Pancasila dan Kamuflase Berislam di Tengah Ambang Radikalisme

Pancasila dan Kamuflase Berislam di Tengah Ambang Radikalisme

- in Narasi
1701
0
Pancasila dan Kamuflase Berislam di Tengah Ambang Radikalisme

Islam sebagai agama wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sejatinya memiliki orientasi di dalam menciptakan tatanan umat manusia yang lebih adil, berakhlak, dan menjaga kemanusiaan. Karena Nabi memang diutus untuk memperbaiki etika umat manusia. Tentu keselarasan antara unsur perintah dan esensi yang diperintahkan menjadi substansi kebenaran untuk kita amini. Bahwa Islam seyogianya bukan agama yang melahirkan “preman” yang wataknya Sak-karepe-dewe. Bawa pentungan, takbir dibarengi kekejaman dan menginginkan kekuasaan lalu penuh dengan pembantaian.

Agama Islam hadir untuk melahirkan manusia-manusia yang memiliki kepribadian yang beretika untuk tetap menjaga kemanusiaan Welas-asih. Baik dari sikap, tindakan dan pikiran-pikiran yang baik. Sebuah produksi transendental yang melebur bukan sebagai legalitas untuk berbuat kekerasan. Tetapi mengalir secara psikologis untuk mencetak manusia yang memanusiakan manusia lainnya.

Porsi keislaman semacam inilah yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila. Menyatu dan merekonstruksi ke dalam kehidupan masyarakat yang begitu kompleks. Sehingga menjadi simbol bahwa Islam bukan pemecah, tetapi pemersatu, penyemangat dan pelindung kemanusiaan dalam persatuan bangsa ini. Karena Islam memang menyatukan umat manusia untuk berada dalam kebaikan, persaudaraan dan kemanusiaan. Bukan memaksakan kehendak, menebar keangkuhan teologis. Melahirkan kamuflase sosial liberatif yang mengarah kepada politik kekuasaan berbasis agama.

Baca juga : Radikalisme, Aksi Bela Pancasila, dan Kepura-puraan

Paradigma berislam yang pancasilais semacam ini saya kira merupakan satu-satunya kekuatan untuk membentuk cara berislam masyarakat yang kokoh dan tidak luntur akibat rayuan kelompok radikalisme. Orientasinya secara psikologis mampu memiliki kesadaran untuk tetap bisa menjaga identitas, prinsip dan karakteristik di dalam berbangsa dan bernegara.

Radikalisme secara ideologis, anti terhadap nilai-nilai kebaikan universalism of morality. Memaksakan ajaran-ajaran Islam untuk “mengkudeta” kasih sayang menjadi kekerasan. Tasamuh menjadi pembantaian. Perdamaian menjadi kecamuk konflik dengan dalih romantisme identitas masa lalu untuk melebarkan sayap kekuatan demi kekuasaan.

Dari sini alasan ideologis Pancasila hadir sebagai ideologi bangsa yang bisa merekonstruksi paradigma beragama masyarakat. Sebagai vaksin di dalam membentuk tatanan sosial yang tetap terjaga dari segala macam penyakit sosial. Membangun eksistensi Islam yang egalitarian. Karena Indonesia yang majemuk ini, selalu berada dalam ancaman konflik dan perpecahan. Transparansi ideologi radikalisme selalu membentangkan sayapnya sebagai gerakan politik identitas. Bersembunyi di balik Agama yang penuh dengan Rahmat dan cinta-Nya.

Pancasila hadir sebagai ideologi bangsa yang tidak memaksakan kehendak. Bukan sebagai ideologi yang secara ideologis akan menghancurkan tatanan sosial yang majemuk ini. Tetapi sebagai bungkus di tengah perbedaan untuk saling menghargai. Berada dalam sekat persaudaraan dan untuk tetap saling membantu satu sama lainnya.

Sebagai ideologi bangsa, Pancasila layaknya pengemban amanah Islam yang secara interpretatif mampu menangkal isu-isu kontemporer yang berkembang. Baik virus radikalisme yang mengakibatkan sosial. maupun musibah wabah covid-19 yang kita hadapi saat ini. Kedua isu ini adalah fenomena yang kita hadapi sebagai ancaman akan perubahan sosial yang berdampak buruk bagi masyarakat.

Bagaimana fenomena wabah yang berkembang. Setiap protokol dan aturan pemerintah terkait keamanan, keselamatan dan kesehatan masyarakat di tengah pandemi ini. Bisa-bisanya segelintir “preman agama” mengalihkan isu sebagai tindakan untuk memfitnah yang bisa memprovokastif. Membentuk ketegangan dan amarah publik di tengah kegentingan ini untuk mengalihkan pikiran masyarakat. Agar beranggapan bahwa tindakan ini akan membunuh masyarakat secara perlahan. Lalu masyarakat terjerat oleh kamuflase imingan sang “preman agama”. Penolakan dengan tindakan yang anarkis dan membuat kebringasan publik untuk melawan aturan-aturan yang sejatinya itu demi kebaikan, keselamatan dan kesehatan kita sendiri. Dari fenomena sosial menjadi ancaman sosial.

Tidak lain selain Pancasila sebagai filter masyarakat yang majemuk ini agar bisa hidup berdampingan dan membentuk ketahanan sosial (vaksin anti-radikalisme). Dari segala kondisi atas jawaban-jawaban terhadap segala ancaman, tantangan sang “preman agama” tersebut. Kita bangsa yang besar dan mayoritas Islam di Indonesia bukan sebagai kekuatan untuk menindas. Tetapi sebagai keyword sosial untuk menampakkan sikap dan tindakan yang memanusiakan manusia lainnya.

Karena kita sebagai manusia yang bertuhan. Tentu ketahanan teologis bukan sebagai ”pacuan kuda” untuk menjustifikasi siapa yang menang dan siapa yang kalah. Tetapi berbuat sesuatu yang Tuhan mengerti bahwa kita harus saling berbuat kebaikan dengan mengatasnamakan keagungan-Nya. Menebarkan keadilan sesama, bersatu padu serta kerja-sama dalam kebaikan dan bahkan di tengah kegentingan maupun krisis sekalipun. Pandangan semacam ini berada dalam ruh Pancasila sebagai ideologi Bangsa yang secara psikologis mampu menjadi vaksin di tengah polemik negeri ini yang sedang sakit untuk bangkit kembali.

Facebook Comments