Pemerintah secara resmi membatalkan keberangkatan jemaah haji tahun 2021 yang tertuang dalam Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 660 Tahun 2021 tentang Pembatalan Keberangkatan Jemaah Haji pada Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1442 H/2021 M.
Setidaknya ada tiga alasan utama sebab pembatalan keberangkatan haji 2021. Pertama, situasi pendemi Covid-19 yang masih berlangsung. Kedua, penyebaran varian baru Covid-19 yang berkembang di sejumlah negara. Ketiga, mengutamakan dan mengedepankan kesehatan dan keselamatan jiwa jemaah.
Pembatalan ini dilakukan oleh Kemeterian Agama sebagai pihak penyelenggara Haji dan Umrah sesudah melakukan kajian yang mendalam dan atas pertimbanagn yang matang, bukan atas dasar terburu-buru.“Kuputusan itu tentu berdasarkan kajian mendalam, baik dari aspek kesehatan, pelaksanaan ibadah, hingga waktu persiapan. Tidak benar dilakukan secara terburu-buru,” tegas Plt Dirjen Penyelenggara Haji dan umrah, Khoirizi (4/6/2021).
Akan tetapi, keputusan ini justru menjadi kontroversi. Menjadi pro-kontro. Banyak yang setuju, tetapi tak sedikit yang keberatan, mengkritik, bahkan mencaci pemerintah dan menyebar hoax. Berbagai narasi negatif bermunculan. Tidak sedikit yang menyalahkan pemerintah, bahkan menuding Kemenag tidak becus atas kebijakan ini.
Demi Kemaslahatan Bersama
Sejak dini, Pemerintah –melalui Kemenag –secara gamblang menyatakan bahwa pembatalan ini dilakukakan atas dasar kesehatan dan keselamatan jemaah haji. Kesehatan dan keselamatan jemaah, saya kira adalah salah satu kunci utama ketika kita membicarakan haji.
Bukankah salah satu syarat haji itu ketika ada namanya istitha’ah, yakni kesanggupan. Kesanggupan di sini bukan hanya soal meteri saja, tetapi juga mencakup aspek fisik dan psikis manusia. Artinya, badan harus sehat, jiwa harus terjaga. Jangan sampai, ibadah yang seharusnya menjadi sarana meningkatkan ubudiyah kepada Allah, justru menjadi bahaya kepada diri dan umat manusia.
Meski Kemenag hanya menyebut kesehatan dan keselamatan jemaah haji saja, sejatinya kebijakan ini adalah demi kemaslahatan bersama, kemaslahatan umat manusia. Bagaimana jadinya, jika jemaah haji itu diberangkatkan tetapi justru tertular virus. Pasti virus itu terbawa ke tanah air. Yang kena bukan hanya satu-dua orang, tetapi banyak orang.
Bukankah dalam agama ada kaidah dar’ al-mafasid muqaddamun ala jalbi al-masalih, menolak kemudharatan lebih diprioritaskan daripada mengambil kemaslahatan. Kemudharatan di sini adalah jemaah haji terjangkit virus covid-19. Kemaslahatan itu adalah keberangakatan haji 2021.
Artinya, menolak terkjangkitnya jemaah haji dari virus covid-19 itu lebih diutamakan dari pada keberangkatan haji 2021. Meski berangakat haji ada kemaslahatan mudarat yang ditimbulakannya jauh lebih banyak seperti disebutkan di atas. Menakar kemaslahatan dan kemadharatan dalam satu kebijakan sangat perlu dilakukan.
Beragama Secara Maqasidi
Dalam konteks inilah, kita perlu beragama secara maqasidi. Beragama secara maqasidi di sini adalah beragama dengan selalu melihat tujuan agama itu sendiri. Secara bahasa, maqasid adalah tujuan. Tujuan utama agama itu adalah mengambil kemaslahatan dan menolak kemadharatan.
Tidak diberangkatkan jemaah tahun 2021 adalah bagian dari maqasid itu sendiri. Agama selalu memerintahkan manusia untuk selalu menjaga lima prinsip utama, yakni menjaga kebebasan beragama (hifz al-din), menjaga jiwa (hifz al-nafs), menjaga keturunan (hifz al-nasl), menjaga nalar (hifz al-aql), dan menjaga harta (hifz al-mal).
Logika sederhanya, demi menjaga jiwa/diri, maka jemaah haji tidak diberangkatkan. Demi terjaganya jiwa, maka agama, keturunan, akal, dan harta juga akan terjaga. Sebaliknya, jika jemaah haji diberangkatkan, maka jiwa/diri tidak bisa terjaga, akibatnya, agama, keturunan, akal, dan harta juga tidak terjaga.
Maqasid syariah adalah fitur yang saling terkait. Menegasikan salah satunya, sama dengan menegasikan semua fitur yang ada. Itulah sebabnya kelima unsur di atas disebut sebagai al-kulliyah al-khamsah, lima prinsip utama dalam agama.
Bahkan dalam agama disebutkan, sesuatu yang semula haram bisa dikerjakan oleh manusia demi menjaga jiwa dari bahaya. Memakan daging babi atau virus yang mengandung babi misalnya, jika dalam kondisi darurat dan itu membahayakan jiwa manusia, maka danging babi dan virus yang mengandung babi boleh dikonsumsi sekadar untuk menjaga diri dari mara bahaya.
Hal yang sama dengan pembatalan haji. Demi menjaga jiwa, bukan hanya jiwa jemaah tetapi jiwa anak bangsa, maka keberangkatan tahun ini boleh saja ditunda. Tahun depan, jika kondisi sudah stabil, tentu pemerintah akan memberangkatkan jemaah haji. Ala kulli hal, kebijakan ini atas dasar untuk menjaga keselamatan bersama.