Vaksin Intoleransi Itu Bernama Pola Pikir Moderat

Vaksin Intoleransi Itu Bernama Pola Pikir Moderat

- in Narasi
317
0
Vaksin Intoleransi Itu Bernama Pola Pikir Moderat

Indonesia adalah negeri yang dianugerahi Allah SWT dengan keberagaman dalam berbagai hal. Agama, budaya, suku dan bahasa yang beraneka rupa menjadikan Indonesia sebagai negeri yang kaya, corak multikultur yang unik yang tidak dimiliki oleh bangsa lain di dunia.

Islam sebagai agama rahmatan lil alamin memberikan rambu yang jelas dalam pengelolaan keragaman. Pengelolaan ini bertujuan agar keragaman dapat dirasakan manfaatnya, menjadi keunikan dan kekuatan bagi seluruh lapisan masyarakat. Tanpa pengelolaan yang arif dan bijak, keragaman yang sejatinya adalah potensi baik dapat disalahgunakan menjadi alat tempur untuk mengoyak persatuan dan keamanan sosial,

Ada satu hal yang sering digunakan dalam rangka menepis realita keberagaman kita sekaligus untuk memecah persatuan bangsa. Satu hal itu berwujud narasi – narasi intoleran terhadap perbedaan. Khususnya dalam masa pandemic ini, Narasi intoleransi terselip dalam banyak berita palsu (hoaks) yang mengandung unsur provokasi dan ujaran kebencian. Intoleransi sendiri sebenarnya telah lama menjadi musuh dalam selimut. Khususnya ketika terciptanya momentum perkawinan antara politik identitas dengan sentiment keagamaan, intoleransi menjadi semakin subur dan mengular ke dalam berbagai isu sosial yang mencuat.

Jajak pendapat LSI pada tahun 2018 mengungkapkan hasil yang jauh dibawah harapan. Dari 1520 responden yang terlibat, 59 persen responden muslim mengaku keberatan dipimpin oleh non-muslim. 46 persen responden menolak keberadaan tempat ibadah non-muslim di lingkungan tempat tinggalnya. 34 persen responden mengaku keberatan bertetangga dengan penganut agama non-muslim. Dengan hasil tersebut, secara rata rata, jumlah responden yang terkategorikan intoleran mencapai 52 persen. Dari hasil jajak pendapat ini, dapat ditarik garis simpul bahwa intoleransi telah menjadi ancaman serius, bom waktu yang kapan saja terpicu akan menciptakan letupan yang menghancurkan kerukunan umat beragama,

Ajaran Islam memandang intoleransi sebagai sikap yang berlebihan. Dan berlebihan dalam beragama itu mengarahkan pengikutnya menjadi bersifat ekstremis. Beragama dengan cara pandang seperti ini dapat menimbulkan disharmoni dan konflik sosial. Tentu islam bukanlah agama yang mengajarkan umatnya untuk memusuhi dan mencurigai satu sama lain. Sebaliknya, Islam mengajarka umatnya untuk mengedepankan akhlak yang mulia dan nilai nilai kemanusiaan dengan begitu Allah SWT mengganjar amal kemanusiaan itu dengan balsan surga. Sebagaimana hadits Nabi Muhammad berikut:

أَوْحَى اللهُ إِلَى إِبْرَاهِيْمَ يَا إِبْرَاهِيْمُ حَسِّنْ خُلُقَكَ وَلَوْ مَعَ الْكُفَّارِ تَدْخُلْ مَدَاخِلَ الْأَبْرَارِ

“Allah menyampaikan wahyu kepada Nabi Ibrahim As: ‘Perbaikilah budi pekertimu meskipun terhadap orang-orang non-Muslim, maka engkau akan masuk (surga) tempat tinggal orang-orang yang baik’.” (HR. Al Hakim at Tirmidzi)

MODERASI BERAGAMA UNTUK MENANGKAL INTOLERANSI

Ancaman intoleransi sejatinya dapat ditangkal dengan cara beragama secara moderat. Kata moderat dalam bahasa Arab dikenal dengan al-wasathiyah sebagaimana terekam dari QS.al-Baqarah [2] : 143. Kata al-Wasath bermakana terbaik dan paling sempurna. Al Wasath memiliki padanan makna dengan kata tawassuth (tengah-­tengah), i’tidal (adil), dan tawazun (berimbang).

Moderat dalam beragama dapat dimaknai sebagai cara beragama yang proporsional. Seorang mukmin yang menerapkan etika moderasi beragama selalu mengedepankan prinsip keadilan dan kebaikan.

Misalnya dalam memahami teks agama, muslim moderat tidak serta merta memahami secara tekstualis tanpa menganalisa konteks di balik suatu permasalahan yang dikaji. Muslim moderat menggunakan nalar aqli sebagai salah satu komponen pembedah dalam memahami satu teks sesuai dengan prosporsinya. Namun demikian, muslim moderat juga tidak mendewakan pendekatan akal sehingga menegasi segala permasalahan yang tak bisa dijangkau oleh nalar. Muslim moderat berada di tengah tengah, dapat menerapkan berbagai variable sesuai dengan peran dan komposisinya. Sehingga dalam memahami suatu teks, muslim moderat tidak condong tekstualis namun juga bukan bagian dari liberalis. Kedua variable itu digunakan sesuai dengan porsi dan fungsinya. Kritis dengan pedoman ketauhidan.

