Cintailah Negaramu, Sebagaimana Kamu Mencintai Agamamu!

Cintailah Negaramu, Sebagaimana Kamu Mencintai Agamamu!

- in Narasi
1781
0

Ada sebagian “ulama” di era kontemporer saat ini yang sering menyerukan semacam “fatwa” bahwa mencintai tanah airnya itu tidak ada dalilnya. Baginya, yang paling utama adalah mencintai agama-Nya. Berjihad membela agama-Nya dan rela mati syahid demi agama-Nya. Sedangkan porsi kecintaan terhadap negaranya, justru tercampakkan. Tempat, di mana dia dilahirkan, menjalani kehidupan, makan-minum dan tumbuh besar hingga menjadi orang yang dewasa. Lantas, ketika beranjak dewasa dan mengatasnamakan “kepintaran” lalu bisa-bisanya mereka memalingkan diri. Seperti kacang lupa pada kulitnya. Karena melupakan tempat di mana dia bisa tumbuh dan berkembang hingga seperti itu.

Mencintai agama-Nya sejatinya adalah kewajiban orang yang beriman. Tentu porsi keimanan lahir berlandaskan kepada (wasilah) yang menjadi norma metodologis seseorang bisa mengenyam keimanan, keselamatan dan kenyamanan dalam agama-Nya. Maka, wasilah pertama kita adalah Nabi Muhammad SAW yang sangat mencintai tanah airnya sebagaimana beliau mencintai agama-Nya pula. Maka cukup jelas kiranya ini juga menjadi landasan (Wasilah) kebangsaan bahwa mencintai tanah airnya adalah kebenaran mutlak untuk diimani. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW praktikkan. Karena ini berkaitan dengan kesadaran akan hikayat kita hidup dan bertempat tinggal.

Karena keduanya, antara semangat keagamaan dan semangat kebangsaan sejatinya tertera dalam Al-Qur’an dan Hadits. Di dalamnya justru begitu banyak penjelasan tentang “keterikatan hati” umat manusia kepada tempat tinggalnya. Bahkan, Nabi Muhammad SAW pun juga selalu mengekspresikan akan kesadaran cinta tanah air dalam dirinya. Maka, tidak ada alasan apa-pun untuk membantah bahwa rasa beragama yang baik sekaligus bernegara yang baik itu mutlak dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Lalu mengapa begitu banyak orang yang berpaling kepada ayat-ayat-Nya dan Sunnah Nabi Muhammad SAW?

Misalnya, dijelaskan oleh Syekh Wahbah Al-Zuhaily dalam Tafsir al-Wasith mengatakan: dalam potongan ayat “Wa fi Qouli Ta’ala (Awikhruju min Diyarikum) Isyaratun Shorihatun ila ta’alukinnufusil Basyariyati Biladiha, Wa ila Anna Hubbul Wathan Mutamakkinu Finnufusi wamuta’allikotu bihi, Li annallaha subahanahu ja’ala khuruja min diyari wal awtoni mu’adilan wamukorinan khotalannafisi, Fakilal amroyni azizun, wala yufarritu uwghlabu annasi bidzzarratin min turabil wathani Mahma Ta’arrathu lil masyakki wala mataibi wal mutayakoti”

Artinya, Allah berfirman dalam Al-Qur’an dalam potongan ayat An-Nisa’ ayat 66. (Keluarlah dari kampung halaman-mu) terdapat “isyarat” yang sangat jelas bahwa akan ketergantungan hati manusia dengan negaranya. Serta “isyarat” bahwa cinta tanah air adalah hal yang melekat di dalam hati dan berhubungan dengannya. Karena, sejatinya, kehendak-Nya (Allah SWT) menjadi keluar dari kampung halaman dan tanah air, setara dengan mereka yang bunuh diri.

Tentu Allah SWT dalam surat tersebut membangun semacam “kemutlakan” bahwa mencintai tanah air, menjaga dan tetap tinggal (melindungi) tanah airnya niscaya merupakan tanggung jawab kita bersama. Bahwa jika kita pergi dan bahkan “acuh” terhadap negaranya serta membiarkan kerusakan terjadi di tanah airnya. Maka Allah SWT menghukumi mereka akan dosa yang setimpal dengan bunuh diri. Karena membiarkan negaranya rusak, terjadi konflik dan pertikaian satu sama lainnya.

Nabi Muhammad SAW juga memberikan contoh kepada kita semua tentang pentingnya mencintai tanah air sebagaimana kita mencintai agama-Nya. Bahwa diriwayatkan oleh Sahabat Anas (HR. Bukhari, Ibnu Hibban dan Tirmidzi) bahwa “Ketika Nabi Muhammad SAW kembali dari bepergian dan lantas dari kejauhan melihat dinding-dinding Madinah, beliau segera bergegas mempercepat laju untanya” Hal ini sebagai bukti kecintaan Nabi Muhammad SAW kepada kota Madinah.

Bahkan dalam kisah yang sama, ada sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Ishaq yang disampaikan Abu Al-Qosim Syihabuddin Abdurrahman bin Ismail (Abu Syamah) dalam kitabnya Syarhul Hadits al-Muqtafa fi Mab’atsil Nabi al-Muqtafa fi Mab’atsil Nabi al-Mushtafa dijelaskan bahwa Al-Suhaily berkata; di dalam Hadits tentang (Waraqah) bahwasanya dia berkata kepada Nabi Muhammad SAW. “Sesungguhnya, engkau akan didustakan wahai Rasulullah” Nabi pun diam, tidak mengucapkan kalimat apa-pun. Dia berkata lagi “Sesungguhnya, engkau akan disakiti” Rasulullah pun tetap diam dan tidak sedikit-pun melontarkan “siapa yang ingin menyakitiku?”. Lantas, dia pun mengatakan sesuatu yang sangat membuat Nabi Muhammad SAW sedih. Yaitu “Sungguh, engkau akan diusir”. Lantas, beliau langsung menjawab “Apakah mereka akan mengusirku?”.

Dari hadits ini, tampak sekali bahwa Nabi Muhammad SAW begitu mencintai tanah airnya. Sebagaimana beliau mencintai agama-Nya. Sekalipun beliau diintimidasi, disakiti dan bahkan diperlakukan tidak baik. Merek sabar, diam dan bahkan menerimanya. Namun, jika ada kabar bahwa beliau akan diusir dari tanah airnya, maka seketika beliau merasa sedih dan bertanya-tanya. Hal ini betapa cintanya Nabi Muhammad SAW kepada negaranya. Sebagaimana beliau cinta kepada agama-Nya.

Berangkat dari sinilah pentingnya teladan ustadz yang “satu pemikiran” dengan Nabi Muhammad SAW. Beliau mencintai negaranya dengan baik, tulus dan penuh penghormatan. Di sisi lain, beliau juga mencintai agama-Nya dengan cara menjaga (kehormatan) agama-Nya melalui dakwah yang penuh kasih sayang, tidak menyakiti orang lain, tidak berbuat kerusakan. Karena beliau dalam berdakwah, selalu membangun dua kesadaran penting yaitu mencintai negara dengan baik karena itu adalah tempat tinggal kita. Serta mencintai agama-Nya dengan baik karena itu sebagai jalan akan kebenaran-Nya.

Facebook Comments