Telah maklum, adanya negara dalam Islam bukan tujuan (ghayah) melainkan hanya sebagai sarana (wasilah). Karena itu, dalam dua sumber primer hukum Islam, yakni al Qur’an dan hadits, tidak disebutkan secara sharih (jelas) tentang sistem negara tertentu. Tentang sistem negara adalah pilihan atau ijtihad manusia. Selama sistem negara yang dianut tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam dan membawa kemaslahatan umat, maka apapun nama sistem itu sah-sah saja.
Dengan demikian bisa dipahami, propaganda khilafah yang terus bergulir di negeri ini bukanlah dakwah atau perjuangan Islam, melainkan gerakan politik kekuasaan. Kenapa khilafah yang dipilih? Untuk meraih dukungan dan simpati umat Islam sebagai penduduk mayoritas di Indonesia.
Sistem kekhilafahan Islam yang dulu sempat menjadikan umat Islam berjaya dengan peradabannya yang maju dijadikan alat untuk mengelabuhi umat Islam. Segala kerunyaman yang ditemui saat ini seperti anjloknya ekonomi, lemahnya umat Islam dan termasuk isu resesi ekonomi tahun 2023 nanti hanya bisa diatasi dengan “khilafah”. Propaganda khilafah sebagai satu-satunya solusi umat seakan-akan ingin mengembalikan masa keemasan Islam tempo dulu yang secara kebetulan memakai sistem pemerintahan khilafah.
Namun, sekali lagi, di era negara bangsa seperti saat ini memaksakan sistem khilafah justru akan menambah kerunyaman itu sendiri. Sebab, ada pengingkaran terhadap pluralisme di mana hampir semua negara di dunia saat ini tidak hanya dihuni oleh umat Islam, melainkan multi agama. Di samping itu, Islam sendiri telah memberikan kebebasan kepada umatnya untuk memakai sistem pemerintahan apa saja dengan catatan undang-undang yang diapakai tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Paradoks Propaganda Khilafah
Gencarnya propaganda khilafah di Indonesia sejatinya bukan keinginan umat Islam melainkan kepentingan sekelompok orang yang memanfaatkan label Islam untuk kepentingan politik kekuasaan. Tujuannya tidak lain untuk merobohkan NKRI. Mereka ingin melakukan gerakan politik atas nama agama, tetapi sisi lain tidak mau mengakui sistem politik yang ada.
Hal ini terbukti dengan keengganan mereka untuk ikut serta dalam pemilu. Menurut kelompok pengusung khilafah pemilu dan demokrasi adalah sistem yang haram karena mendasarkan diri pada kedaulatan rakyat, padahal kedaulatan itu mutlak milik Allah. Itu kata para pengasong khilafah.
Lalu untuk apa mereka begitu gencar mengkampanyekan khilafah? Tujuannya untuk membusukkan pemerintah yang sah dan memancing ketegangan sosial. Begitu mereka berhasil membuat masyarakat terbelah, sesama penduduk Indonesia berhadap-hadapan sebagai musuh dengan senjata terhunus, lalu terjadi perang, mereka akan segera mengambil alih kekuasaan.
Begitulah cara mereka melumat dan meluluh lantakkan negara-negara Timur Tengah dan Afrika. Sebuah strategi politik berdarah yang sangat dilarang oleh Islam namun dipraktekkan oleh mereka di balik topeng khilafah.
Sisi Kelam Khilafah
Berikutnya, sistem khilafah tidak boleh dipahami sebagai sebuah sistem negara yang menjamin suatu tatanan kehidupan yang makmur, damai dan berkemajuan. Benar, era keemasan Islam dicapai bersamaan dengan sistem khilafah. Tapi, sejarah hitam pada era khilafah-khilafah Islam harus diakui juga.
Sebagai contoh, Khalifah kesepuluh Dinasti Abbasiyah, al Mutawakkil, terbunuh secara tragis akibat konspirasi perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh para jenderalnya sendiri dengan persetujuan anaknya sendiri, al Muntashir. Anak menyetujui pembunuhan ayahnya yang menjabat sebagai khalifah. Itu terjadi di sistem khilafah.
Juga, Imam Malik pernah mengeluarkan fatwa boleh memberontak terhadap Khalifah al Manshur karena kekejamannya. Alhasil, gubernur Madinah menangkapnya dan dihukum cambuk. Ini juga terjadi pada masa di mana sistem khilafah dipakai. Al Manshur adalah seorang khilafah yang sangat kejam. Bukan hanya Imam Malik yang mendapatkan siksaan, Imam Abu Hanifah juga demikian. Penyiksaan juga dialami oleh Sufyan al Tsauri dan Abbas bin Katsir.
Pada masa kekhalifahan Bani Umayyah, tercatat al Walid bin Yazid bin Abdul Malik, Khalifah yang dijuluki Fir’aun nya umat Islam. Apa ia yang ia lakukan tidak hanya mengangkangi nilai-nilai Islam, akan tetapi melampaui itu semua. Imam Suyuthi mengatakan, ia adalah orang fasik, suka minum khamar dan senang melanggar syariat Islam.
Tiga contoh di atas cukup sebagai bukti, tidak selamanya sistem khilafah mencerminkan keadaban dalam politik. Peristiwa-peristiwa berdarah sering terjadi di masa pemerintahan khilafah-khilafah Islam.
Dengan demikian, ada warna hitam dan putih dalam sejarah kekhilafahan masa lalu. Kekhilafahan yang khilaf seringkali terjadi dengan noda hitamnya. Karenanya, mengatakan sistem khilafah sebagai satu-satunya solusi keumatan adalah mimpi belaka. Segalanya tergantung pada moralitas dan seberapa kuat seorang pemimpin mewakafkan diri untuk menjalankan dua misi sebagai pemimpin sebagaimana dikehendaki oleh Islam. Yakni, untuk menjaga agama dan mengatur dunia supaya lebih beradab, maju dan penuh keadilan.
Maka, kalau ingin mengulang kejayaan umat Islam masa lalu, tidak perlu ngotot untuk merubah sistem negara demokrasi di Indonesia dengan sistem pemerintahan ‘ala khikafah. Yang penting dilakukan adalah mewarnai politik Indonesia dengan nilai-nilai ajaran Islam. Kedamaian menjadi kunci utama untuk menciptakan peradaban yang maju, mewujudkan kesejahteraan dan keadilan.