Kontektualisasi Hijrah untuk Peradaban Indonesia

Kontektualisasi Hijrah untuk Peradaban Indonesia

- in Narasi
590
0

Apa makna substantif dari peristiwa hijrah Nabi, yang menjadi tonggak pergantian tahun kelender Islam, hingga kini telah mencapai 1442 Hijriyah? Bagaimana pula melakukan kontekstualisasi terhadap kehidupan masyarakat Indonesia, yang setiap tahunnya, sebagai negara yang mayoritas memeluk agama Islam, juga merayakan peristiwa pergantian tahun Islam ini?

Pada jawaban pertanyaan pertamaa, telah banyak ulasan yang menjelaskan pristiwa hijrah dari aspek historis yang dialami Nabi Muhammad Saw, dan transformasi sikap, dari keburukan menjadi kebaikan, dari berlumur dosa menjadi taubat, dan seterusnya. Makna ini selalu ditekankan dalam setiap menjelaskan peristiwa hijrah itu. Dan memang benar. Tidak salah.

Namun bagaimana dengan pertanyan yang kedua? Inilah tantangan kita sebagai warga negara, yang sejatinya mampu menangkap pesan profetik kenabian itu dalam bingkai sosial kemasyarakatan dan kepentingan negara.

Baca juga : Hijrah dan Nasionalisme Nabi Muhammad SAW

Negara Idonesia, sebagaimana negara Madinah yang menjadi peradaban maju sejak Nabi Muhammad Saw., sesungguhnya tidak hanya dihuni oleh umat muslim semata. Tetapi secara heterogen, juga terdapat etnis dan agama lain, seperti Yahudi dan Nasrani. Dan Nabi Muhammad Saw., mampu menunjukkan sebagai pemimpin yang dapat mengayomi perbedaan-perbedaan itu, di antaranya melalui kesepakatan-kesepakatan, yang dalam istilah popopuler dikenal sebagai Piagam Madinah.

Kontekstualisasi

Di Indonesia,kita punya dokumen kesepakatan yang menjadi pemersatu bangsa, yaitu Pancasila. Di dalam Pancasila, meski tidak menyebut secara eksplisit Islam, dan agama-agama lain, tetapi sangat sesuai dan tidak satu pun bertentangan dengan nilai serta ajara-ajaran semua agama.

Nilai dan ajaran agama telah menjadi inspirasi, dan menjadi ruh lahirnya Pancasila. Mengapa demikian? Karena kita meyakini, agama mengajarkan kebaikan yang bersumber dari Sang Pencipta.

Artinya, semua orang tentu bersepakat bahwa tidak ada agama manapun yang menyuruh pemeluknya untuk melakukan tindak kekerasan dan teror, misalnya. Semua agama di dunia dipastikan mempunyai konsep dan ajaran ideal untuk perdamaian manusia di bumi. Yang patut disalahkan bukan agamanya, apalagi Tuhan. Tetapi para pemeluknya-lah yang tidak mampu memahamai ajaran-ajaran agama yang sesungguhnya bersifat manusiawi itu.

Teringat apa yang pernah diteorisasikan oleh Shamuel N Eisenstadt, tentang empat hal dalam rangka menciptakan ruang publik yang sehat dan sesuai dengan rambu-rambu agama maupun adat masyarakat. Ini juga penting untuk konteks Indonesia.

Pertama, ketertiban seluruh masyarakat, baik yang di pinggir maupun di tengah pusaran kekuasaan. Kedua, adanya proses interaksi dalam bentuk diskursus publik yang sehat di kalangan elemen-elemen itu. Ketiga, isu yang dikembangkan dalam diskursus publik senantiasa terkait kepentingan segenap warga masyarakat. Dan keempat, faktor otoritas sebagai arbiter legitimate yang diperankan oleh agen-agen pemerintah. Peran yang dimainkan di sini tidak lebih sekadar mengatur lalu lintas diskursus publik. Hal ini penting untuk menjaga netralitas dari pemerintah (Hilmy, 2008).

Pemahaman yang demikian sangat penting dikampanyekan agar tercipta perdamain di muka bumi. Sebab tak jarang kita temui sebagian kalangan penganut agama masih menatap dengan “kejam” dan menaruh kecurigaan kepada orang lain hanya lantaran berbeda agama. Sejarah membuktikan, perbedaan-perbedaan agama sering menjadi pusat ketidaktenangan dan ketidaktenteraman penduduk, seperti teror yang mengatasnamakan agama tertentu.

Agama terkadang menampakkan “wajah seram” melalui pemeluknya yang terlalu ekslusif dalam memegang teguh kebenaran yang ia yakini (truth claim). Dari sinilah, mungkin ada benarnya apa kata (ramalan) para futurolog. Yaitu paradoks terbesar manusia modern adalah pembelaan yang berlebihan pada identitas-identitas primordial dan ideologi.

Semoga melalui momentum peringatan Tahun Baru Islam 1442 H dapat menjadi refleksi cara kita beragama, dalam konteks peradaban Indonesia.

Facebook Comments