Juru dakwah yang radikal dan intoleran sejatinya hanya berjumlah kecil. Mereka sedikit, tetapi berisik. Segelintir, tetapi terorganisir. Dengan membuat akun puluhan bahkan ratusan, mereka sudah bisa membuat wacana anti-kerhamonisan dan kedamaian.
Dai atau tokoh agama moderat harus tampil bersuara untuk melawan. Selama ini, juru dakwah dan tokoh agama moderat lebih banyak menjadi silence moyority, banyak tetapi diam. Suara mereka tidak terdengar.
Akibatnya panggung dikuasai oleh oknum-oknum penceramah intoleran yang tidak bisa memahami kultur bangsa yang plural. Juru dakwah yang mau menang sendiri, benar sendiri, dan menegasikan kelompok yang berbeda dengan dirinya.
Diamnya para penceramah moderat ini dengan apik sengaja dimanfaatkan pihak lain. Hanya bermodalkan video pendek, meme, foto berkualitas rendah dengan caption yang provokatif, oknum “ustad” radikalil dan intoleran itu sudah dengan mudah mempengaruhi khalayak ramai.
Jurus jitu, yakni dramatisasi, pemelintiran, dan play victim, dan kriminalisasi –menjadi andalan. Kita harus tetap ingat rumus umum: “kebenaran yang tidak terorganisir bisa dikalahkan dengan kebatilan yang terorganisir.” Artinya: penceramah intoleran, meski sedikit tetapi terorganisir bisa mengalahkan, penceramah moderat meskipun banyak.
Narasi kebencian, intoleran, dan radikalisme semakin menguat di tengah masyarakat. Catatan Kontras (14/11/2018) menunjukkan, bahwa intimidasi dan kekerasan atas nama agama masih terus meningkat dan berulang-ulang dari tahun ke tahun.
Budaya damai dan saling memahami menjadi terpinggirkan. Media sosial adalah salah satu lahan subur bersemainya aksi-aksi yang kontra terhadap nilai-nilai persatuan. Sifatnya yang anonymous membuat setiap orang bisa dengan bebas membuat akun-akun penyebar konten intoleran dan penuh permusuhan.
Harus Berani Bersuara
Di tengah gemerlap media sosial, kita butuh juru dakwah, penceramah, ustad, tokoh agama yang berani dengan lantang menyuarakan moderasi, menghargai perbedaan, dan memanusiakan manusia. Banyaknya tindakan ekstrim tidak lepas dari absennya para kaum moderat menyuarakan keberagaman.
Panggung dakwah adalah tempat yang strategis menyuarakan pesan-pesan moderasi. Lewat mimbar khutbah, majlis ta’lim, pengajian, dan sederet panggung dakwah lainnya sangat efektif dalam menyebar semangat moderasi.
Jika para penceramah intoleran dan radikal memberikan pemahaman agama yang sempit melalui media sosial. maka hal yang sama juga harus dilakukan oleh penceramah modarat. Sekarang sedikit sekali yang berani melawan dan memberikan kontra wacana. Sebagian besar kaum moderat lebih banyak diam.
Akibatnya, saling asah dalam beragama dan saling asuh dalam kehidupan semakin terkikis dari masyarakat. Tindakan main hakim sendiri, menegasikan liyan, dan meprovokasi pihak yang berbeda semakin menyeruak di setiap lini kehidupan anak bangsa. Kita butuh orang-orang seperti Gus Dur, Cak Nur, Romo Mangun yang berani pasang badan melawan kaum radikal.
Media sosial harus dimaksimalkan. Memaksimalkan fungsi positif-konstruktif medsos sebagai wasilah untuk mengampanyekan nilai-nilai moderasi dan toleransi bisa dijalankan dengan menyebarkan konten-konten damai, video, dakwah, tulisan popular, mempromosikan rasa persaudaraan, dan memviralkan hal-hal yang bisa membuat masyarakat guyub dan harmonis.
Media sosial sekalipun bersifat maya, sangat efektif dalam mengampanyekan gagasan. Pertarungan gagasan dan perebutan wacana adalah hal yang wajib dilakukan dengan kaum radikal. Mereka harus dilawan.
Ini adalah jihad akbar dalam konteks sekarang. Melawan setiap upaya yang bisa merongrong kehidupan berbangsa dan bernegara wajib bagi setiap anak bangsa untuk ikut ambil bagian.
Watak asli masyarakat Indonesia adalah moderat dan toleran. Itu sudah dibuktikan dengan sejarah. Baik dalam dasar, falsafah, maupun dalam bentuk Negara. Masyarakat Indonesia tidak ekstrim kanan, mengambil apa saja saja yang datang dari luar, juga tidak ekstrim kiri, menolak apapun, tetapi mederat, yakni bersifat selektif-akomodatif. Adanya tindakan-tindakan anarkis dan radikal lain –baik itu di kehidupan sehari-hari maupun di dunia maya –hanyalah riak-riak kecil. Riak-riak itu membesar, sebab sebagian besar kita membiarkannya. Maka tindakan nyata, tidak ada jalan lain, kecuali lebih berani melawan dan bersuara.