Kuda Troya ialah metafora untuk menggambarkan sikap kelicikan, pengkhiantan dan penipuan. Mitologi Kuda Troya dikenal dalam tradisi Yunani, tepatnya dalam konteks perang antara tentara Yunani (Sparta) dan Troya yang dilatari oleh persoalan politik berbalut isu asmara terlarang. Kisah tentang perang Troya yang masyhur dalam tradisi kesusasteraan Yunani itu bahkan pernah diangkat ke dalam layar lebar Hollywood. Cerita dalam film “Troy” yang dibintangi aktor Brad Pitt itu barangkali tidak sama persis dengan mitologi yang berkembang dalam tradisi Yunani. Namun, garis besar dan benang merah ceritanya tetap sama; yakni tragedi perang yang melibatkan stretegi penuh kelicikan, pengkhianatan dan penipuan.
Dikisahkan, Troya dan Yunani berperang selama kurang lebih sepuluh tahun lamanya. Selama itu pula, tentara Yunani tidak dapat menembus benteng pertahanan Troya. Singkat cerita, Yunani menyusun strategi licik agar bisa menembus benteng Troya, yakni dengan membangun patung kuda raksasa yang di dalamnya diisi sekompi tentara. Sisa tentara lainnya pura-pura berlayar pulang meninggalkan pulau Troya. Atas berbagai muslihat dan tipu daya serta propaganda, patung kuda Troya ini akhirnya bisa masuk ke dalam kota Troya. Kisah ini pun berakhir dengan terbantainya seluruh penduduk Troya ketika mereka tengah terlelap.
Metafora Kuda Troya lantas berkembang dalam ranah sosial-politik untuk menggambarkan bagaimana strategi melumpuhkan lawan dari dalam dengan jalan menyusup dan melakukan serangan mendadak. Metafora ini kiranya cocok untuk menggambarkan strategi gerakan khilafah yang dalam beberapa tahun belakangan ini telah merongrong eksistensi bangsa dan negara Indonesia. Nuansa strategi Kuda Troya ini tampak dalam sejumlah manuver yang dilakukan oleh para pengusung gerakan khilafah di Indonesia. Pertama, untuk mengkamuflasekan gerakannya, para pengusung khilafah selalu mengklaim bahwa gerakannya ialah murni gerakan keagamaan (theology movement). Padahal, jelas sekali bahwa khilafahialah gerakan ideologis-politis yang bertujuan mendirikan kekuasaan politik dengan merebutnya dari pemerintahan yang sah.
Kedua, para pengusung khilafah selalu berdalih bahwa gagasan atau ideologi yang mereka usung pada dasarnya tidak bertentangan dengan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia dan (NKRI) ideologi Pancasila.
Baca Juga : Ideologi Khilafah dan Politik Kuda Troya
Klaim itu dipropagandakan oleh para pengusung khilafah melalui kanal media sosial melalui beragam tanda pagar (tagar). Antara lain “Khilafah Sesuai Pancasila”, “NKRI Berkhilafah”, “Indonesia Bersyariah” dan lain sebagainya. Ketiga, gerakan khilafah disebarkan melalui berbagai macam pendekatan (multi-approaches). Di ranah sosial, mereka gencar mengampanyekan khilafah kepada masyarakat melalui beragam medium, mulai buku, seminar, maupun ceramah keagamaan yang disebarluaskan melalui media sosial. Di ranah politik-birokrasi, gerakan khilafahgencar menyusupkan anggota dan simpatisannya ke lembaga-lembaga politik dan pemerintahan. Menjadi tidak mengherankan jika saat ini banyak simpatisan khilafah yang duduk di lembaga-lembaga pemerintahan bahkan hingga menduduki posisi strategis.
Keempat, gerakan khilafah selalu jeli dalam memanfaatkan momentum dan menunggangi isu sosial-politik untuk mencari keuntugan pragmatis. Gerakan khilafah ialah gerakan oportunis yang memanfaatkan segala isu dan kontroversi publik untuk keuntungan kelompoknya. Mereka tidak segan memfitnah dan memutarbalikkan fakta demi mengunggulkan kelompoknya dan mendeskreditkan kelompok lain. Praktik menunggangi isu ini tampak dalam upaya gerakan khilafah memanfaatkan isu polemik RUU HIP (Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila) yang belakangan ini mencuat ke publik. Pro-kontra publik ihwal RUU HIP berusaha dikapitalisasi para pengusung khilafah untuk mempengaruhi persepsi publik pada pemerintah. Tuduhan bahwa pemerintah pro-komunisme pun digaungkan oleh para eksponen khilafah. Di saat yang sama, mereka tiba-tiba mengklaim diri sebagai pembela Pancasila dan NKRI.
