Bulan Hijrah Nabi dan Spirit Melawan Propaganda Film “Jejak Khilafah Nusantara”

Bulan Hijrah Nabi dan Spirit Melawan Propaganda Film “Jejak Khilafah Nusantara”

- in Narasi
730
0
Merdeka dari Pengasong Khilafah; Optimis Merajut Nasionalisme

Hari ini umat muslim di seluruh dunia sedang merayakan moment pergantian tahun Hijriah yang ke 1442. Awal tahun yang sangat sakral dalam tradisi Islam, karena tanggal 1 Muharram ini menjadi titik awal sejarah peradaban Islam sehingga menjadi agama yang rahmatan Lil Alamin. Bulan suci muharram ini penuh dengan perjuangan kemuliaan dan perjuangan hijrah nabi Muhammad Saw beserta para sahabatnya ke kota Yastrib (Madinah). Nabi Hijrah ke Madinah karena tindakan represif dan intimidasi yang dialaminya beserta umatnya oleh para kafir Quraisy.

Dalam tradisi Jawa, malam Bulan Hijrahnya Nabi ini menjadi malam yang penuh dengan nilai spiritual, yang biasa disebut dengan 1 Suro. Berbagai ritual dilakukan untuk membersihkan segala hal negatif dalam diri manusia, misalnya ritual “padusan” yakni mandi bersama di sungai untuk membersihkan aura negatif dalam diri manusia sebagai awal untuk menjalani tahun yang baru. Berbeda sekali dengan tahun baru Masehi, yang malamnya diisi dengan suasanan gegap gempita kembang api dan pesta pora, tidak banyak memiliki unsur sakralitas dan spiritualitas.

Selain itu, di malam satu Suro ini di beberapa daerah di Indonesia terdapat macam ritual tradisi. Seperti Larung Sesaji, yakni sebuah ritual sedekah alam yang memberikan sesaji kepada gunung atau laut sebagai wujud kesadaran kosmos yaitu penghargaan manusia terhadap alam. Kemudian ritual “Jamasan Pusaka” yakni memandikan benda-benda peninggalan leluhur seperti keris dan semacamnya, karena di malam 1 Suro ini dipercaya sebagai malam yang memiliki daya magis yang sangat kuat dalam tradisi Jawa.

Baca juga : Subtansi Hijrah dalam Konteks Negara Kebangsaan

Dalam konteks saat ini, masyarakat Indonesia dalam semarak moment bulan Hijrah/Hijriah ini idealnya dimanifestasikan dengan sebaik mungkin untuk meneguhkan spirit kebangsaan. Karena saat ini berbagai gempuran narasi radikalisme sedang menghantui dan teramplifikasi di media sosial. Salah satunya adalah propaganda film “Jejak Khilafah Nusantara” yang rencana akan di upcoming pada tanggal 1 Muharram 1442 H atau bertepatan pada tanggal 20 Agustus 2020, di akun Youtobe Khilafah Channel.

Film yang digawangi oleh Nicko Pandawa Cs ini telah menyebarkan propagandanya melalui akun Pusat Media Islam di Facebook. Mereka ingin memberikan narasi tentang relasi historis antara kekhalifahan Turki Utsmani dengan berbagai kerajaan di Nusantara, di antaranya kerajaan Samudera Pasai dan kerajaan Islam di Sumatera lainnya, Sultan Mataram serta Sultan Banten.

Mereka berupaya memaparkan akan romantisme kekhilafahan di abad pertengahan serta mengaitkannya dengan jejak sejarah Nusantara. Padahal, hal ini merupakan suatu kecacatan sejarah yang tidak memiliki dasar data sejarah yang kuat. Mereka berupaya mengaitkan sejarah yang sama sekali tidak memiliki “sanad sejarah” yang otentik, dengan konteks Nusantara. Hal ini juga diafirmasi oleh M. Ishom el Saha (2020), Benarkah Sultan Mataram dan Sultan Banten Bertemu Sultan Turki Usmani, sebagaimana dalam sebagian penjelasan film tersebut? Ternyata tidak! Mereka hanya bertemu dengan Syarif Mekkah generasi kedua keluarga Zaid b. Muhsin yang masih keturunan Bani Hasyim.

Dalam hal ini, kita perlu melawan propaganda khilafahisme yang dilakukan mereka melalui media. Karena semakin banyak hastag atau wacana tentang khilafah di media sosial, akan semakin memperlebar kesempatan mereka untuk diperbincangkan, karena logika algoritma media memang demikian dalam bekerja. Untuk itu, masyarakat harus membaca kembali akan kebenaran sejarah yang ada di Nusantara, karena hal ini akan memperluas wawasan kita dalam memahami pergulatan sejarah yang amat panjang bangsa kita. Akhirnya, nuansa sakralitas dalam bulan muharram ini jangan sampai tercederai hanya karena semangat primordial suatu kelompok tertentu untuk memuluskan kepentingannya dalam mengkampanyekan ideologi Khilafah. Kita perlu menyikapi hal ini dan menolak narasi sejarah yang cacat tersebut, agar tidak dikonsumsi oleh masyarakat kita. Sehingga kita selamat dari kebohongan sejarah yang dibuat oleh para pengosong khilafah tersebut. Semoga.

Facebook Comments