Islam, Kearifan Lokal dan Toleransi

Islam, Kearifan Lokal dan Toleransi

- in Narasi
1171
0
Islam, Kearifan Lokal dan Toleransi

Kemufakatan sekelompok manusia yang dilakukan secara berulang-ulang, turun-temurun dari generasi ke generasi dan telah mentradisi disebut adat. Adat kemudian menjadi nilai dan norma-norma yang harus dipatuhi. Hukum tak tertulis yang mengatur pola hidup suatu komunitas yang hidup bersama. Kemudian, menjadi identitas dan jati diri. Adat yang telah mengakar dan menjadi praktik hidup kemudian diistilahkan dengan kearifan lokal.

Tentang kearifan lokal, Islam sangat mengapresiasinya, bahkan dirumuskan sebagai sumber hukum meskipun tidak disepakati oleh semua ulama. Yaitu, ‘Urf yang berarti istiadat yang telah dikenal dan umum dilakukan dalam suatu komunitas masyarakat tertentu dengan kekhasannya untuk kemaslahatan lokal.

Dengan demikian, sebenarnya Islam sedari dulu telah merumuskan kearifan lokal sebagai dalil yang harus dipatuhi. Hal itu dituangkan dalam kaidah fikih yang berbunyi, “Al ‘Adat al Muhakkamah” atau istiadat sebagai hukum. Mematuhinya berarti pahala dan nyalahinya adalah dosa. Tentu jika kemaslahatan yang diinginkan oleh istiadat tersebut tidak bertentangan secara prinsip dengan nilai-nilai universal agama Islam.

Penjelasan ini menegaskan bahwa merawat kearifan lokal suatu kelompok masyarakat yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam adalah kewajiban kolektif (fardhu kifayah). Apabila tidak ada yang peduli sama sekali, semuanya berdosa.

Salah satu contoh kearifan lokal, masyarakat Sulawesi Utara memiliki filosofi “Sitou Timou Tumou Tou” yang berarti, “Manusia hidup untuk menghidupi sesama”. Filosofi ini ampuh menjadi benteng mengokohkan persaudaraan, nilai-nilai yang terkandung dalam filosofi tersebut menjadi titik temu toleransi yang mengantarkan kepada kehidupan yang harmonis tanpa mempersoalkan agama yang dianut, suku, etnis maupun golongan.

Sejatinya, ini merupakan ejawantah dari ajaran agama Islam yang mewajibkan penganutnya untuk senantiasa menjaga baik-baik “Ukhuwah Basyariah” yang berarti persaudaraan kemanusiaan. Bahwa, manusia harus dihormati dalam kapasitasnya sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Apapun agamanya, suku dan etnisnya, serta berasal dari golongan manapun.

Kehendak ayat al Qur’an (al Hujarat: 13) menginginkan supaya manusia saling kenal mengenal sebab mereka diciptakan dari suku-suku dan bangsa-bangsa yang berbeda. Perbedaan tersebut kehendak Allah yang wajib kita terima. Keragaman merupakan anugrah Allah agar kita saling mengenal, kemudian saling menghormati.

Kearifan Lokal sebagai Benteng

Kearifan lokal seperti di atas, dengan sendirinya telah menjadi benteng kuat yang bisa melindungi seseorang dari doktrin atau ajaran agama tertentu yang memaknai kebenaran hanya miliknya. Contoh nyata adalah ideologi transnasional yang menghembuskan kebencian, erupsi ayat atau hadis untuk meraih tujuan tertentu, melegalkan keonaran dan pembunuhan, dan lain-lain. Dengan filosofi “Manusia hidup untuk menghidupi sesama” ideologi transnasional tidak akan laku sebab makna “menghidupi sesama” menegaskan untuk menjaga kehidupan orang lain tanpa melihat latar belakang.

Satu kearifan lokal di atas, juga karifan-kearifan lokal yang lain yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia telah terbukti dari dulu mampu merekatkan persaudaraan antar sesama. Sehingga Indonesia yang menyimpan keragaman di dalamnya telah mampu menciptakan kerukunan, persaudaraan dan kedamaian.

Untuk itu, filosofi dan nilai hidup yang sangat memukau yang dimiliki masyarakat Indonesia sedari dulu itu harus selalu dirawat. Karena disamping tidak bertentangan dengan agama sebab maslahatnya sama dengan kehendak maslahat agama, juga menumbuhkan sikap toleransi yang menjadi kekuatan pondasi keutuhan NKRI dan benteng kokoh yang menghalangi pengaruh ideologi-ideologi penghancur umat manusia, seperti ideologi transnasional.

Facebook Comments