Cara Al-Quran Mencegah Berlebihan dalam Beragama

Cara Al-Quran Mencegah Berlebihan dalam Beragama

- in Keagamaan
188
0
Cara Al-Quran Mencegah Berlebihan dalam Beragama

Tak bisa dipungkiri, fenomena ghuluw dalam beragama akhir-akhir ini menciptakan nuansa teror dalam masyarakat. Ghuluw atau ekstrem adalah sikap melampaui garis batas syariat Islam yang telah ditentukan oleh syari’ (pembuat syariat), Allah dan Nabi-Nya.

Sikap tersebut telah merampas kebebasan orang lain untuk menjadi penganut agama dan keyakinan yang dianutnya. Karena itu, persekusi, pembakaran rumah ibadah, cap murtad dan tuduhan sesat yang terjadi belakangan ini bukanlah sesuatu yang kebetulan, tapi, salah satu pemicu utamanya adalah ghuluw.

Apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, ghuluw lebih tepat diartikan dengan kegilaan. Dalam KBBI artinya “Kegemaran (keasyikan, kesukaan) yang berlebih-lebihan; sesuatu yang melampaui batas. Resiko sikap seperti ini pasti menciptakan kekacauan situasi sosial.

Seseorang yang terinfeksi ghuluw sangat rentan bertindak anarkis. Ia mudah diarahkan kepada hal-hal yang merusak. Emosinya labil dan mudah berbuat ekstrim. Ini berbahaya karena mudharat (kerusakan) yang ditimbulkan tidak hanya merusak dirinya namun juga khalayak banyak.

Karenanya, Nabi mewanti-wanti umatnya supaya tidak terjebak dalam perangkap ghuluw. Sabdanya, “Wahai manusia, berhati-hatilah akan sikapmu yang melampaui batas (ghuluw) dalam beragama, karena kehancuran orang-orang sebelum kamu karena mereka terlampau terlampau berlebihan dalam hal agama”. (HR. Ibnu Majah).

Empat Prinsip al Qur’an Menangkal Ghuluw

Ajaran Islam menekankan empat sikap keagamaan sebagai garis batas supaya umatnya tidak melampaui batas-batas kewarasan dalam agamanya. Yakni, tawassuth, tawazun, ta’adul, dan tasamuh.

Pertama, tawassuth adalah sikap tengah-tengah, tidak ekstrim kiri atau ekstrim kanan, sedang-sedang saja. Pijakan konsep ini mengacu pada firman Allah, “Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian”. (al Baqarah: 143).

Kedua, tawazun merupakan sikap menjaga keseimbangan dalam segala hal. Termasuk seimbang dalam penggunaan dalil aqli maupun naqli. Dalam al Qur’an Allah berfirman,”Sungguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al Kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”. (Al Hadid: 25).

Ketiga, i’tidal atau berkeadilan. “Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu kepada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (al Maidah: 8).

Keempat, tasamuh atau toleransi. Menghargai dan menghormati perbedaan. Menganggap saudara kepada mereka yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Tasamuh bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda. Tak lebih hanya mengakui perbedaan tersebut sebagai keniscayaan tak terbantahkan.

“Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa dan Nabi Harun) kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut”. (Thaha: 44).

Sebagai kesimpulan, dalam Islam sikap ghuluw sangat dilarang. Sebab, akan menganggap kebenaran miliknya sendiri dan kebenaran lainnya dianggap sebuah kekeliruan. Prototipe beragama seperti ini cenderung menggunakan kekerasan sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah. Cara-cara dialogis dalam pandangan mereka sama saja dengan mempertanyakan kembali kebenaran yang mereka yakini. Dan, ini, jelas berbahaya dalam konteks kehidupan bernegara dengan masyarakatnya yang plural seperti di Indonesia.

Facebook Comments