Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan oleh DPR dan Pemerintah menuai kritik publik. Bahkan, dunia internasional pun juga ikut berkomentar dan memberikan kritik atas KUHP baru yang dinilai memuat sejumlah pasal kontroversial itu. Beberapa pasal di antaranya adalah pasal penghinaan presiden dan wakil presiden, kumpul kebo, kebebasan pers, dan sejumlah pasal-pasal lainnya.
Di dalam negara demokrasi seperti Indonesia, adanya kritik dan masukan atas sebuah undang-undang adalah hal wajar. Sebab, di dalam negara demokrasi, publik atau rakyat diberi hak dan kebebasan untuk berpendapat dan memberikan kritik atas sejumlah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah atau pemangku kebijakan. Baik melalui lisan, tulisan, maupun dalam bentuk aksi demonstrasi sesuai mekanisme yang ada.
Karena itu, bagi saya, kritik publik atas disahkannya KUHP baru yang dinilai masih menyisakan sejumlah masalah itu adalah hal wajar belaka. Sebab, di dalam kehidupan kebangsaan yang majemuk, adanya perbedaan pendapat itu adalah sebuah keniscayaan yang tak terelakkan. Bahkan, hal itu memang mutlak harus ada untuk lebih mematangkan sebuah kebijakan publik negara agar bisa memberi kemaslahatan untuk semua.
Apalagi, KUHP adalah hukum yang diproduksi oleh akan budi manusia, jelas memang membutuhkan kritik dan masukan dari banyak pihak guna mencapai kesempurnaan hukum. Sebab, sebagai sebuah produk manusia, KUHP memang jelas tidak akan luput dari sejumlah kekurangan. Itulah mengapa kritik dan masukan menjadi penting.
Karena itu, adanya kritikan dan masukan dari publik sangatlah penting guna lebih menyempurnakan isi dan substansi daripada KUHP itu sendiri. Misalnya, dengan cara melakukan yudicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Tidak Sempurna Bukan Berarti Hukum Kafir!
Sekali lagi, KUHP memanglah belum sempurna. Ada banyak pasal-pasal yang memang harus ditinjau ulang dan lebih dimatangkan lagi. Akan tetapi, meski tidak sempurna, bukan berarti KUHP adalah produk kafir seperti yang dinarasikan oleh aktor aksi bom bunuh diri di Polsek Asta Anyar, Bandung.
Penulis kira, narasi yang dibangun oleh aktor di balik aksi bom bunuh diri tentang KUHP baru itu sangatlah tidak tepat atau bahkan sesat. Dikatakan sesat sebab narasi itu dibangun tidak menggunakan dasar metodologis yang jelas. Dengan kata lain, narasi KUHP hukum kafir itu tak lebih dari sekadar wacana palsu untuk memprovokasi publik untuk menolak KUHP.
KUHP Bukan Hukum Kafir, Ia Adalah Produk Ijtihad
Karena itu, perlu kita tegaskan bahwa KUHP itu bukanlah hukum kafir. Sebaliknya, ia adalah hasil dari proses ijtihad, kontekstualisasi, dan/atau penyesuaian hukum.
Islam memang sudah punya hukum pidana. Misalkan, seperti hukum potong tangan bagi pencuri atau hukum rajam bagi pelaku zina yang sudah menikah dan/atau hukum cambuk bagi pezina yang belum menikah. Hal itu sudah diatur secara jelas dalam Islam. Karena itu, berbicara masalah hukum pidana, Islam sebenarnya sudah punya aturan hukum sendiri.
Namun, masalahnya, Indonesia bukan negara Islam. Juga, bukan negara yang ditempati oleh penduduk Islam secara mutlak. Tetapi juga dihuni oleh penduduk non muslim yang tidak serta merta menghendaki diterapkannya hukum pidana Islam.
Jadi, dengan hal itu, jelas hukum pidana Islam mutlak tidak bisa dijadikan sebagai hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Selain tidak memungkinkan, juga berpotensi menimbulkan perpecahan di antara warga bangsa.
Karena itu, penerapan hukum pidana dengan berbasis pada KUHP yang tidak memiliki tendensi pada agama tertentu adalah pilihan terbaik untuk menjaga kesatuan warga bangsa. Jadi, bisa dikatakan, KUHP itu adalah semacam ijtihad kebangsaan guna tetap menjaga keharmonisan seluruh komponen warga bangsa. Dengan demikian, maka juga bisa dikatakan bahwa KUHP bukanlah hukum kafir. Tetapi adalah jalan tengah yang mendamaikan kehidupan setiap warga negara yang berbeda agama dan keyakinan atau kepercayaan.
Menurut salah satu kaidah ushul fiqh, menghindari keburukan itu harus lebih didahulukan (diutamakan) daripada meraih kebaikan (“dar’ul mafaasid muqaddamun alaa jalbil mashaalih”). Jadi, pilihan kita untuk menerapkan hukum pidana yang berbasis pada KUHP, bukan Hukum Pidana Islam kiranya sudah tepat dan tidak perlu ada hal yang kita persoalkan.
Bahwa KUHP baru itu mengandung banyak kekurangan itu adalah hal lain yang tidak dijadikan dasar metodologis untuk menjustifikasi bahwa KUHP baru adalah hukum kafir. Kekurangan yang terdapat dalam KUHP baru itu adalah celah hukum yang tidak bisa dijadikan dasar untuk menjustifikasi bahwa KUHP baru adalah hukum kafir.
Hukum kafir pada intinya adalah hukum yang pro atau setuju pada kedzaliman atau kejahatan. Nah, KUHP baru dalam konteks ini justru memiliki semangat memerangi kedzaliman atau kejahatan.
Jadi, pada dasarnya, Semangat hukum yang terkandung dalam KUHP juga sama dengan halnya hukum pidana Islam, yakini menghukum, mengadili, memberi efek jera, memberi pendidikan hukum bagi masyarakat agar tidak melakukan kejahatan atau kedzaliman.