Mengapa ideologi transnasional laku di Indonesia? Apakah tidak ada cara keberagamaan ala Nusantara? Kalau ada, mengapa yang “impor” selalu lebih menarik?
Harus diakui bahwa ideologi transnasional yang mengampanyekan keseragaman, satu warna, dan cara beragama yang kaku dan sempit, sudah menjadi rujukan bagi sebagian anak bangsa.
Meningkatnya intoleransi, kekerasan, dan tindakan radikalisme lainnya, tidak lepas dari menjamurnya paham keagamaan yang diimpor itu. Tindakan yang menegasikan pihak lain adalah ciri utama dari efek negatif ideologi transnasional itu.
Solusi instan yang ditawarkan oleh para ideologi transnasional bahwa apapun masalahnya solusinya adalah syariat Islam tegak, khilafah tegak, mampu membius para generasi milenial yang memang watak generasi ini adalah suka dengan sesuatu yang instan.
Mengapa semuai ini bisa terjadi? Jawabannya adalah bahwa penetrasi ideologi trans-nasional (impor), yang sering diklaim sebagai solusi-alternatif –seperti ideologi khilafah –sejatinya terjadi sebab ideologi Pancasila “kurang” aktual lagi di kehidupan kita. Pancasila hanya sering dijadikan pajangan, seremonial, formalitas, upacara, tetapi tidak membumi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Nilai-nilai Pancasila yang penuh gotong-royong, persatuan, toleran, dan menghargai keberagaman sudah tercerabut dalam kehidupan anak bangsa.Tak berhenti di sini, kebijakan dalam menjalankan Negara sering dilakukan salah arah dan jauh dari semangat Pancasila.
Setidaknya akan terjadi empat Dis jika kita suatu bangsa lupa akan dasar dan falsafah negaranya sendiri. Pertama, dis-orientasi. Yakni salah arah dalam penegakan hukum, kelola negara, dan pengambilan kebijakan. Jika ketiga hal penting tadi salah arah, maka akan muncul yang dis berikutnya.
Kedua, dis-trust. Timbul ketidakpercayaan masyarakat akibat dari salah arah. Masyarakat mulai muak, dan main hakim sendiri pun bermunculan.
Ketiga, dis-obedience, timbulnya pembangkangan terhadap negara. Masyarakat mulai enggan dengan namanya negara, karena negara tidak bisa memenuhi kebutuhan warganya.
Keempat, dis-integrasi, negara pecah, terjadi polarisasi, konflik. Dalam level ini yang ada kekacauan. Tidak ada lagi hukum yang dijadikan aturan bersama.
Kondisi kehidupan, berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat kita, ketika Pancasila “kurang” aktual, belum membumi, dan hanya sekadar pajangan, dengan apik dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk menawarkan ideologi alternatif.
Sebab Pancasila tidak lagi aktual, maka khilafah disodorkan sebagai koentji. Khilafah adalah bak obat manjur yang bisa mengobati segala penyakit dan masalah yang dihadapi masyarakat. inilah yang disebut dengan lorong ideologi alternatif itu.
Artinya, khilafah dengan segala bentuk luarnya bermain dalam lorong-lorong ideologi yang mulai ditinggalkan oleh manusianya sendiri.
Minus Pengamalan Pancasila
Menjauhnya kita dari Pancasila berakibat mendekatnya ideologi impor kepada kepada masyarakat. Para pengusung paham radikal dengan lihai menyasar para anak muda, masyarakat, dan generasi bangsa pada umumnya.
Target utama mereka adalah para anak muda, anak-anak, dan rumah tangga. Sebab ketiga unsur inilah yang jadi pilar tegak tidaknya suatu bangsa nantinya.
Anak muda yang masih punya semangat bergejolak, anak-anak yang masih polos, institusi keluarga yang steril dari pengawasan pemerintah, menjadi sasaran empuk ideologi khilafah.
Pola penyebaran dilakukan lewat pengajian, halaqah, mesjid, mushalla, organisasi, dan paling efektif adalah lewat media sosial. Khusus yang terakhir dilakukan dengan umpan pancing.
