Sebagai dasar, ideologi, pilar, dan pandangan filosofis berbangsa dan bernegara, Pancasila kerap digoyahkan dan berusaha digantikan oleh ideologi-ideologi impor-transnasional seperti komunisme, liberalisme dan khilafah.
Ideologi-ideologi tersebut, secara historis memang hendak mengisi dan menakhkodai jalannya sistem berbangsa dan bernegara, namun semua itu pada ujungya akan sia-sia. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya: bahwa Pancasila paling tepat dengan watak/karakter masyarakat Indonesia yang beragam namun tetap menjunjung tinggi persatuan dan persaudaraan (Kymlica, 2004: 200).
Dalam bahasa Agnes Setyowati dalam Strategi Menyelamatkan Pancasila (Kompas, 13/10/2019), Pancasila telah menjawab harapan bangsa ini akan sebuah landasan ideologi yang dapat menginklusikan keragaman mengingat negeri ini adalah negara kepulauan yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras, dan golongan.
Sementara, komunisme dan liberalisme, sangat bertentangan dengan karakter dasar manusia Indonesia yang terkenal religius. Meskipun begitu, juga tidak memberikan celah bagi ideologi khilafah karena Pancasila sudah sangat religius dan dapat menjadi pengikat persatuaan dan persaudaraan tanpa mebeda-bedakan (Ainur: 2016: 33).
Selain itu, sebagaimana hasil studi yang dilakukan Douglas E. Ramage berjudul Politics in Indonesia: Democrazy, Islam and the Ideology of Tolerance (1995: 116) juga memperjelas bahwa Pancasila memiliki fungsi tertentu, yaitu sebagai referensi ideologi yang potensial untuk (memecahkan) masalah-masalah fundamental dalam kehidupan nasional.
Pasca penetapan atau dirumuskannya Pancasila sebagai dasar negara melalui diskusi panjang oleh para founding fathers kita dan hingga hari ini, Pancasila masih tetap eksis sebagai dasar dan ideologi bangsa yang paling tepat dan sudah terbukti akan kesaktiannya dalam merekatkan bangsa ini (Yusuf Wibowo, 2012).
Akan tetapi, perjalanan Pancasila sebagai ideologi negara tersebut bukan berarti berjalan tanpa adanya sebuah hambatan. Artinya, berbagai ideologi tandingan dan gerakan atau bahkan infiltrasi dari transnasional untuk menggoyahkan bahkan menentang Pancasila silih menyerang dari berbagai penjuru.
Ancaman terhadap Pancasila
Sejarah Indonesia mencatat bahwa ideologi tandingan yang berusaha menggantikan Pancasila sebagai dasar negara telah ada sejak dahulu kala dan ideologi yang disertai dengan sebuah gerakan itu telah memakan banyak korban jiwa. Lihat saja kisah gerakan yang dilakukan oleh kelompok komunis dalam peristiwa 30 September 1965, kemudian ada peristiwa lain seperti DI TII, NII, GAM, Gerakan Papua Merdeka dan masih ada lainnya.
Di era sekarang, hantaman ideologi-ideologi tandingan Pancasila terus berlangsung, bahkan semua itu datang dari wilayah yang lebih luas—transnasional. Tentu saja, kekuatan dan strategi kelompok ini lebih canggih daripada di era awal-awal berdirinya Indonesia.
Kajian Suhardi Alius (2019) menyebutkan bahwa ideologi besar trans-nasional sedikit demi sedikit mulai menancapkan kaki dan pengaruhnya terhadap generasi muda untuk tidak lagi memandang Pancasila sebagai dasar negara yang harus dipertahankan, melainkan harus diganti dengan ideologi lain, seperti khilafah.
Merujuk pada situasi dan kondisi riil di atas, sejatinya membuka mata kita sebagai sebagai warga negara bahwa telah ada upaya-upaya untuk menggoyahkan komitmen dan pilar bernegara serta Pancasila sedang dalam ancaman yang serius.
Cara Kelompok Pendukung Khilafah Menentang Pancasila
Pada poin ini, penulis akan menyajikan beberapa strategi dan gerakan kelompok khilafah dalam menentang dan mendelegitimasi Pancasila. Pertama, membangun stigmatisasi. Dalam konteks global, pengusung khilafah selalu menggambarkan kehidupan dunia ini diliputi segudang persoalan pelik akibat kegagalan sistem kapitalisme/komunisme yang menguasai dunia saat ini.
