Perhelatan G20 yang diadakan di Bali menuai kesuksesan luar biasa. Pujian tidak hanya datang dari dalam negeri tetai juga dari luar negeri, bahkan para pemimpin negara. Indonesia tidak hanya sukses menggelar denga naman dan lancar, tetapi secara subtansi dan tujuan bisa tercapai.
Namun, di tengah hingar binger kesuksesan itu selalu ada kata nyinyir yang selalu muncul. Salah satu yang sempat viral adalah perihal hinaan yang dilakukan oleh netizen terhadap Ibu Negara, Iriani Jokowi. Sontak masyarakat dibuat geram dengan hinaan terhadap penampilan ibu negara tersebut.
Ternyata hinaan itu terus berlanjut meskipun satu pelaku telah meminta maaf. Ditemukan akun lain dengan nada hinaan dengan topik yang berbeda-beda. Kenapa hal ini muncul? Sebuah candaan? Atau kritik? Atau hanya keusilan?
Sejatinya masyarakat sudah sangat belajar dari berbagai kasus ketidakcerdasan bermedia sosial yang berujung penjara. Jeratan UU ITE akibat ceroboh dalam bermedia sosial telah banyak memakan korban. Tetapi mengapa arus hinaan dan cacian di media sosial kerap muncul bahkan kepada sosok seperti Presiden dan Istri Presiden sekalipun. Apakah kurang literasi?
Jika mengatakan bahwa kurangnya literasi sebagai akar dari kecerobohan orang dalam menggunakan media sosial rasanya kurang tepat. Masyarakat tentu memiliki literasi yang bagus dalam persoalan teknologi dan informasi jika sudah belajar dari berbagai kasus yang ada. Nampaknya, bukan sekedar kurangnya literasi, tetapi sejatinya yang menjadi salah satu penyebab seseorang jatuh dalam ujaran kebencian, provokasi dan hasutan di media sosial adalah karena belum mampu bebaskan diri dari narasi kebencian.
Ketidaksukaan dalam konteks yang berbeda pandangan politik, agama, etnis dan budaya memang kerap melahirkan rasa benci. Rasa benci inilah yang mendorong seseorang tidak memiliki prestasi, tetapi suka menebar sensasi. Apa yang disampaikan bukan berdasarkan profesi, tetapi murni kebencian dan ketidaksukaan terhadap seseorang berdasarkan pilihan sadar.
Karena itulah, narasi kebencian ini menjadi salah satu parameter penyakit di media sosial yang disebut dengan ujaran kebencian (hate speech). Ujaran kebencian menjadi salah satu momok yang banyak menjerat mereka yang berpendidikan sekalipun atau pun mereka yang sudah pakar dalam bidang teknologi dan informasi sekalipun.
Berbagai kasus ini menjadikan diri kita mestinya belajar tentang bagaimana bersikap cerdas dan bijak dalam bermedia sosial. Cerdas berkaitan dengan kecakapan kita dalam mengetahui aturan, norma dan etika bermedia sosial. Sementara, bijak merupakan sikap kematangan dalam diri untuk tidak mengumbar informasi yang menyesatkan diri atau orang lain atau memangkas kebencian terhadap yang berbeda.
Varian Narasi Kebencian yang Berujung Jeruji Besi
Sejatinya, narasi kebencian itu adalah pangkal pokok yang menjadikan seseorang kehilangan akal sehat. Tidak peduli tingkat intelektual yang dimiliki atau titel akademis yang dimiliki, ketika terinfeksi virus kebencian, logika menjadi mati. Ketika logika mati, narasi pun tidak bisa dikontrol yang sepenuhnya menjadi pengatur adalah emosi.
Namun, memang tidak bisa dipungkiri narasi kebencian itu memiliki banyak latarbelakang motif. Pertama, ada narasi kebencian yang secara konsisten dilancarkan seputar kebencian terhadap negara dan pemerintah. Dalam kasus ini, berbeda dengan konteks pandangan kritis. Narasi yang dikeluarkan tidak berada pada tataran logis, tetapi apapun sistem negara dan kebijakannya adalah salah.
Berlindung dalam tameng demokrasi dan keterbukaan kritik, narasi kebencian mudah terlihat dari beberapa tokoh yang disambut dengan riang gembira oleh para supporter militannya. Yang terjerat hukum kadang bukan tokohnya tetapi para pendukung yang sejatinya tidak bisa apa-apa dan tidak mendapatkan apa-apa. Mereka martir dari korban narasi kebencian.
Kedua, narasi kebencian yang secara konsisten mengalir dalam menyerang pandangan keagamaan dan aliran yang berbeda. Dalam kasus ini, tidak hanya monopoli satu agama tetapi telah dilakukan oleh oknum beragama dari masing-masing agama. Menyerang dan mencaci keyakinan lain seolah serangan seperti itu akan menebalkan imannya sendiri.
Ketiga, ada pula kebencian yang secara konsisten dan mulai menyeruak karena perbedaan pandangan politik. Bekas kontestasi politik terus dirawat sehingga polarisasi itu tidak kunjung padam. Saling serang berdasarkan kebencian mudah menyulut emosi masyarakat dan para pendukungnya. Lagi-lagi bukan elite politiknya yang bermasalah dengan hukum tetapi para martirnya yang terkena kasus hukum.
Keempat, narasi kebencian yang melibatkan irisan perkawinan antara perbedaan politik dan perbedaan keyakinan. Narasi keempat ini memang populer disebut dengan narasi politik identitas yang banyak memakan tumbal masyarakat bawah. Kolaborasi kepentingan politik dengan menjual identitas keagamaan mudah laku dan menyulut emosi netizen.
Karena itulah, berhati-hati dalam bermedia sosial bukan sekedar membutuhkan kemampuan literasi, tetapi juga menjaga diri dari narasi kebencian. Semua bermula karena kebencian sehingga memunculkan narasi yang tanpa kontrol. Jika ingin selamat di media sosial, selamatkan otak dan pikiran kita dari kebencian.