Artinya paham radikal dipasarkan begitu aja ke lini massa medsos laiknya seorang pemancing lagi menebarkan umpannya di lautan luas. Siapa yang merespons, itulah yang diindoktrinasi, dan diincar secara massif dan rapi.
Bentuk ajakan dan doktrin yang disebarkan kepada masyarakat antara lain. Pertama, dukungan dan ajakan bergabung dengan khilafah. Ini dengan mudah kita temui –baik secara tersurat maupun tersirat – di sekelilingkita. Para pengusung dan simpatisan khilafah dengan bagus bisa memasarkan khilafaisme itu kepada khalayak umum.
Kedua, anti-demokrasi dan Pancasila. Gerakan ini dilakukan, sebab bagi kelompok radikal, keduanya adalah berhala ciptaan manusia yang tidak mungkin bisa menciptakan kesejahteraan dan keadilan.Yang bisa menciptakan itu, hanyalah sistem Islam yang diambil dari kedua sumber Islam.
Ketiga, mengkafirkan orang lain yang tidak sesuai dengan golongannya. Dalam istilahnya disebut kaum takfirisme. Beda dikit kafir. Tidak sesuai manhaj, kafir. Bertolak belakang dengan tokoh mereka, sesat. Ada pendapat yang tidak mainstream, dibilang perusak akidah.
Keempat, kekerasan atas nama agama yang teraktualasi ke dalam terror yang diklaim sebagai jihad dan panggilan syahid. Inilah puncak dari radikalisme. Bermula dari intoleransi, tidak mau menerima orang lain. Kemudian jadi radikal, ingin mengganti sistem yang ada, dan ujungnya teroris, ingin mengubah itu dengan cara kekerasan.
Strategi Penangkalan
Penetrasi ideologi khilafah –apalagi yang berbentuk radikalisme itu –tidak bisa tidak, harus kita tangkal secara bersama-sama. Gerak lajunya harus dihentikan. Dengan cara apa? Salah satu cara penting itu adalah penguatan wawasan kebangsaan.
Penguatan itu bisa dilakukan dengan cara. Pertama, integrasi agama dan kebangsaan. Pendidikan kita masih terasa ada dikotomi dan jarak yang jauh antara pendidikan agama di satu sisi, dan pendidikan kebangsaan di sisi yang lain. Padahal keduanya adalah satu tarikan nafas.
Harus diajarkan kepada anak-anak, para pemuda, juga keluarga, bahwa beragama sama pentingnya dengan bernegara. Beragama tidak sempurna, jika keberagaman, perbedaan, dan pluralitasbudaya bangsa ini tak dirawat.
Pendidikan agama kita selama ini masih berkutat di seputar ibadah mahdah. Pembumian lewat cinta tanah air, cinta damai, perjuangan memajukan bangsa, masih berjalan secara sporadis.Pendidikan kita harus bisa melahirkan generasi yang agamis sekaligus nasionalis. Agama dan kebangsaan adalah ibarat ikan dengan air.
Kedua, kemanusiaan. Para generasi bangsa harus dibangun pada kesadaran, bahwa kemanusiaan adalah tolak ukur. Segala macam paham, doktrin, ajakan, apapun itu, apabila masih mengorbankan kemanusiaan harus ditolak mentah-mentah.
Kemanusiaan adalah fondasi kita dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ali bin Abi Thalib menyatakan, “jika kita tidak saudara seiman, kita masih saudara dalam kemanusiaan.”
Inilah yang disebut kemanusiaan yang adil dan beradab. Hidup tidak lagi memandang latar belakang: agama, suku, budaya, tradisi, asalkan ia manusia, maka ia harus dihormati, hak-haknya harus dilindungi, darah dan kehormatannya haram dirampas.
Lorong kosong dan sepi sebab kita meninggalkan Pancasila sengaja diambil oleh ideologi khilafaisme dan radikalisme agama harus segara dihentikan. Mari kita bersama-sama menghidupkan kembali di kehidupan sehari-hari, supaya Pancasila tidak hanya teksnya saja.
Dengan demikian, ideologi khilafaisme, radikalisme, dan segala macam ideologi impor tidak bisa masuk ke dalam lorong-lorong kehidupan anak bangsa.