Hakikat Lebaran; Pemaafan, Penyucian, Persaudaraan

Hakikat Lebaran; Pemaafan, Penyucian, Persaudaraan

- in Narasi
1838
0
Hakikat Lebaran; Pemaafan, Penyucian, Persaudaraan

Idul Fitri atawa lebaran ialah momen sakral yang senantiasa ditunggu oleh umat Islam. Lebaran telah menjadi bagian tak terpisahkan dari ritus keagamaan sekaligus tradisi sosial yang berkembang di masyarakat muslim Nusantara. Semasa kecil, ingatan tentang lebaran ialah memori tentang sensasi memakai baju baru, atau menikmati makanan dan jajanan yang tumpah ruah di setiap rumah. Menginjak dewasa, kita memaknai lebaran dengan lebih filosofis. Bagi muslim dewasa, lebaran jelas bukan sekadar baju baru atau sajian menu khas lebaran yang tersaji di atas meja.

Lebih dari itu, lebaran ialah ruang sakral dimana kita bisa merefleksikan apa yang telah lampau (capaian dan kegagalan) serta menyusun resolusi untuk masa depan. Sebelum hari lebaran tiba, umat Islam menjalani ibadah puasa Ramadan selama sebulan penuh. Ramadan ialah semacam jeda dari kehidupan yang serba tergesa dan acapkali abai pada makna. Maka, lebaran pada dasarnya ialah starting point alias titik mula dari kehidupan baru pasca-Ramadan.

Setidaknya ada tiga hal penting dalam tradisi lebaran. Pertama ialah nuansa pemaafan. Setelah sebulan penuh kita menahan hawa nafsu dan membersihkan jiwa, maka di hari lebaran hendaknya kita menyempurnakannya dengan saling maaf-memaafkan. Momen pemaafan ini menjadi penting karena dosa antarsesama manusia hanya bisa dihapus jika kita sudah saling memaafkan. Sebagai manusia biasa, kita tentu tidak luput dari salah dan dosa. Maka meminta maaf bukanlah hal hina.

Demikian pula, sebagai manusia biasa kita hendaknya selalu membuka pintu maaf bagi orang lain. Selain saling memaafkan dalam konteks relasi sosial, tidak kalah pentingnya ialah memaafkan diri sendiri atas ketidaksempurnaan dan kegagalan yang terjadi. Memaafkan diri sendiri ialah bagian penting dari proses menapaki kehidupan pasca-Ramadan. Lebaran kiranya bisa menjadi momen untuk merelakan apa yang belum dicapai di tahun sebelumnya dan berusaha ikhlas atas kehendak Allah.

Kedua, nuansa penyucian yakni momen ketika manusia kembali ke fitrahnya yang suci tanpa dosa. Lebaran ialah hari dimana manusia dilahirkan kembali tanpa membawa dosa-dosa di masa lalunya. Ritual puasa sebulan penuh yang dijalani dengan ikhlas ialah riyadhah untuk merontokkan seluruh dosa. Ramadan ialah kawah candradimuka yang menggembleng sisi spiritual manusia sehingga bisa naik kelas dari manusia awam menjadi insan kamil (manusia sempurna). Proses penyucian diri ini kiranya tidak melulu hanya menyangkut urusan dosa dengan Allah maupun dosa antarsesama manusia.

Tidak kalah penting dari itu ialah penyucian diri dari pikiran dan prasangka negatif pada kelompok lain. Diakui atau tidak, dalam kehidupan sehari-hari kita kerap menyimpan prasangka dan kecurigaan terutama terhadap individu atau kelompok yang berbeda, baik suku, agama maupun ras. Sikap curiga dan prasangka inilah yang kerap menjadi akar bagi lahirnya praktik diskriminasi bahkan intoleransi terhadap kelompok minoritas. Di titik ini, umat Islam sebagai kelompok mayoritas kerap tanpa sadar bersikap egois dan arogan pada kaum minoritas.

Ketiga, dimensi persaudaraan antaragama dan antarsesama manusia. Idul Fitri selain hari kemenangan merupakan momen tepat untuk mempererat tali persaudaraan keagamaan, kebangsaan dan kemanusiaan. Mengaitkan lebaran dengan upaya memperkokoh persaudaraan ini kiranya relevan dengan situasi bangsa Indonesia saat ini. Beberapa tahun belakangan bangsa kita diuji oleh adanya perpecahan di masyarakat akibat isu politik, sosial maupun agama.

Di luar momen Idul Fitri upaya merekatkan kembali persaudaraan yang sempat renggang itu barangkali akan menemui banyak hambatan. Idul Fitri ialah momen tepat untuk melakukan semacam rekonsiliasi nasional. Di momen Idul Fitri hampir pasti sebagian besar masyarakat bersedia membuka hati dan dirinya sehingga jalan rekonsiliasi itu bisa terbuka lebar. Rekonsiliasi kebangsaan diperlukan agar bangsa ini bisa lepas dari beban masa lalu dan menatap masa depan dengan penuh optimisme.

Pandemi Covid-19 yang melahirkan aturan pembatasan sosial kiaranya tidak sedikit pun melunturkan hakikat lebaran. Bahkan jika direnungkan, pandemi ini memberikan kita banyak waktu dan ruang untuk merefleksikan diri. Lebaran di tengah pandemi idealnya tidak mengurangi sedikit pun gairah kita untuk memaafkan kesalahan pribadi dan orang lain, menyucikan diri serta memperkuat persaudaraan.

Facebook Comments