Pandemi Covid-19 yang berjalan sekira 16 bulan ini telah membuka kedok; siapa yang benar-benar berjuang demi kemanusiaan dan siapa yang hanya berperan sebagai provokator dan penumpang gelap. Sejak pandemi Covid-19, pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan. Salah satunya ialah dengan melakukan pembatasan sosial dengan berbagai tingkatan. Mulai dari pembatasan sosial berskala besar, mikro hingga darurat seperti diberlakukan saat ini.
Dinamika kebijakan pemerintah dalam mengatasi pandemi ialah pengejawantahan dari filosofi “rem dan gas” yang dipakai pemerintah sejak virus corona pertama kali merebak di Indonesia. Rem darurat sperlu ditarik ketika angka kasus positif sudah melonjak drastis dan fasilitas kesehatan kewalahan menampung pasien. Sebaliknya, ketika grafik penularan mulai melandai, maka pembatasan pun dilonggarkan demi agar perekonomian bisa kembali bergeliat.
Ironisnya, di lapangan kebijakan pemerintah mengatasi pandemi dengan filosofi “rem dan gas” ini kerap dipelintir dan ditunggangi oleh para provokator dan penumpang gelap. Setidaknya ada tiga ciri untuk mengidentifikasi para provokator dan penumpang gelap pandemi.
Pertama, mereka gemar menyebarkan hoaks tentang pandemi. Antara lain yang paling populer ialah hoaks bahwa pandemi hanyalah rekayasa, corona tidak benar-benar ada dan hanya manipulasi media dan negara. Belakangan, gencar pula penyebaran hoaks ihwal vaksin Covid-19 dengan beragam narasi. Seorang tokoh agama terkenal di Jawa Tengah bahkan menyebut vaksinasi covid-19 sebagai ajang pembantaian massal. Ia juga menyebut vaksin merupakan senjata China untuk menjajah Indonesia.
Kedua, mereka selalu memprovokasi masyarakat agar tidak percaya lagi pada pemerintah. mereka juga rajin mengadu-domba masyarakat dan pemerintah melalui pembingkaian (framing) isu tertentu. Misalnya dengan menyebarkan tudingan bahwa pemerintah sengaja memberlakukan pembatasan sosial untuk menghalangi umat Islam beribadah di masjid.
Ketiga, mereka selalu menghasut publik agar membangkang pada aturan pemerintah dengan menjadikan isu ekonomi sebagai senjatanya. Kaum provokator dan para penumpang gelap pada dasarnya tidak pernah benar-benar memperjuangkan kepentingan masyarakat. Sebaliknya, mereka mengkapitalisasi kesulitan ekonomi dan finansial masyarakat itu untuk kepentingan jangka pendek, yakni mendelegitimasi pemerintahan yang sah.
Melawan Provokasi di Masa Pandemi
Para provokator dan penumpang gelap ini tidak pernah benar-benar bekerja mengatasi pandemi. Ketika pemerintah berjibaku menegakkan kebijakan pembatasan sosail agar pandemi terkendali, mereka sibuk melontarkan fitnah pemerintah menyusahkan rakyat kecil. Ketika fasilitas kesehatan kewalahan menangani pasien, mereka berkoar bahwa itu bukti ketidakbecusan pemerintah. Kini, ketika masyarakat kelas bawah menjerit karena kesulitan ekonomi, mereka justru mengajak untuk membangkang.
Maka, tepat kiranya menyebut mereka sebagai provokator dan penumpang gelap. Mereka tidak memberikan sumbangsih apa pun, alih-alih mengeruhkan suasana dengan sikap provokatifnya. Mereka berlagak membela rakyat, padahal tidak lebih dari pahlawan kesiangan. Mereka ialah benalu bagi bangsa yang tengah berjuang melawan pandemi.
Mengindentifikasi ciri provokator dan penumpang gelap pandemi ini penting sebagai langkah awal menangkal setiap gerakannya. Seperti kita tahu, propaganda provokatif mereka bergaung kencang di media sosial. Mereka benar-benar menjadikan kanal media sosial sebagai alat untuk mengamplifikasi gerakan provokatifnya. Melalui beragam platform media sosial mereka menyuarakan hasutan pembangkangan publik pada pemerintah.
Kini, tugas kita di masa pandemi ini bertambah lagi. Selain urusan kesehatan dan ekonomi, kita juga berkewajiban menjaga stabilitas politik. Kuncinya ialah dengan mengidentifikasi dan menangkal sedini mungkin segala bentuk geliat provokator dan penumpang gelap yang mengkapitalisasi isu pandemi demi kepentingan sesaat. Di saat yang sama, kita perlu menjaga kondusifitas situasi sosial dan membangun kesadaran bersama ihwal kepatuhan terhadap aturan pemerintah.
Pembatasan sosial berwujud PPKM Darurat (Level 3-4) yang Minggu lalu resmi diperpanjang pemerintah hingga tanggal 2 Agustus ialah upaya pemerintah mengendalikan pandemi. Pengendalian pandemi sangat penting untuk membangkitkan kembali kehidupan normal. Tanpa kesadaran untuk mematuhi aturan pemerintah, bisa dipastikan pandemi ini akan bertambah panjang. Itu artinya sektor ekonomi dan aspek kehidupan lain pun akan semakin lama bangkit.