Hijrah dari Imajinasi Fiktif Gerakan Khilafah

Hijrah dari Imajinasi Fiktif Gerakan Khilafah

- in Narasi
522
0

Tanggal 1 Muharram merupakan awal tahun baru dalam kalender Islam yang dianggap sakral oleh sebagian besar umat Islam. Jika tahun baru Masehi identik dengan selebrasi bertabur pesta dan kemeriahan, lain halnya dengan tahun baru Hijriyah. Tahun baru dalam tradisi Islam umumnya dirayakan dengan khidmat dan reflektif. Malam tahun baru Islam biasanya diisi dengan sholat sunnah tutup tahun dan awal tahun diiringi doa-doa berisi permohonan ampun atas dosa yang telah dilakukan dan harapan akan masa depan yang lebib baik. Bahkan, tepat di hari tahun baru Hijriyah tersebut, umat Islam dianjurkan berpuasa.

Kekhidmatan merayakan tahun baru Islam itu kian terasa kala umat Islam saat ini tengah menghadapi pandemi Covid-19 yang belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Umat Islam di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia saat ini tengah berada dalam situasi keprihatinan akibat pandemi dan dampak ekonomi serta sosial yang ditimbulkannya. Momen tahun baru hijriyah ini tentu menghadirkan semacam harapan bahwa pandemi akan segera berakhir dan kehidupan akan kembali normal. Namun, kekhidmatan umat Islam merayakan tahun baru Hijriyah itu justru terusik oleh gerombolan pengusung khilafah. Bertepatan dengan hari pertama di tahun 1442 Hijriyah, mereka merilis film “Jejak Khalifah di Nusantara” yang belakangan menuai sejumlah kontroversi.

Baca juga : Hijrah dan Nasionalisme Nabi Muhammad SAW

Film yang diinisiasi oleh Nicko Pandawa dan Komunitas Literasi Islam ini menjadi perbincangan hangat di kalangan warganet beberapa pekan belakangan ini. Penulis sendiri belum menyaksikan film tersebut, namun dari sejumlah info yang beredar di kanal-kanal media sosial, film ini secara garis besar menceritakan hubungan Nusantara dengan kekhalifahan Ustmaniyyah yang berpusat di Turki. Dari informasi yang beredar di media sosial, berikut memperhatikan tokoh-tokoh yang memberikan endorsement bagi film ini, tidak sulit untuk menyimpulkan bahwa film ini tidak lebih dari sebuah propaganda penyebaran paham khilafah di Indonesia. Strategi penyebaran paham transnasional khilafah memang dikenal melibatkan pendekatan multidimensi.

Paling lazim tentu melalui pendekatan keagamaan, yakni dengan menyebarkan paham khilafah melalui pendidikan, ceramah atau acara keagamaan yang melibatkan massa besar. Di sektor pendidikan, kaum pengasong khilafah dikenal gencar menyebarkan pahamnya dan merekrut anggota dari kalangan pelajar, mahasiswa, bahkan hingga guru maupun dosen. Selain pendekatan keagamaan, ideologi khilafah juga disebarkan melalui pendekatan budaya populer, mulai dari acara variety show di televisi, serial animasi anak-anak, sampai film layar lebar. Penyebaran paham khilafah melalui pendekatan budaya populer ini kian marak selama satu dasawarsa terakhir. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia melainkan juga terjadi di sejumlah negara muslim lainnya. Perilisan film Jejak Khilafah di Nusantara yang bertepatan dengan Tahun Baru Hijriyah tidak diragukan merupakan manifestasi nyata penyebaran paham khilafah melalui pendekatan budaya populer.

Para pengasong khilafah memanfaatkan momentum Tahun Baru Islam untuk memasarkan ideologinya melalui film yang diprotes banyak sejarawan karena mencatut sejumlah nama tanpa izin. Melalui film tersebut, para pengasong khilafah berusaha membangun imajinasi bahwa kejayaan Islam akan kembali jika umat Islam kontemporer mendirikan imperium Islam berdasar sistem khilafah islamiyyah. Padahal, jika dilihat dengan seksama, klaim itu tidak lebih dari sebuah keyakinan semu dan imajinasi fiktif sekaligus utopis. Kliam sejarah bahwa Nusantara memiliki hubungan erat dengan kekhalifahan Turki Ustmani serta keyakinan bahwa khilafah ialah solusi sapu jagad atas segala persoalan global saat ini ialah ilusi yang tidak berdasar pada fakta dan kajian ilmiah.

