itu karena Allah SWT. Perlu diingat kita bisa bersedekah itu karena Allah SWT memberi kemampuan rezeki dan Allah SWT juga mentakdirkan orang layak diberi sedekah. Inilah keseimbangan hidup, yang mampu memberi dan yang kurang mampu menerima serta keduanya harus saling bersyukur.

Tepat sekali kalau bulan puasa ini menjadi ajang beramal, sebab amal kita akan menjadi berlipat ganda pahalanya. Mulailah amal kita dengan ilmu, adaikan tidak tahu tanyakan pada ahlinya. Sebab dalam berbagi harus tahu apa yang pantas diberikan dan siapa yang kita dahulukan. Misalnya saat pandemi seperti ini bersedekahlah pada sanak keluarga yang terdampak pandemi dan layak diberi baru ketetangga yang membutuhkan. Bila dalam situasi tertentu shodaqah untuk fakir miskin, tetangga (bukan kerabat) juga harus kita dahulukan yaitu saat kepentingan mendesak dan kemanfaatan yang berkesinambungan. Wallohu a’lam.

Facebook Comments