Jangan “Hanya” Menunggu Idul Fitri untuk Bersaudara!

Jangan “Hanya” Menunggu Idul Fitri untuk Bersaudara!

- in Narasi
1613
0
Jangan “Hanya” Menunggu Idul Fitri untuk Bersaudara!

Dalam banyak hal, terkadang kita sering-kali mengalami “cekcok” dengan teman, kerabat tetangga atau-pun partner kerja. Hingga berujung pada permusuhan dan saling tidak melakukan tegur-sapa. Karena kita sering diselimuti oleh sifat merasa benar. Lalu gengsi untuk mengawali permintaan maaf. Pintu gerbang kemaafan seakan terasa sulit untuk dibuka untuk mengawali perdamaian di dalamnya.

Maka, alternatif kita sering-kali menunggu hari raya Idul Fitri agar bisa bersalaman, saling maaf-maafan dan memperbaiki hubungan yang telah lama renggang. Artinya, mereka akan mau meminta maaf, setelah hari raya Idul Fitri tiba.

Sedangkan hari-hari biasa, kita masih terus mempertahankan permusuhan. Seakan-akan, persaudaraan dan sikap untuk saling memaafkan itu hanya boleh dilakukan di hari raya Idul Fitri saja. Sedangkan hari-hari biasa kita terus diselimuti oleh sifat merasa paling benar dan rasa gengsi untuk meminta maaf dan memulai persaudaraan.

Dinamika yang semacam ini, sebetulnya akan menjadi masalah besar bagi tatanan sosial-masyarakat kita. Karena, konsep pikiran kita selalu menganggap bahwa maaf-maafan atau silaturahmi membentuk persaudaraan dan kebersamaan itu hanya pada tempo atau moment hari raya Idul Fitri saja. Karena selai hari raya, kita terasa sulit untuk memulai maaf-maafan atau-pun membangun silaturahmi persaudaraan.

Oleh karena itu, kita perlu menjernihkan pemahaman kita perihal Idul Fitri yang sejatinya. Bahwasanya, hari raya Idul Fitri yang dirayakan tiap tahun oleh umat Islam itu sebagai “momentum” untuk kita (membuka gerbang fitri) kesadaran kita untuk benar-benar melepaskan diri dari belenggu egoisme, kegengsian dan merasa benar sendiri dalam kehidupan sosial-masyarakat untuk dibuang selama-lamanya.

Artinya, Idul Fitri yang kita pahami sebagai momentum untuk bisa mengikat persaudaraan, kebersamaan dan persatuan. Itu bukan sebagai sesuatu yang sifatnya “waktu” terbatas untuk kita melakukan semacam perbaikan hubungan sosial. Lalu, kita memahami bahwa hari raya Idul Fitri adalah waktu yang pas untuk kita saling maaf-maafan. Sedangkan hari-hari yang bukan pada momentum hari raya Idul Fitri itu, kita terasa berat untuk memaafkan orang lain. Mengikat kebersamaan dan menyatukan sebuah perbedaan dalam persaudaraan.

Karena, Idul Fitri ini, sejatinya sebagai jalan pertama dan seterusnya untuk kita bisa membuka gerbang fitri setiap hari. Bagaimana jika kita sedang mengalami konflik atau cekcok dengan siapa-pun. Kita mampu merefleksikan semangat untuk sigap mengetuk gerbang fitri diri. Sehingga, kita lebih ringan dan mudah meminta maaf segera mungkin. Tanpa harus menunggu hari dan tanggal Idul Fitri itu dilakukan.

Tentu saya memahami betul bahwa Idul Fitri ini adalah ajang untuk mengetuk gerbang fitrah kita sebagai manusia yang bersih atau suci. Kita akan terjembatani oleh semangat untuk tidak merasa paling benar dan merasa gengsi meminta maaf pertama kali. Sebagaimana gerbang fitri kita adalah hati, pikiran dan tindakan diri kita sendiri. Untuk benar-benar diketuk agar bisa berada dalam resonansi pengembalian ke dalam dimensi hakikat manusia yang suci.

Karena, Islam selalu optimis memandang fitrah manusia yang terlahir dalam keadaan suci. Artinya, genetika asal manusia yang suci atau bersih dari segala keburukan dan dosa itu menandakan sebuah harapan akan manusia yang bisa memiliki peluang untuk kembali. Pada konteks yang semacam ini, manusia pada hakikatnya memiliki “gerbang fitrah/fitri” yang bisa meniscayakan dirinya untuk bisa kembali ke asal.

Maka, ketuklah gerbang fitri kita setiap hari. Agar kita tidak hanya berhenti pada momentum hari raya Idul Fitri saja kita bisa maaf-maafan dan mengikat persaudaraan. Sedangkan hari-hari biasa kita mulai kembali bermusuhan dan melakukan pertikaian. Karena jika demikian, maka sama saja Idul Fitri kita posisikan sebagai ajang “tahunan” saja untuk saling memaafkan. Sedangkan hari-hari biasa kita terus disibukkan dengan permusuhan.

Oleh karena itu, sangat penting bagi kita di dalam mengetuk gerbang fitri setiap hari. Dengan cara seperti inilah, suasana hari raya Idul Fitri kita bisa rasakan setiap hari dan secara otomatis kita lebih mudah memaafkan dan mengikat kembali persaudaraan jika ada semacam cekcok misalnya. Tanpa harus menunggu hari raya Idul Fitri yang akan datang untuk mendamaikan-nya.

Facebook Comments