Pola-pola kamuflase, manipulasi dan penyusupan ini telah dipraktikkan oleh gerakan khilafah sejak kurang lebih dua dekade terakhir. Jika mengacu pada mitos atau metafora Kuda Troya, maka para pengusungkhilafah saat ini tengah berupaya keras mempengaruhi masyarakat agar bersedia membuka benteng pertahanannya. Mereka melakukan segala cara mulai dari menebarkan berita bohong, memfitnah, juga mengadu domba antarkelompok masyarakat. Jika celah itu terbuka, mereka dipastikan akan segera masuk dan nasib bangsa ini kemungkinan akan berakhir seperti bangsa Troya yang luluh lantak akibat kelengahan mereka sendiri. Maka, meningkatkan kewaspadaan atas strategi dan manuver gerakan khilafah ialah hal mutlak yang harus dilakukan. Kita perlu membendung strategi Kuda Troya yang selama ini dipakai oleh kaum pengusung khilafah.
Langkah Konkret Menghalau Kuda Troya Khilafah
Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dilakukan oleh pemerintahan Joko Widodo beberapa waktu lalu ialah langkah signifikan untuk menjegal strategi Kuda Troya kaum pengusungkhilafah. Pembubaran dan pelarangan HTI melalui Perppu Ormas terbukti efektif memangkas ruang gerak para agen khilafah di Indonesia. Meski demikian, kita tidak boleh merasa cepat puas dan merasa bahwa gerakan khilafah di Indonesia sudah mati. Kenyataanya seperti kita lihat, para eksponen dan simpatisan khilafah tetap gencar mengampanyekan khilafah dan berusaha mewujudkan agenda pendirian daulah islamiyyah di Indonesia melalui beragam cara. Termasuk salah satunya ialah menunggangi isu polemik RUU HIP.
Membendung strategi Kuda Troya gerakan khilafah dapat dilakukan melalui sejumlah langkah. Pertama, melakukan penegakan hukum terhadap segala upaya mengganti ideologi negara dengan khilafah. Di banyak negara, gerakan khilafah telah dikategorikan ke dalam isu pertahanan dan keamanan negara. Konsekuensinya, segala hal yang berhubungan dengan gerakan khilafah akan ditindaklanjuti dengan penegakan hukum dan pengerahan kekuatan keamanan dan pertahanan negara. Pola ini kiranya bisa diadopsi oleh Indonesia. Gerakan khilafah idealnya diposisikan sebagai isu pertahanan dan keamanan sehingga Polri dan TNI bisa memiliki kewenangan untuk bersinergi mengalau gerakan tersebut.
Kedua, lembaga-lembaga pemerintah harus menutup celah rapat-rapat bagi para agen khilafah agar tidak bisa menyusup ke dalamnya. Lembaga-lembaga pemerintah harus melakukan evaluasi dan supervisi agar instansinya steril dari pengaruh dan infiltrasi gerakan khilafah. Hal ini bisa dimulai dari fase paling awal, yakni proses rekrutmen pegawai instansi negara. Rekrutmen pegawai lembaga pemerintah hendaknya tidak hanya didasarkan pada uji kompetensi, namun juga uji wawasan dan komitmen kebangsaan. Memberikan kesempatan kepada para agen khilafahuntuk menjadi bagian dari lembaga atau instansi pemerintah sama saja dengan membuka pintu gerbang bagi Kuda Troya yang akan meluluhlantakkan seisi negara. Terakhir, dalam konteks yang lebih spesifik yakni polemik ihwal RUU HIP, pemerintah dan masyarakat perlu menahan diri agar tidak terpancing dengan propaganda kaum pengusung khilafah. Tuduhan pro-komunisme yang dilayangkan pengusung khilafah terhadap pemerintah cukup dijawab dengan komitmen pemerintah untuk tidak melanjutkan pembahasan RUU HIP. Di saat yang sama, masyarakat perlu berpikir cerdas dan bijak untuk tidak melanjutkan polemik RUU HIP yang sebenarnya telah usai dengan tidak dilanjutkannya pembahasan RUU tersebut. Memperpanjang polemik ihwal RUU HIP sama saja dengan memberikan panggung bagi kelompok pengusung khilafah untuk mengampanyekan ideologinya.