Ulama memiliki dua tugas sekaligus: tugas keummatan serta tugas kebangsaan. Dalam diri ulama seharusnya kedua nilai itu harus terintegrasi. Ulama bukan hanya bisa jadi teladan dalam beragama, melainkan juga harus bisa jadi teladan dalam berbangsa dan bernegara.
Ulama harus bisa mengkombinasikan keduanya, sebab meraka adalah public figure. Laku dan wejangannya menjadi rujukan masyarakat. Yang keluar dari seorang ulama seharusnya adalah pesan-pesan perdamaian, persatuan, saling menghargai, cinta tanah air, tanggung jawab dan sederet nilai positif lainnya.
Bukan malah sebaliknya. Ucapan kotar, caci-maki, memprovokasi, serta bentuk ujaran kebencian lainnya. Sangat ironi, ketika kita melihat akhir-kahir ini, makna ulama sengaja direduksi oleh kelompok tertentu.
Seolah-olah, syarat ulama itu adalah ketika berani dan suka mengkritik umara’ dan kelompok yang berseberangan dengannya. Kalau kritikannya bagus dan disampaikan dengan cara-cara konstruktif, masih mending. Ini justru disampaikan dengan kata-kata yang sangat jauh dari nilai Islam itu sendiri.
Di sinilah, sebagaian pihak menggugat pemaknaan itu. Ulama bukanlah seperti gambaran mereka. Ulama adalah teladan dalam segala aspek. Agen pemersatu dan tempat bertanya umat.
Ulama adalah orang yang tidak lagi membenturkan antara Keislaman dan Keindonesiaan. Keduanya sudah mengalir dan bercampur dalam diri ulama. Keterpaduan keduanya akan menghilangkan, setidaknya meminimalisir ustad dan penceramah agama yang provokatif.
Harus Terintegarasi
Ada alasan logis, mengapa nilai keagamaan dan kebangsaan harus terintegrasi dalam diri ulama. Alasan utama itu adalah karena yang paling bertanggung jawab atas bagaimana wajah Islam di tanah air –yang dengan wajah itu kita membangun negeri ini –adalah para ulama. Jika citra Islam ramah rusak, maka pihak yang paling bertanggungjawab adalah ulama, sebagai pemegang estafet dakwah kenabian.
Terus, bagaimana mengintegrasikan Keislaman dan Keindonesian dalam setiap individu ulama? Ada dua poin penting –tanpa maksud membatasi –yang sangat perlu digarisbawahi.
Pertama, mengampanyekan ajaran Islam paling asasi, universal dan bisa diterima oleh semua pihak. Ulama harus menempatkan dirinya sebagai agen rahmah, sebagaimana dideklarasikan Al-Quran sejak dini.
Dalam Al-Quran disebutkan, bahwa pengutusan Nabi Muhammad ke muka bumi sebagai rahmat bagi sekalian alam, wa ma arsanalkan illa rahmatan lil’alamin, Kami tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi sekalian alam.
Rahmat di sini adalah rasa kasih sayang tanpa pandang bulu, memberikan kedamaian dan kesejukan bagi semua lapisan masyarakat. Hal yang menarik dari redaksi Al-Quran tadi adalah bentuk katanya yang universal, yakni “alamin,”sekalian alam.
Tentu konsekuensi redaksi ini sudah bisa dipahami. Islam yang rahmatan lilalamin inilah yang dipraktekkan oleh para kyai, sebagai panutan dan maha guru dalam keagamaan di pesantren.
Gus Mus, salah satu kyai karismatik dari Rembang, mendefinisikan kyai itu sebagai huwa allazi yanzhur bi ‘ain al-rahmah, orang yang melihat dengan pandang rahmat, kasih sayang.
Kedua, mengampanyekan titik temu antara/antar umat beragama. Tugas berat ini sejatinya sudah dirintis oleh para cendikiawan generasi dulu, seperti Nurcholis Majid, Gus Dur, Djohan Efendi, dan Dawam Rahardjo. Nama yang pertama malah menjadikan platform pemikirannya.
Titik temu atau dalam bahasa Al-Quran adalah kalimah sawa’ itu adalah nilai persaudaraan (al-ukhwah), persamaan(al-musawah), kebebasan (al-khurriyah), dan keadilan (al-‘adl). Nilai-nilai titik temu itu diakui oleh semua agama dan semua pihak.
Hal yang menarik, ternyata nilai-nilai itu sudah diramu oleh para pendiri bangsa ini dengan sebutan Pancasila. Pancasila adalah titik temu bangsa Indonesia. Maka tugas ulama di sini adalah menyosialisasikan, mengampanyekan, mengamalkan titik temu itu ke tengah-tengah masyarakat, sebagaimana sudah dilaksanakan dengan bijak oleh para santri lama tadi.
Dengan menekankan nilai universal Islam dan mengintegrasikannya ke dalam hasil konsensus sebagai bangsa, maka akan tercipta “ulama ramah,” bukan “ulama marah.”
Ulama ramah, yang bewawasan Keislaman dan Keindonesian akan bisa menjalankan fungsinya sebagai penerus estafet ajaran Nabi. Isi penting dari estafet kenabian itu menurut Koentowijoyo ada tiga pokok yakni: pembebasan, humanisasi, dan transendensi.
Maksud pembebasan di sini, memproyeksikan masyarakat ke arah yang lebih baik, tanpa tercerabut dari akar budayanya. Humanisme, semua orientasi dakwah ulama harus diproyeksikan menuju memanusiakan manusia. Terakhir transendensi, memaklumatkan bahwa pembebasan dan humanisme itu harus diarahkan kepada keimanan kepada Zat Transendental.