Dalam konteks regional, kelompok pengusung khilafah ini selalu menggambarkan bahwa ketidak-adilan, kemiskinan, maraknya korupsi, dan berbagai persoalan lain akibat kegagalan sistem Pancasila yang dipakai hingga saat ini. Mereka hendak membangun stigma bahwa Pancasila telah gagal dalam menjawab berbagai persoalan tersebut. Setelah itu, mereka memasang diri sebagai kelompok pembaharu yang akan menyelesaikan berbagai kemelut persoalan hidup tersebut dibawah sistem khilafah.
Kedua, mempersepsikan Indonesia lebih menerapkan sistem kapitalisme. Bagi kelompok pengusung khilafah, Indonesia dinilai telah menerapkan sistem kapitalisme. Misalnya dalam merespons wabah Covid-19. Narasi yang dibangun kelompok pendukung khilafah adalah bahwa pemimpin negeri ini lebih memilih menerapkan sistem kapitalisme yang lebih menekankan aspek ekonomi dalam mengatasi wabah. Menjaga dan memelihara nyawa manusia seolah dinomorduakan (Lihat: Buletin Kaffah, No. 144, 13 Syawal 1441H-5 Juni 2020M).
Bahkan, kebijakan pembatasan kegiatan di masjid atau dalam bahasa mereka penutupan masjid dibingkai menjadi anti-Islam karena mendiskriditkan masjid karena seolah-olah masjidlah yang paling berpotensi menyebar dan menularkan virus Covid-19 daripada tempat-tempat keramaian yang lain.
Dari dua poin di atas, lantas para pengusung khilafah itu memberikan tafsiran atau kesimpulan secara parsial, diantaranya menganggap bahwa Pancasila tidak cukup sakti dan kompeten dalam mengatasi persoalan keumatan dan kemanusiaan.
Pada titik narasi kegagalan Pancasila sebagai dasar negara dalam mengatasi berbagai persoalan ini, menerka menawarkan syariah atau khilafah sebagai solusi yang tepat dalam mengatasi berbagai persoalan yang terjadi.
Lantas, mereka mengutip beberapa ayat, hadis dan sejarah Islam dalam mengatasi berbagai persoalan seperti mengatasi wabah. “Jika kalian mendengar wabah di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Jika terjadi wabah di tempat kalian berada, janganlah kalian keluar dari wilayah itu”, (HR. Al-Bukhari).
Hadis tersebut selalu mereka kutip berulangkali setiapkali menjelaskan tentang contoh syariah menangani wabah, yang kemudian dari hadis ini mereka simpulkan dalam istilah karantina wilayah.
Memang, Pancasila sebagai sumber hukum dan falsafah bangsa tidak secara spesifik menyebutkan langkah-langkah dalam mengatasi wabah. Namun bukan berarti buru-buru disimpulkan bahwa Pancasila tidak mampu mengatasi wabah.
Satu hal yang perlu ditegaskan dalam hal ini, bahwa meskipun Pancasila tidak spesifik memberikan informasi tentang penanganan wabah sebagaimana yang ada dalam petunjuk syariah, namun Pancasila tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Selain itu, langkah pemerintah dalam menangani Covid-19 misalnya, juga tidak bisa disebut tidak menerapkan prinsip syariah. Terkait hal ini, sudah banyak tokoh agama yang menjelaskannya.
Inilah caraideologi transnasional seperti pengusung khilafah menentang Pancasila dan menginfiltrasi masyarakat secara luas. Maka dari itu, upaya menjaga dan menguatkan nilai-nilai Pancasila di masyarakat harus digencarkan supaya bangunan wawasan kenegaraan masyarakat kuat dan tidak mudah goyah oleh ideologi-ideologi impor dan transnasional seperti khilafah. Ketika umat Islam Indonesia memilih Pancasila, bukan khilafah, bukan berarti kita tidak menjalankan syariah Islam. Sebab, Pancasila dan Islam itu satu tarikan nafas; ber-Islam sekaligus juga ber-Indonesia.