Pada 2003 pertama kali saya mengenalnya. Setelah sedikit berbincang dan entah kenapa diizinkan untuk mengikuti pasujudan di pendapa Paguyuban Sumarah, saya memboncengnya dengan motor butut saya kerumahnya di Sayidan, Jogjakarta. Kebetulan jalan kami untuk pulang searah. Ketika itu usianya sudah senja, sama sekali tak terlihat ia bersikap manja. “Sampun, ngriki kemawon,” katanya santun saat saya hendak menuntunnya untuk menuruni tangga menuju rumahnya.
Pada Februari kemarin, 2020, ia menghembuskan napasnya yang terakhir, setelah hampir seumur hidupnya nyepuhi Paguyuban Sumarah Jogja sebagai orang yang duduk di dewan kerohanian. Catatan saya tentangnya, dalam keterkaitannya dengan Pancasila dan Sumarah, apalagi di hari ini ketika publik diramaikan oleh RUU HIP dan berbagai rentetan akibatnya, masih relevan untuk dibahas (Hasrat yang Terkebiri: Radikalisme di Balik RUU HIP, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id).
RUU HIP tak urung telah melahirkan dua kubu besar yang saling berkontestasi untuk meyakinkan publik soal Pancasila, baik dalam tataran diskursus maupun aksi jalanan. Ironisnya kedua belah kubu sama-sama mengklaim tengah menjaga Pancasila dari rongrongan ideologi-ideologi lainnya. Saya tak akan kembali membahas argumen dari kedua belah kubu tersebut yang bagi saya pribadi sama-sama tak tepat dalam membaca Pancasila yang notabene merupakan hasil kesepakatan dari berbagai kepentingan yang berbeda.
Melihat Pancasila sebagai sebuah common platform yang dapat diperas menjadi satu ide tunggal adalah keliru sekeliru pandangan yang meletakkannya sebagai representasi agama tertentu. Ketika memeras Pancasila menjadi Trisila atau kemudian Ekasila, prinsip gotong-royong, sama halnya dengan menafikan keberagaman bangsa Indonesia. Dan memandang bahwa sila I sebagai representasi umat Islam belaka adalah sebentuk sesat pikir.
Baca Juga : Menghalau Provokasi Belah Bambu
Pancasila, sebagaimana yang tercermin dalam ke-5 silanya, merupakan hasil negosiasi dan akomodasi berbagai kepentingan yang berbeda. Sila I merupakan representasi kepentingan agama dan kapitayan (aliran penghayat kepercayaan) yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan dan kebudayaan bangsa Indonesia. Tak sekedar agama, kebudayaan tradisional yang diwarisi bangsa Indonesia, dalam bentuknya yang beraneka macam, penuh dengan nilai-nilai yang mengarah pada spiritualitas dan ketuhanan.
Entah warisan-warisan arkeologis, arsitektural, kesusastraan, budi-pekerti, dst., semuanya merujuk pada sesuatu yang tinggi, yang mengatasi manusia dan alam. Karena itu ketika ada pihak yang berupaya memeras Pancasila menjadi satu prinsip tunggal, gotong-royong, jelas dengan sendirinya menafikan akar budaya bangsa Indonesia itu sendiri yang memang bersifat spiritual dan ketuhanan. Ketika akar budaya yang menjadi kerangka masyarakat tercerabut sudah pasti masyarakat tersebut akan kehilangan orientasi.
Dalam hal ini Martin Heidegger memiliki istilah yang bagus soal manusia dan kemanusiaan: “Bodenstandigkeit.” Saya menerjemahkan istilah ini sebagai “keterakaran” atau yang senada dengan autochthony yang secara asosiatif lekat dengan citra keaslian (indigenous) yang membuat seseorang atau sebuah komunitas memiliki karakter atau otentisitas. Dasman adalah manusia kawanan yang merupakan antitesis dari manusia otentik yang tak mengingkari faktisitasnya atau hal-hal yang menyertainya lahir dan berada (Existenz) atau hal-hal yang mengkondisikannya sebagai manusia, seumpamanya spiritualitas dan ketuhanan.
Dalam terang Heidegger sama sekali bukan pada masalah benar atau tidaknya spiritualitas dan ketuhanan tersebut, tapi walau bagaimana pun spiritualitas dan ketuhanan adalah bagian dari cara berada seorang manusia atau sebuah komunitas. Merekalah yang mencirikan kemanusiaannya. Inilah kenapa spiritualitas dan ketuhanan saya sebut sebagai kerangka masyarakat Indonesia. Dapat dibayangkan bagaimana sebuah masyarakat atau komunitas berdiri tanpa adanya kerangka?
Konsep dan prinsip gotong-royong, seandainya tak diwaspadai, akan mengarah pada lahirnya manusia kerumunan (Dasman) yang akan hidup laiknya sehelai kapas yang kleyang kabur kanginan(melayang seturut angin berhembus). Ia akan kehilangan otentisitasnya yang otomatis pula kemanusiaannya—saksikanlah pagelaran wayang kulit atau golek, maka Anda akan paham apa artinya Dasman. Prinsip gotong-royong pada akhirnya juga akan mengingkari sila II yang merupakan titik-imbang sila V Pancasila. Para founding father yang dahulu datang dari berbagai latar-belakang yang berbeda saya kira telah mengantisipasi tentang kemungkinan pengingkaran HAM (yang tersimpul dalam sila II) demi tujuan politik tertentu, otoritarianisme dan totalitarianisme, yang sudah pasti mengenyahkan keberagaman.
Namun demikian, memaknai Pancasila sebagai representasi agama tertentu belaka juga sebentuk sesat pikir yang akan mengenyahkan keberagaman. Sila I yang berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa” tak melulu menjadi kepentingan umat Islam yang suka bergembar-gembor tauhid dengan memampangkan kalimah thoyyibah pada sehelai kain hitam. Dari perspektif aliran penghayat kepercayaan sila I Pancasila merupakan esensi dari kapitayan di mana istilah “kepercayaan” yang dimuat dan bersanding dengan istilah “agama” dalam UUD 1945 diasalkan. Kapitayan berasal dari akar kata “Taya” yang berarti tunggal. Dengan demikian, sila I Pancasila tak semata sebentuk rekognisi dan akomodasi negara pada agama Islam, dan agama-agama resmi lainnya, tapi juga kapitayan atau setelah era kemerdekaan lebih dikenal dengan nama aliran penghayat kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa (Menelusur Kapitayan, Agama Purba Nusantara, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Seperti prinsip Mbah Untung, lelaki yang telah saya kenal selama belasan tahun, yang kini telah berpulang, “Sumarah itu terletak di sila pertama Pancasila. Selama manusia yakin bahwa Tuhan itu ada, maka dengan sendirinya sila-sila berikutnya mengikuti” (Membidik Tanpa Hardik, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.net).