Dalam melihat dan menyelesaikan satu persoalan, Islam moderat mencoba melakukan pendekatan kompromi namun bukan berarti lembek dalam bersikap. Muslim moderat luwes namun tegas dalam menyikapi sebuah perbedaan, baik perbedaan agama ataupun mazhab, Islam moderat mengedepankan sikap toleransi, saling menghargai, dengan tetap meyakini kebenaran keyakinan masing-masing agama dan mazhab, sehingga semua dapat menerima keputusan dengan kepala dingin, tanpa harus terlibat dalam aksi yang anarkis.

Islam moderat berprinsip pada inklusifitas dan keterbukaan terhadap berbagai macam pandangan. Sikap moderat tidak dapat terlaksana jika seseorang beragama merasa paling benar dan menganggap yang berbeda darinya itu salah dan pasti masuk neraka. Muslim moderat tidak bertindak seperti tuhan dan tidak berani menghakimi sesuatu, karena muslim yang moderat memahami itu adalah ranah Allah SWT.

Prinsip keadilan dan kebaikan menjadi pondasi dalam menjalankan moderasi beragama. Adanya prinsip ini dalam diri seorang muslim, memungkinkan seseorang untuk tidak hanya bersikap toleran tetapi juga memiliki keterbukaan diri untuk terlibat dalam kerjasama demi meraih kebaikan bersama khususnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai bagian dari warga negara Indonesia yang dianugerahi Allah sebagai baldatun thaoyyibah wa robbun ghafuur.

Seluruh elemen bangsa Indonesia disatukan dan meleburkan diri dalam satu ikatan kebangsaan atau persaudaraan sebangsa setanah air (Ukhuwwah Wathaniyyah), terlepas dari perbedaan agama dan latar belakang primordial lainnya. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Menyatukan seluruh penduduk madinah dalam satu ikatan kebangsaan:

وَإِنَّ يَهُودَ بَنِي عَوْفٍ أُمَّةٌ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ، لِلْيَهُودِ دِينُهُمْ، وَلِلْمُسْلِمِينَ دِينُهُمْ، مَوَالِيهِمْ وَأَنْفُسُهُمْ، إِلَّا مَنْ ظَلَمَ وَأَثِمَ، فَإِنَّهُ لَا يُوْتِغُ إِلَّا نَفْسَهُ، وَأَهْلَ بَيْتِهِ

Artinya “Kaum Yahudi dari Bani ‘Auf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum Muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri. Kecuali bagi yang zalim dan jahat, maka hal demikian akan merusak diri dan keluarganya.”

KEBERAGAMAN SEBAGAI KENISCAYAAN

Realita keberagaman dalam hidup ini adalah hukum alam. Sunnatullah sebagai suatu system dan merupakan tata kelola yang paling baik dan bersifat inheren (melekat). Dengan hak prerogative Allah SWT sebagai pencipta, pemilik dan penguasa alam semesta, Allah SWT tentu dapat dengan mudah menjadikan manusia dalam bentuk yang seragam. Namun tidak demikian kehendak yang Dia wujudkan. Dia ciptakan manusia dalam bentuk yang berupa rupa, memiliki keunikan yang berbeda satu dengan yang lain, berbagai suku, budaya, kepercayaan dan asal muasal. Yang demikian agar kita saling mengenal dan menghormati satu sama lain.

Keragaman ini merupakan salah satu perantara agar manusia mau berfikir dan mengambil pelajaran. Menghiasi diri dengan sifat sifat Rahman dan Rahim. Saling mengasihi dan menyayangi sebagai sesama makhlukNya. Dalam Al-qur’an Surat Hud ayat 118 – 119 Allah SWT berfirman:


وَلَوْ شاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً واحِدَةً وَلا يَزالُونَ مُخْتَلِفِينَ ، إِلاَّ مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذلِكَ خَلَقَهُمْ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

Artinya: “Dan jika Tuhan-mu menghendaki, tentu Dia jadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih (pendapat), kecuali orang yang diberi rahmat oleh Tuhan-mu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat (keputusan) Tuhan-mu telah tetap, “Aku pasti akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.” (QS. Hud: 118–119)

Mari bersama sama kita melihat keragaman ini sebagai bentuk kasih sayang Allah kepada Indonesia. Cara terbaik memeliharanya adalah dengan cara menajamkan cinta kasih dan kemanusiaan sebagai ukhuwah wathaniah dan ukhuwah basyariyah. Intoleransi sebagai ancaman persatuan harus ditangkal dengan cara moderat dalam beragama. Mengedepankan sikap saling menghargai dan mengapresiasi terhadap keragaman. Menjunjung tinggi keterbukaan, inklusifitas dan kolaborasi lintas sector. Sebab sikap yang seperti itu adalah wujud syukur kita atas belas kasih Allah SWT.

Facebook Comments