Meneladani Perjuangan Rasulullah dalam Membangun Peradaban Islam

Klaim bahwa kerajaan Islam di Nusantara memiliki hubungan diplomatik dengan kekhalifahan Usmaniyyah yang berpusat di Turki sudah dibantah oleh sejumlah sejarawan otoritatif. Peter Carey misalnya, sejarawan indonesianis yang banyak meneliti tentang sejarah Jawa menyebut bahwa tidak ada bukti-bukti otentik yang mendukung asumsi bahwa Nusantara berhubungan dengan kekhalifahan Turki. Klaim bahwa Pangeran Diponegoro mendapat bantuan dari kekhalifahan Turki Usmani saat berperang melawan Belanda dalam Perang Jawa juga tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dalam konteks yang lebih luas, klaim bahwa khilafah ialah solusi atas semua persoalan manusia modern ialah klaim yang prematur, ahistoris dan absurd. Sejarah mencatat bahwa di era kekhalifahan, berbagai persoalan terkait ekonomi, politik, sosial dan agama tetap ada. Fakta sejarah itu membuktikan bahwa khilafah bukanlah sistem sempurna tanpa cela sebagaimana diklaim para pangasongnya saat ini.

Di titik ini, penayangan perdana film “Jejak Khilafah di Nusantara” yang memiliki cacat disana-sini itu justru menodai kesucian perayaan Tahun Baru Hijriyah. Momen Tahun Baru Hijriyah idealnya dimanfaatkan umat Islam untuk merefleksikan dan meneladani perjuangan Nabi Muhammad dalam melaksanakan dakwah Islam dan membangun peradaban umat manusia. Nabi Muhammad meninggalkan Makkah menuju Madinah bukan hanya demi menyelamatkan nyawa diri dan pengikutnya, melainkan juga menjalani misi sosial yakni membangun tatanan sosial, politik dan keagamaan baru di kota Yastrib.

Di kota yang kelak bernama Madinah itu, Nabi Muhammad tidak membangun sistem pemerintahan berkarakter islamsentris, apalagi kekhalifahan teokratis. Sebaliknya, Nabi Muhammad membentuk tatanan sosial-politik yang tidak mengedepankan sentimen kesukuan atau trah keluarga (bani). Rasulullah berusaha merangkul dan mengakomodasi kepentingan seluruh kelompok suku dan agama yang ada di Madinah kala itu. Terciptalah konsensus bersama yang kemudian populer disebut sebagai “Piagam Madinah”.

Meski tidak secara eksplisit, Nabi Muhammad telah meletakkan dasar-dasar demokrasi dalam Islam. Setiap persoalan dan konflik sosial diselesaikan melalui mekanisme resolusi konflik yang mengedepankan musyawarah. Tidak ada kelompok yang mendapat keistimewaan (privilege) dalam sistem sosial yang dibangun Rasulullah di Madinah. Semua entitas memiliki kedudukan sekaligus tanggung jawab yang setara dalam ekosistem sosial-politik Madinah yang dinamis dan heterogen. Kiranya, spirit hijrah kenabian yang demikian inilah yang patut diteladani oleh umat Islam kontemporer. Peristiwa hijrah yang kita monumenkan sebagai perayaan awal tahun dalam kalender Islam idealnya dipahami dalam bingkai meneladani perjuangan Rasulullah, bukan justru dipelintir ke dalam romantisisme khilafah yang cenderung menghadirkan imajinasi fiktif dan utopis.

Lebih spesifik bagi generasi Islam Indonesia saat ini, hijrah bisa dimaknai sebagai upaya melepaskan diri dari bayang-bayang gerakan khilafah yang menawarkan romantisisme, imajinasi dan utopia tentang kejayaan Islam. Tugas umat Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia saat ini ialah membangun peradaban yang bertumpu pada prinsip demokrasi, kesejahteraan kolektif dan keadilan hukum. Nyaris seluruh negara muslim saat ini menghadapi persoalan yang nisbi sama, yakni politik yang tidak stabil, perlambatan ekonomi dan lemahnya penegakan hukum. Peradaban itu niscaya bisa dibangun ketika semua elemen dunia Islam mengedepankan solidaritas kemanusiaan, alih-alih menebalkan sekat primordialisme dan fanatisme ideologis.

Facebook Comments