Sejarha luar biasa itu tetap abadi dan selalu dikenang. Apalagi sejarah itu dilembagakan dalam satu ibadah yang setiap tahun selalu dilaksanakan oleh umat Islam, kurban. Tetapi pelembagaan sejarah kurban sebagai ibadah harus terus menyimpang makna dari semangat sejarah tersebut.
Kurban adalah sebuah sejarah pengorbanan. Sejarah yang luar biasa yang merekam totalitas ketundukan dan kepasrahan hamba kepada Tuhannya. Kurban pada titik ini harus dimaknai sebagai napak tilas tilas keimanan, ketakwaan dan keikhlasan seorang hamba bernama Ibrahim dan Ismail.
Jangan pernah berkeinginan berkurban jika dalam hati belum ada keteguhan iman dan keikhlasan. Jika tidak, kurban hanya sekedar pemenuhan formalitas ibadah tetapi tidak memupuk kepasrahan. Jangan pernah berteriak berkorban demi apapun termasuk demi negara jika belum ada ketulusan dan kepasrahan. Jika tidak, Berkorban untuk negara hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Ruh dari semangat berkurban itu akan hilang jika umat hanya berpesta dalam festival penyembelihan semata. Berkurban hanya mengeluarkan harta untuk menyembelih daging dan mengalirkan darah hewan. Bukan menguji kekokohan iman dan mengalirkan egoisme, sifat buruk dan dengki kita.
Baca Juga : Kurban: dari Binatangisme Menuju Kemanusiaan
Sesungguhnya kisah Ibrahim yang sangat inspiratif bukan pada proses penyembelihannya tetapi pada proses pengosongan kepentingan diri dan ego menuju kepasrahan. Kurban merupakan prasasti sejarah kekokohan iman seorang hamba yang mampu menyembelih ego diri demi ilahi.
Apa yang diharapkan dari ibadah kurban bukan formalitas menyuguhkan daging dan darah. Itu hanya simbol diri untuk memupuk keikhlasan dan meraih dketakwaan. Allah berfirman:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
Artinya: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al Hajj: 37)
Ayat ini menjadi penegas bahwa kurban bukan sekedar menyembelih hewan. Bukan itu daging dan darah yang akan dihantarkan kepada Tuhan. Tuhan Maha Agung yang tidak membutuhkan sesajen. Tuhan mengharapkan umat Islam dari ibadah ini seperti menguji kekokohan iman, ikhlas, takwa seperti yang dimiliki Ibrahim.
Sudahkah kita mempersiapkan karakter Ibrahim tersebut? Ketika memiliki karakter Ibrahim selanjutnya Islam mentransformasi keteguhan iman dan kepasrahan itu dalam ranah sosial. Kurban tidak hanya diarahkan untuk membebaskan hati dari egoisme dan individualism, tetapi dipraktekkan dalam ranah sosial untuk membebaskan penderitaan yang lain. Kurban kemudian menjadi institusi Islam dalam memumpuk kepedulian dan kepekaan sosial.
Di sinilah sebenarnya bisa dilihat bahwa Islam selalu merangkaikan kesalehan spiritual dan kesalehan sosial. Karakter Islam adalah agama yang dimulai dengan membersihkan diri dari penyakit diri seperti ego, dengki, kikir, dan kebencian, lalu beranjak untuk membersihkan penyakit sosial berupa kesenjangan sosial dan kemiskinan. Sekali lagi bukan sekedar berkurban. Umat Islam harus mampu menyelami semangat sejarah, makna dan pesan yang terkandung dalam ibadah luar biasa ini. Kurban tidak hanya menjadi festival penyembelihan, tetapi perayaan kepasrahan diri dan pembebasan sosial.