History of The Arabs: Upaya Memahami Konflik Timur Tengah (2)

History of The Arabs: Upaya Memahami Konflik Timur Tengah (2)

- in Pustaka
3660
0

Iklim politik dunia Arab selalu panas. Transisi kekuasaan dari seorang Khalifah, Sulthan, maupun dari dinasti ke dinasti lain nyaris tak pernah berjalan mulus. Konflik yang melibatkan elit tertentu maupun yang memanfaatkan mobilisasi massa terus mewarnai sejarah. Bahkan, konflik itu langsung terasa sesaat setelah meninggalnya Muhammad, panutan mereka.

Konflik peralihan dinasti pertama kali terjadi saat Khalifah keempat sepeninggal Muhammad, Ali bin Abi Thalib. Muawiyah sang pendiri dinasti Umayyah kala itu menjabat Gubernur Syam (Suriah) bertekad mendirikan monarki di tanah Arab. Visi itu ia tumpahkan dalam bentuk perang. Konflik berkepanjangan memakan korban. Ali sebagai pemimpin sah tewas oleh penyusup saat hendak ke masjid. Muawiyah pun mulus memainkan manuver politiknya.

Sejarah berulang kurang dari seabad kemudian. Dinasti Umayyah yang didominasi oleh orang-orang keturunan Abu Sufyan ayah Muawiyah rontok secara militer oleh kekuatan Bani Abbas, keturunan Abbas. Pendiri dinasti Abbasiah, Abu Mansur, dijuluki dengan al-Saffah, sang penumpah darah. Julukan itu diberikan padanya lantaran sikap dinginnya saat melakukan eksekusi kepada seluruh keturunan dan kroni dinasti Umayyah.

Peralihan kekuasaan dari satu penguasa ke penguasa lain juga tak luput dari intrik kekerasan. Pembunuhan yang dilakukan seorang saudara (adik atau kakak) kepada saudaranya yang lain, keponakan terhadap paman, selir meracuni Sulthan, bukan hal aneh dalam sejarah kekuasaan Arab. Semua dilakukan untuk mempercepat proses pemahkotaan.

Sejarah Arab juga diwarnai konflik ideologi keagamaan yang melibatkan orang banyak. Paham keagamaan tertentu berupaya untuk menjadi madzhab negara. Sikap keras diperlakukan bagi mereka yang tidak patuh pada madzhab yang direstui negara. Hal tersebut terlihat pada konflik Muktazilah, satu aliran rasional dalam Islam, saat memaksakan pemahamannya kepada warga Arab. Demikian pula dengan Syiah, yang kemudian hingga hari ini dilabelisasi sesat.

Sepanjang sejarah konflik pun terjadi dengan komunitas eksternal Arab, seperti Romawi, Persia, Mongol, Inggris, Perancis, Italia, dan negara barat modern lainnya. Hingga abad 20 ini, Afghanistan, Irak, Libya pernah berkonflik dengan negara-negara barat sekutu Amerika Serikat.

Memahami konflik Arab memang tidak mudah, karena melibatkan banyak aspek seperti sejarah dan sosiologi. Itulah urgensi nyata buku ini. Pembaca diajak untuk memahami Arab secara utuh. Aspek agama, budaya, tradisi, dan politik hanya bisa didapat dari pemahaman sejarah. Perang saudara di Suriah saat ini, tak bisa dipahami sebatas konflik pemerintah dan oposisi. Di sana terekam pula konflik Syiah (rezim Asad) yang bersekutu dengan Iran dan Libanon (Hizbullah) untuk mendirikan “imperium Persia” baru di Timur Tengah. Demikian pula Palestina, yang merupakan konflik bawaan dari perang dunia pertama yang membagi mandat kolonial Inggris dan Perancis di wilayah Timur Tengah.

Namun demikian, konflik politik di masa lalu tak menyurutkan aktifitas intelektual dalam peradaban Arab yang pengaruhnya meliputi wilayah Asia, Afrika, dan Eropa ini. Ilmuwan dan pemikir Timur Tengah berabad lamanya memberi kontribusi peradaban dunia, jauh sebelum Barat memasuki abad pencerahan: renaissance. Fakta yang tak mungkin dihindari.

Sejumlah ilmuwan Arab seperti Al-Razi (dokter dan filosof), Al-Kindi dan Al-Farabi atau Ibnu Sina (ahli musik dan filosof), Al-Khawarizmi (matematika dan Astronomi) dan ribuan nama lain dari beragam disiplin ilmu tercatat sejarah yang hingga kini temuannya masih dipelajari dan digunakan. Tradisi intelektualitas itu tetap terjaga berkat sikap politik para khalifah dan sulthan yang memelihara tradisi keilmuan lewat sekolah-sekolah. Dalam sejarah Arab, kehancuran sebuah dinasti biasanya didahului oleh kemunduran perhatian penguasa terhadap dunia pendidikan.

Hal tersebut justru jauh berbeda dengan konflik politik dunia Arab modern. Dunia Arab dikenal sebagai pusat pendidikan Islam di seluruh dunia. Konflik panjang yang kini makin meluas di Timur Tengah membuat sejumlah lembaga pendidikan Islam terkemuka stagnan. Mesir dengan Universitas Al-Azhar, Libya dengan Universitas Khadafi, Irak dengan Universitas Baghdad, menjadi contoh kehancuran peradaban Islam di bidang keilmuan akibat konflik. Belum lagi kehancuran sejumlah situs bersejarah di Damaskus dan Baghdad yang merupakan bekas Ibukota Arab Islam. Akankah konflik itu segera berakhir?

Facebook Comments