Timur Tengah atau Arab yang pernah menjadi episentrum peradaban Islam dan Dunia kini terlihat “kacau”. Konflik internal maupun eksternal tak kunjung reda di jazirah yang kini terbelah menjadi 16 negara. Perselisihan telah eksis sejak 14 abad silam. Berawal sebatas tribalisme hingga konflik aliran dan agama, bara api terus menyala sepanas terik Matahari yang memayungi padang pasir.
Sebelum terkonsolidasi dalam payung agama (Islam), strata hukum dan sosial dibangun berdasar sistem tribalisme. Distribusi wewenang sosial mengacu pada kasta suku. Suku terkuat dalam segi kualitas dan kuantitas, dibuktikan lewat ekonomi dan perang, adalah pemimpin masyarakat Arab yang diakui. Tidak cukup sampai di situ, kasta suku pun terbagi oleh klan-klan yang menunjukkan kontribusi nenek moyang di masa lalu.
Sistem kesukuan menuntut pada solidaritas dan tanggung jawab bersama. Setiap anggota suku merasa wajib membela anggota lainnya. Pertikaian orang per orang berakibat pada konflik dan perang suku. Hegemoni suku tak terelakan. Perbudakan adalah konsekuensi logis dari suku terkalahkan.
Wilayah Arab masa lalu terbelah dua teritori imperium besar dunia: Byzantium (Romawi) dan Persia. Selain daratan Eropa, Romawi berkuasa atas sebagian Timur Tengah saat ini: Palestina, Syiria, Mesir, dan Turki. Sementara Persia menguasai seluruh wilayah Mesopotamia, Irak, Iran, hingga ke negara-negara Balkan (Afghanistan, Kazakhstan, Uzbekistan, dan lain-lain). Hanya wilayah yang kini menjadi Saudi Arabia lah yang bebas dari kooptasi dua adikuasa dunia itu.
Namun, dua imperium besar tadi tak berkepentingan menciptakan struktur hukum dan sosial masyarakat. Mereka hanya memperlakukan kawasan Timur Tengah sebagai “negara boneka” untuk memperkuat dominasi dan pengamanan jalur dagang. Romawi bahkan menambahkan visi ekspansinya dengan Gospel, menyebarkan agama. Kegemaran orang-orang berperang justru dimanfaatkan untuk penguatan batas teritori dan pengaruh imperium.
Perubahan besar terjadi lewat kehadiran Muhammad dan Islam. Kala itu, Muhammad yang asli Arab memainkan peran sosiologisnya. Hukum dan visi bernegara dibakukan dalam bentuk konstitusi negara. Dengan cepat, Timur Tengah berubah minal qabilah ilaa-ad daulah, dari kesukuan ke kehidupan bernegara.
Warisan bernegara Muhammad diikuti para pengikutnya setelah kewafatannya. Era itu merupakan awal konsolidasi seluruh wilayah Timur Tengah ke dalam satu negara besar berdasarkan agama. Berabad setelahnya, semangat integrasi wilayah berkobar di dada orang-orang Arab yang sebelumnya nomadik. Para Khalifah, Amirul Mukminin, Sulthan dari berbagai dinasti saat itu berhasil mengintegrasikan wilayah Timur Tengah yang sebelumnya berada di tangan Romawi dan Persia, bahkan hingga ke benua Eropa dan Asia.
Sejumlah dinasti besar dan dinasti kecil (mamalik) pernah menduduki wilayah ini. Dimulai dari masa al-Khulafa al-Rasyidun sepeninggal Muhammad yang direbut oleh dinasti Umayyah sejarah politik Arab dimulai. Dinasti Abbasiah, Thulun, Iksidiyah, Hamdaniyah, Tahiriyah, Saffariyah, Samaniyah, Ghaznawi, Buwaihi, Saljuk, Umayyah II, Murabithun, Muwahhidun, Fatimiyah, Zangi, Nuridiyah, Ayyubiyah, Mamluk, Mamluk Bahri, Mamluk Burji, hingga Ottoman Turki turut mengawal perjalanan bangsa ini selama 13 abad.