Ada satu pertanyaan penting, kenapa sebagian di antara kita justru merasa bangga dengan pranata syariat bernegara hasil (produk impor)? Layaknya ideologi transnasional yang condong terarah ke dalam praktik kezhaliman, merusak dan memecah-belah?
Padahal, kita memiliki “pranata syariat” bernegara yang jauh lebih mengedepankan dimensi etis rahmatan lil alamin, penuh cinta-kasih, bersaudara dan memanusiakan manusia lain. Sebagaimana pranata syariat bernegara itu terbangun, berdasarkan hasil ijtihad para ulama bangsa.
Bagaimana secara otoritatif, mereka berupaya mengkaji Al-Qur’an dan ass-sunnah dengan sedetail serta se-komprehensif mungkin, untuk mengoptimalkan prinsip “Baldatun tayyibatun warabun ghafur”. Hal demikian dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai aspek, situasi dan kondisi untuk bisa menghasilkan sebuah (ijtihad hukum) syariat Islam yang etis bagi NKRI ini.
Pun, jika kita telusuri, pranata syariat bernegara yang kita miliki, sesungguhnya berupaya mengorelasikan peranan etis eksistensi Nabi Muhammad SAW di muka bumi ini. Bagaimana relevansi ketika beliau diutus ke muka bumi untuk membawa rahmat, memperbaiki akhlak manusia, penuh cinta-kasih, memperjuangkan kemanusiaan dan meniscayakan jalan peradaban.
Jadi, ini menjadi satu kebenaran penting bagi kita. Kenapa kita perlu memperkokoh pranata syariat bernegara yang telah kita miliki sejak dulu di negeri ini. Agar, di satu sisi kita meneladani segala sesuatu yang diajarkan Nabi. Di sisi lain, kita tidak akan mudah goyah apalagi terlena dengan ideologi transnasional yang selalu menawarkan “Negara yang sesuai syarat Islam” atau “Tegaknya negara Khilafah” di negeri ini.
Padahal, ujung-ujungnya, ini hanyalah permainan politik identitas yang sengaja dibuat untuk memporak-porandakan negeri ini. Hingga, setelahnya, mereka akan lebih mudah untuk menguasai dan berkuasa di negeri ini. Karena kita ketahui bersama, hal-hal yang berbau syariat Islam, selalu menjadi “umpan politik” identitas umat Islam di seluruh dunia, khususnya di Indonesia.
Karena senyatanya, syariat bernegara seolah hanya bisa “sempurna” jika kita mengikuti dan melakukan sama-persis dengan apa yang tengah terjadi di timur tengah. Layaknya yang ditawarkan oleh ISIS dulu, hingga kelompok milisi Taliban yang kini kembali bangkit di Afghanistan. Bagaimana pranata syariat bernegara versi keduanya seolah lebih mutlak, lebih authentic dan otoritatif berdasarkan Al-Qur’an dan Ass-sunnah.
Padahal, implementasi syariat yang dilakukan oleh kedua kelompok tersebut, yang dijadikan dalil atau konsep bernegara, sejatinya “hanya” interpretasi atau ijtihad pemahaman mereka sendiri. Artinya apa? ini berkaitan dengan cara pandang dan orientasi khusus bagaimana nilai-nilai etis syariat Islam dalam Al-Qur’an dan ass-sunnah tersebut dipahami.
Jelas, segala interpretasi dan pembentukan sebuah hukum dalam bernegara yang sesuai dengan syariat Islam itu, sejatinya tidak akan lepas dari “orientasi politis” dalam pembentukannya seperti apa dan bagaimana. Karena, tidak ada satu-pun di antara kita yang mampu mengklaim bahwa interpretasi dan pemahaman kitalah yang paling otoritatif dan mutlak berdasarkan kebenaran ajaran-Nya.
Artinya apa? ini menunjukkan satu kesadaran penting, bahwa pranata syarat bernegara, sejatinya tidak stagnan atau-pun sempit pada satu kelompok saja yang berhak menginterpretasi dan membuat ijtihad hukum. Sebagaimana para kelompok ekstrimis layaknya ISIS atau bahkan kelompok Taliban itu, bagaimana mereka yang sengaja membuat pranata syariat yang hanya sesuai dengan kemauan dan misi politis kekuasaan yang mereka bangun.
Tentu, hal ini perlu kita jadikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua. Bahwa, apa yang dimaksud dengan pranata syariat bernegara, sejatinya itu tidak lain adalah hasil ijtihad dan pemikiran kita yang berada dalam lingkaran (salah-benar).
Artinya apa? kita semua berhak menginterpretasi dan mengimplementasikan nilai-nilai syariat-Nya untuk membentuk suatu hukum bernegara yang sesuai, relevan, membawa rahmat dan tidak membawa mudharat bagi tatanan kemanusiaan. Karena acuannya secara konstruktif, Al-Qur’an meniscayakan prinsip “baldatun tayyibun warabun ghafur”.
Jadi, selama mampu membangun negara yang baik dan penuh dengan pengampunan Tuhan, hal demikian layak sebagai ijtihad dalam pembentukan pranata syariat tersebut. Sebagaimana di dalam negeri ini, kita memiliki pranata syariat yang tidak mudah membantai, menzhalimi, mendiskriminasi, apalagi melanggar kemanusiaan.
Karena kita memiliki pranata syariat yang condong eksklusif, terbuka, membawa rahmat, penuh cinta-kasih dan mengoptimalkan kemanusiaan. Jadi, semua pranata syariat bernegara yang kita miliki di negeri ini kokoh, niscaya kita tidak mudah goyah dengan ideologi transnasional yang senyatanya, pranata syariat yang dimiliki sangat berpotensi merusak dan memporak-porandakan bangsa ini.